Menumpuknya Sampah Makanan di Tengah Banyaknya Kelaparan
Opini
Food waste adalah problem yang berhubungan dengan konsumerisme yang bertolak belakang dengan akhlak dalam Islam
Penerapan sistem kapitalisme sekularisme membuat si kaya hidup berlebih-lebihan
______________________________
Penulis Nurul Bariyah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Masih ingatkah sewaktu kecil dahulu, orang tua kita sering memberi nasihat tentang makanan? "Jangan buang-buang makanan, ambil secukupnya, habiskan nasinya! Kalau tidak habis nanti nasinya menangis."
Sampai hari ini pun nasihat-nasihat itu masih sering terdengar. Namun, sayangnya masih banyak yang tidak menyadari pentingnya menjalani nasihat orang tua. Masih banyak orang yang hingga detik ini, kurang menghargai makanan dan membuang-buangnya.
Tahukah apa yang akan terjadi, akibat kebiasaan membuang makanan? Tanpa disadari kebiasaan buruk itu menimbulkan banyak masalah. Di antaranya adalah penumpukan sampah makanan. Terjadinya emisi rumah kaca akibat sampah makanan menumpuk dalam waktu yang lama.
Dilansir dari tirto.id (3 Juli 2024), mengangkat pernyataan dari kepala Bappenas, tentang potensi kerugian negara akibat sampah makanan sebesar Rp551 triliun. Wow, tidak main-main, dari hal yang kita anggap sepele, ternyata menimbulkan kerugian yang sangat besar dari segi ekonomi.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat, potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Selain itu, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbunan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2.
Lantas, apakah kita berdiam diri saja? Tentu perlu ada upaya untuk menekan dan juga menanggulangi hal tersebut.
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa saat ditemui dalam rapat kerja bersama komisi XI DPR Parlemen, Senayan Jakarta, pada Senin, 11/9/2023. Mengatakan bahwa pengendalian susut dan sisa pangan atau food loss and waste, pada sektor pangan menjadi salah satu intervensi priority. Yang dapat menekan jumlah timbunan sampah hingga separuh yang ada saat ini, dan mencegah risiko kehilangan ekonomi.
Suharso juga menjelaskan, untuk mencegah potensi ekonomi yang hilang akibat susut dan sisa pangan, Bappenas telah meluncurkan peta jalan (Road map). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045. Serta peta jalan pengelolaan susut dan sisa pangan dalam mendukung pencapaian ketahanan pangan menuju Indonesia Emas 2045.
Fakta di lapangan, 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia di dunia dibuang sebagai sampah. Sehingga mencapai 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Nilainya mencapai US$680 miliar untuk negara maju, dan US$310 miliar untuk negara berkembang. Ironinya, sekitar 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan. Sejatinya sampah yang terbuang bisa menghidupi 2 miliar orang.
Ketimpangan seperti ini menunjukkan tidak meratanya kesejahteraan penduduk. Juga tidak meratanya distribusi dan konsumsi makanan. Sebagian hidup bermewah-mewah dan berlebih-lebihan. Sebagian lagi hidup miskin dan kelaparan. Lantas, apakah ini akan terus berlangsung selamanya? Apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya?
Food waste adalah problem yang berhubungan dengan konsumerisme yang bertolak belakang dengan akhlak dalam Islam. Penerapan sistem kapitalisme sekularisme membuat si kaya hidup berlebih-lebihan. Sehingga abai dengan lingkungan sekitar.
Mengonsumsi apa yang mereka inginkan sesuka hati, tanpa memiliki batasan, dan membeli makanan secara berlebih. Sehingga membuat sisa makanan yang tak termakan terbuang. Sebagian besar sampah yang dihasilkan berasal dari rumah tangga. Sebagian kecil lainnya, berasal dari restoran juga pabrik produksi makanan. Yang membuang produknya guna memperbaiki mutu produk.
Lain halnya dalam sistem Islam. Islam memiliki aturan terbaik dalam mengatur konsumsi juga distribusi secara merata. Sehingga terhindar dari kemubaziran dan berlebih-lebihan dalam hal konsumsi makanan.
Umat muslim memiliki prinsip hidup yang sesuai dengan kemaslahatan juga kebutuhan dirinya. Mereka memilah mana yang dibutuhkan. Serta mengesampingkan keinginan yang berdasarkan hawa nafsu. Karena mereka diajarkan untuk dapat menahan hawa nafsunya.
Rasulullah adalah suri teladan yang baik bagi umat Islam. Meski memiliki kemampuan untuk bermewah-mewah, Rasulullah memilih hidup sederhana dan sangat memikirkan umatnya yang kesusahan. Sangat bertolak belakang pada kehidupan orang-orang berduit juga penguasa saat ini. Fenomena mengonsumsi makanan tanpa batasan kebutuhannya. Menyebabkan terjadi kemubaziran hingga akhirnya terbuang.
Hal ini sangat bertentangan dengan perintah Allah Swt. dalam surah Al-A'raf ayat 31 yang artinya, "Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam hal ini, sangat diperlukan peran pemerintah. Pemerintah wajib memastikan rakyatnya berada dalam keadaan yang tidak berlebih-lebihan. Memastikan juga tidak ada yang kelaparan. Sehingga semua menjadi sejahtera.
Si kaya tidak lupa bersedekah kepada si miskin. Serta peduli dan memperhatikan nasib saudaranya. Sehingga tidak terjadi jurang yang dalam di kehidupan. Wallahualam bissawab. [SH-SJ/MKC]