Alt Title

Mendongkrak Pajak Meningkatkan Kemiskinan Rakyat

Mendongkrak Pajak Meningkatkan Kemiskinan Rakyat

 

Sejatinya pajak itu tak lebih dari pemalakan terhadap rakyat

Dan anehnya di negeri ini, orang-orang miskin dipaksa untuk membayar pajak, kalau telat sudah dipastikan bakal kena denda

______________________________


Penulis Ni’matul Afiah Ummu Fatiya

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ironis sekali rasanya di tengah-tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk, justru Menkeu Sri Mulyani dengan bangganya memamerkan kinerja jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.


Yaitu meningkatnya penerimaan pajak secara signifikan sejak tahun 1983 dari angka Rp13 triliun menjadi Rp400 triliun di tahun 1999. Bahkan ditargetkan naik menjadi Rp1.988,9 triliun pada tahun 2024 ini.


Pajak merupakan tulang punggung sekaligus instrumen penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya. Begitu menurutnya, seperti yang disampaikan pada peringatan Hari Pajak Nasional 14 Juli dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia, 14/07/2024)


“Untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, negara yang sejahtera, adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara,” ungkapnya.


Jelaslah sudah dari pernyataan Bu Ani, sapaan akrab beliau bahwa negara ini adalah negara pemalak. Negara memaksa rakyat untuk membayar berbagai macam pungutan pajak tanpa memedulikan bagaimana kondisi ekonomi rakyat dengan dalih untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang dibungkus dengan Undang-undang.


Padahal kita tahu sendiri bagaimana kondisi perekonomian rakyat saat ini, harga barang-barang kebutuhan pokok kian hari kian tinggi. Sementara itu, jumlah pengangguran pun semakin meningkat seiring dengan banyaknya pabrik atau usaha yang gulung tikar. Sedangkan angkatan kerja makin membeludak. Belum lagi biaya pendidikan yang semakin mahal sehingga menambah jumlah angka putus sekolah.


Begitulah watak dasar sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Rakyat dibiarkan bekerja keras untuk memenuhi hajat hidupnya, tetapi masih dibebani dengan tarikan berbagai macam pajak. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Barang Mewah, dan lain-lain.


Padahal sejatinya pajak itu tak lebih dari pemalakan terhadap rakyat. Dan anehnya di negeri ini, orang-orang miskin dipaksa untuk membayar pajak, kalau telat sudah dipastikan bakal kena denda.


Sementara orang-orang kaya dan pengusaha banyak yang nunggak pajak, bahkan ngemplang pajak tetapi mereka justru malah diberikan keringanan membayar pajak atau tax amnesti, bahkan sampai pemutihan. Entah di mana hati nurani para pejabat negeri ini.


Di sisi lain pemerintah malah menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta bahkan asing, seperti tambang emas Freeport atau gas alam misalnya. Alhasil, sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik masyarakat secara umun dan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, akhirnya didominasi oleh segelintir orang. Akibatnya masyarakat harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan. Jelaslah pula bahwa negara enggan untuk mengurusi urusan rakyat.


Jika demikian, masihkah kita berharap pada sistem ini? Adakah sistem yang lebih baik yang bisa diterapkan saat ini?


Jawabannya tentu ada. Yaitu sistem Islam yang telah terbukti pernah memimpin dunia selama hampir 14 abad lamanya. Dalam Islam, rakyat diibaratkan hewan gembalaan yang harus dijaga dan dilindungi serta dipenuhi semua kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok kolektifnya. Sementara penguasa adalah penggembala yang menjaga dan melindungi rakyatnya.


Dalam sebuah hadis Rasullah saw. bersabda: “Imam (kepala) negara itu penggembala yang bertanggung jawab atas gembalaannya." (HR Bukhari dan Ibnu Umar)


Islam juga telah melarang kaum muslim untuk memakan harta di antara mereka secara batil. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian saling me-makan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian." (TQS An-Nisa: 29


Termasuk batil di sini adalah ghasab (perampasan harta). Faktanya, pemungutan pajak termasuk ke dalam perampasan harta secara paksa yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Dan tidak sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat, malah lebih banyak yang disalahgunakan oleh oknum pejabat.


Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. juga bersabda: “Tidak akan masuk surga pemungut pajak.” (HR Ahmad, Ad-Daarimi dan Abu Ubaidah).


Jadi jelas bahwa pajak atau pemungutan harta secara paksa kepada rakyat hukumnya adalah haram dan pelakunya diancam tidak akan masuk surga.


Kalau bukan dari pajak, lalu dari mana negara mendapatkan dana untuk pembiayaan negara termasuk hajat hidup seluruh rakyat?


Sistem ekonomi Islam mempunyai aturan yang khas tentang kepemilikan. Sumber daya alam yang melimpah seperti tambang adalah milik seluruh kaum muslim dan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat.


Bukan sebaliknya, diserahkan kepada swasta bahkan asing seperti dalam sistem saat ini. Dengan begitu, negara tidak akan memungut pajak sebagai pendapatan utama APBN. Selain itu, Islam juga mempunyai pemasukan tetap yang akan disimpan di Baitulmal yang berasal dari harta fai dan kharaj, harta kepemilikan umum, dan harta sedekah (zakat). Semua itu akan dipergunakan untuk kepentingan negara dan rakyat, bukan aparat.


Demikianlah seperangkat aturan Islam yang telah Allah tetapkan untuk mengatur seluruh kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Kini tinggal pilihan kita, mau diatur oleh sistem demokrasi kapitalis yang ada saat ini, yang sudah jelas-jelas menimbulkan berbagai kesengsaraan dan penderitaan atau kembali kepada sistem Islam yang akan menyejahterakan. Wallahualam bissawab. [As-SJ/MKC]