Alt Title

Pengoplosan Gas Kerap Terjadi, Masyarakat Dihantui Kecemasan

Pengoplosan Gas Kerap Terjadi, Masyarakat Dihantui Kecemasan

 


Pembatasan konsumsi gas 3 kg yang diperuntukkan bagi rakyat miskin, merupakan corak sistem ekonomi kapitalisme

Menambal sulam kebijakannya dengan kebijakan yang lain

_________________________


Penulis Oom Rohmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penipuan dan kecurangan dalam hal jual beli sering dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Mulai dari kebutuhan primer sampai sekunder. Salah satunya yang terjadi di Bandung, ada pihak  penyalur gas yang terbukti melakukan pengoplosan pada gas elpiji.


Kejahatan tersebut langsung ditindak tegas oleh Bupati Dadang Supriatna, dengan dicabut izinnya dan tidak diperbolehkan melakukan penyaluran kembali. Karena perbuatan tersebut jelas merugikan banyak orang. Apalagi gas elpiji ukuran 3 kilogram hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, tentunya ini akan makin mempersulit hidup mereka. Hal itu dikatakan Dadang usai ramai-ramai menindak pengoplosan LPG di wilayahnya. Dikutip dari detik.com, (12/6/2024)


Setelah minyak tanah hilang dari pasaran, masyarakat beralih ke gas. Meski tidak sedikit pula yang khawatir dan takut dalam menggunakannya. Selain karena belum terbiasa, juga ada banyak kecelakaan akibat dari kebocoran gas. Namun apa boleh buat, berhubung hal ini anjuran dari pemerintah mau tidak mau masyarakat tetap menerimanya. Sayangnya, setelah gas ini menjadi kebutuhan dasar warga. Kini, mereka harus dihadapkan pada harga dan kelangkaan barang tersebut.


Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk di dalamnya adalah migas. Disebutkan bahwa ada sekitar 128 area cekungan (basin) migas yang tersebar di seluruh wilayahnya. 20 yang sudah berproduksi; 8 telah dibor, tetapi belum di produksi; 19 cekungan yang terindikasi mengandung hidrokarbon; 13 cekungan kering atau dry hole; dan 68 cekungan yang belum diekplorasi. (Media Indonesia,1-2-2024).


Negara dengan SDA yang melimpah ruah tentu akan mampu membuat masyarakatnya sejahtera, makmur dan bahagia. Namun, faktanya tidak demikian. Rakyat Indonesia bagai tikus mati di lumbung padi. Kemiskinan kian hari semakin bertambah, stunting, PHK, kriminalitas, perceraian dan masih banyak lagi problematika lainnya akibat dari sulitnya meraih materi tidak bisa dihindari.


Hal ini karena, negara menerapkan sistem buatan manusia yaitu demokrasi kapitalisme sekuler. Dengan sistem ini api atau gas yang merupakan kebutuhan asasi dan kepemilikan umum masyarakat, justru diberikan dan dikuasai oleh individu swasta dan asing. Mulai dari pengelolaan sampai kepemilikan. Sehingga, keuntungan yang diperoleh kembali pada mereka para pemodal bukan untuk masyarakat. Dan ini suatu keniscayaan sebab, prinsip dasar sistem ini adalah memberikan hak kebebasan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. 


Sementara, negara hanya mendapatkan dari pajaknya saja. Mirisnya, perlakuan penguasa dalam sistem ini terbalik. Masyarakat dipersulit bahkan subsidinya perlahan dihilangkan karena dianggap beban negara. Adapun para kapital dan oligarki difasilitasi. Pembatasan konsumsi gas 3 kg yang diperuntukan bagi rakyat miskin, merupakan corak sistem ekonomi kapitalisme. Menambal sulam kebijakannya dengan kebijakan yang lain. Tidak heran memunculkan para pelaku curang.


Tindakan Pak Bupati dalam menindak agen yang nakal pantas diapresiasi. Namun, itu bersifat parsial. Mestinya Bupati berupaya bagaimana caranya menjadikan sumber energi yang merupakan kebutuhan dasar rakyat tersebut bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Meski Kang DS sudah menindak tegas para pelaku nakal tersebut, jika akar masalahnya yaitu kapitalisme sekuler masih dipelihara tidak akan mampu mengubah keadaan.


Para pelaku kejahatan akan terus ada, peribahasa mengatakan mati satu tumbuh seribu. Dan dampaknya tentu saja pada masyarakat yang lemah akan terus menderita. Karena, sistem ini orientasinya adalah manfaat dan keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu dalam sistem yang berlaku saat ini, menafikan peran agama dari kehidupan. Juga mengagungkan budaya kebebasan. Sehingga melahirkan para pelaku yang tidak takut lagi dengan ancaman di Hari Akhirat. Allah Swt. berfirman:

"Celakalah bagi orang-curang (dalam menakar dan menimbang). Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian dikatakan kepada mereka inilah (azab) yang dahulu kamu dustakan" (QS Al-Mutaffifin:[83]:1-16-17)


Berbeda dengan sistem Islam, yang memandang bahwa negara adalah sebagai pelindung dan pelayan bagi rakyat. Penguasanya sadar betul bahwa kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Sehingga para penguasa akan memperjuangkan hak-hak rakyatnya.


Dalam Islam ada tiga ranah kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara. Migas termasuk kepemilikan umum, sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara. Mulai dari pengeboran sampai dapat dikonsumsi oleh rakyatnya. Itulah mengapa pengelolaan migas tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta atau asing secara mutlak. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw :

Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, padang, dan api.” (HR Abu Dawud)


Sebagaimana hadis di atas, sumber daya energi dalam hal ini migas termasuk ke dalam kepemilikan umum karena dua aspek, yaitu termasuk dalam kata “api” (sumber energi) dan merupakan hasil dari minyak bumi yang tersedia dalam jumlah besar. Oleh karena itu, Islam melarang pengelolaannya dikapitalisasi, tapi negara wajib mengelolanya sendiri. Mulai dari eksplorasi sumber barang tambang, eksploitasi dan pengelolaan.


Berikutnya kepemilikan terhadap industri yang meliputi atas modal, alat produksi, bahan baku, pengelolaan, dan hasil produksi, termasuk dalam pengaturan pendistribusian. Semua dilakukan oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyatnya. Bisa berupa murahnya kebutuhan primer maupun sekunder semisal gas, pendidikan, kesehatan dan fasilitas lainnya secara cuma-cuma atau gratis.


Demikian, Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur kehidupan makhluknya. Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun, hal ini tidak akan terwujud jika masih megemban sistem kufur kapitalisme sekuler. Kesejahteraan masyarakat bisa dirasakan manakala negara menerapkan aturan Islam dalam kehidupannya. Wallahualam bissawab. [SM-Dara\MKC]