Alt Title

Kesejahteraan Ibu dan Anak Melalui RUU KIA, akankah Terwujud?

Kesejahteraan Ibu dan Anak Melalui RUU KIA, akankah Terwujud?

 


Islam membebankan sesuatu sesuai dengan porsinya

Perempuan dihormati dan dihargai bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkan, tetapi ketaatan ia kepada hukum syarak

______________________________


Penulis Nurlina, S.Pd.I

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa waktu yang lalu, UU KIA akhirnya disahkan oleh DPR. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media bahwa Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak, pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) oleh DPR dalam rapat paripurna. (www.liputan6.com, 04/06/2024)


Aturan ini bukan sesuatu yang mendiskriminasi perempuan, begitu respon Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka. Ia juga menyinggung soal hak cuti perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Ayat 3 UU KIA. Diah meminta perusahaan tak perlu khawatir, sebab tidak semua perempuan tiba-tiba mengambil cuti hamil. (Tirto.id, 07/06/2024) 


Harapannya adalah tercapainya kesejahteraan ibu dan anak, Ibu tetap bisa bekerja, tapi pengasuhan dan pemberian ASI juga tetap bisa dilakukan dan tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja.


Perempuan dan Peran Hakikinya

Adanya rancangan baru dari UU KIA membawa berita gembira bagi perempuan khususnya yang berstatus pekerja. Bagaimana tidak, rancangan ini mengatur bahwa perempuan yang bekerja boleh mengajukan cuti selama 6 bulan setelah melahirkan. Namun yang disepakati adalah 3 bulan. Adapun 3 bulan berikutnya boleh cuti, jika kondisinya masih belum memungkinkan sesuai pertimbangan medis dan harus ada keterangan dari dokter. 


Sehingga para perempuan tetap bisa berkarier karena mendapat cuti dan bisa tenang bekerja. Mereka dapat menguatkan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan sebagaimana paradigma kapitalisme, bahwa perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja dan memiliki income


Standar keberhasilan seseorang pun baik laki-laki maupun perempuan adalah saat berpenghasilan atau dapat gaji. Yang menjadi ibu pengurus anak di rumah, tinggal begitu saja dengan sederet pekerjaannya seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak dan mengurusi anaknya dianggap tidak produktif. 


Adanya cuti 6 bulan tersebut sebenarnya tidak cukup untuk mendampingi anak. Sebab anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga usia mumayyiz, yaitu usia antara 7 hingga 9 tahun. Di fase usia ini, anak sudah bisa membedakan hal-hal yang baik dan buruk untuk dirinya. Fase ini adalah fase pra balig, sangat butuh bimbingan dari kedua orang tuanya, sebab sebentar lagi akan menuju masa balig. 


Islam adalah agama yang mampu memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi berjalannya fungsi strategis dan politis peran keibuan dan membangun profil generasi cemerlang. Sebagaimana masa terdahulu, banyaknya lahir generasi-generasi emas karena peran ibu dalam mendampingi mereka. Para ibu sadar betul tugas dan tanggungjawabnya kepada anak-anak. Kalaupun tidak punya kemampuan untuk mendidik langsung, para orang tua akan mencarikan guru terbaik untuk anaknya. 


Dari kisah seorang ulama-ulama besar, seperti Imam Syafi'i yang yatim sejak umur 2 tahun, Imam Hambali yatim sejak masih bayi, Imam Ibnu Katsir yang ditinggal wafat oleh ayahnya juga di usia 2 tahun, serta Imam Al-Bukhari pun demikian, beliau yatim di usia masih anak-anak. Namun, di balik keulamaan mereka ada peran seorang ibu yang mendampingi mereka, mengurus keperluan mereka dalam menuntut ilmu di berbagai tempat. 


Nafkah dalam Islam

Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya kesejahteraan semua rakyat. Kebutuhan pokok mereka sangat diperhatikan per individu. Termasuk perempuan tanpa meletakkan kewajiban mencari nafkah pada perempuan.


Terkait jalur nafkah dalam Islam, maka perempuan tidak pernah dibebankan atasnya. Beban itu hanya diberikan kepada kaum laki-laki saja. Seperti seorang ayah atau suami yang akan menanggungnya. 


Bahkan, seorang anak laki-laki hanya ditanggung nafkahnya sampai usia balig oleh ayahnya. Adapun anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya, maka nafkah kembali ke jalur bapaknya, semisal pamannya.


Sedangkan pengasuhan kembali kepada jalur ibu. Begitupun seorang perempuan yang ditinggal wafat atau cerai dari suaminya, maka nafkahnya kembali kepada bapaknya atau saudara laki-lakinya. 


Lalu bagaimana jika tidak ada lagi yang bisa menafkahinya, misalnya jalur tersebut sudah tidak ada, atau sudah tidak mampu bekerja karena umur yang terlampau tua atau bahkan sakit? Maka, negaralah yang akan mengurus dan menanggung mereka. Jadi perempuan sampai ia wafat tetap dalam tanggungan. 


Tentu hal demikian bisa berjalan ketika suatu negara menjalankan Islam secara sempurna dalam semua sendi-sendi kehidupan. Bukan negara yang berjalan dengan kehidupan sekuler dan materialisnya, dengan standar kehidupan senantiasa berpatokan kepada materi. Sehingga seorang perempuan ketika tidak bekerja dianggap tidak berhasil dan produktif.


Demikianlah agama Islam mengatur pengurusan nafkah, aturan dari Sang Pencipta sungguh Maha Adil. 


۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ  لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Baqarah [2]: 233)


Wujud Islam memuliakan perempuan dengan semua peran fitrahnya sangat memuaskan akal dan menenteramkan hati. Islam membebankan sesuatu sesuai dengan porsinya. Perempuan dihormati dan dihargai bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkan, tetapi ketaatan ia kepada hukum syarak. 


Allah subhanahu wa ta’ala sudah memberikan penjagaan kepada mereka, dengan perintah agar para perempuan tinggal di rumahnya dengan tugas yang ia emban, yaitu mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anaknya. Wallahualam bissawab. [SJ]