Alt Title

Pinjol Bukan Alternatif

Pinjol Bukan Alternatif


Pinjol bukan solusi, melainkan ambisi para petinggi

Pun bukan alternatif, melainkan didikan kapitalisme yang menghasilkan mahasiswa yang pasif

______________________________


Penulis Lia Nurjanah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah

 

KUNTUMCAHAYA.com, OPINI  - Beberapa bulan terakhir ramai dibicarakan masyarakat khususnya mahasiswa, terkait pinjol atau pinjaman online untuk pembiayaan kuliah. Seperti yang dilansir oleh tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menilai bahwa adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik adalah bentuk dari inovasi teknologi.


Menurut dia, inovasi teknologi dalam pembiayaan kuliah melalui pinjol tersebut sebenarnya menjadi peluang bagus, tetapi sering kali disalahgunakan. "Pinjol ini memang sudah mengandung arti kesannya negatif. Tetapi, kan ini sebuah inovasi teknologi. Akibat dari kita mengadopsi teknologi digital terutama, dan ini sebetulnya kan peluang bagus asal tidak disalahgunakan dan tidak digunakan untuk tujuan pendidikan yang tidak baik," ungkap Muhadjir dalam konferensi pers di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).

 

Pendapat tersebut justru menampakkan kerusakan mindset pejabat dalam mengurus urusan rakyat. Hal ini disebabkan karena sistem kepemimpinan yang diterapkan itu batil (salah). Sungguh ironis, para pejabat tidak memandang jabatannya sebagai amanah untuk mengurus rakyat yang kelak akan dipertanggungjawabkannya di akhirat.


Ini semua karena sistem yang digunakan yakni sekularisme kapitalis. Jabatan dalam sistem ini memandang bahwa jalan keuntungan yakni bekerja sama dengan para pengusaha, meraup keuntungan dengan sebanyak-banyaknya tanpa memandang rakyatnya. Akhirnya keberadaan negara bukannya mengurus rakyat, melainkan mendukung pengusaha pinjol yang menghantarkan pada kerusakan dan kesengsaraan masyarakat.


Tidak hanya itu, realita ini juga membuktikan bahwa negara sekularisme kapitalisme lalai dan lepas tanggung jawab dalam pencapaian tujuan pendidikan. Negara tidak ingin masyarakatnya tinggi dalam taraf berpikir. Sehingga kondisi masyarakat disibukkan untuk mencari uang dan rela menjadi buruh-buruh berdasi korporat.

 

Inilah bukti yang sangat jelas, bahwa negara sekularisme kapitalis, abai dan gagal dalam menjamin kesejahteraan pendidikan untuk masyarakat. Hasil dari itu, masyarakat dengan sangat mudah terperosok pada kekufuran, akibat dari cara berpikir yang rusak dan pragmatis. Bahkan dengan sangat mudah tergiur dengan pinjol akibat kemiskinan dan gagalnya negara dalam menyejahterakan rakyat.

 

Harus dipahami bersama bahwa pinjol bukan solusi, melainkan ambisi para petinggi. Pun bukan alternatif, melainkan didikan kapitalisme yang menghasilkan mahasiswa yang pasif. Pinjol juga bukan solusi, melainkan negara mengajarkan kita untuk berutang. Negara tidak mampu dan lalai dalam mengurusi rakyat, sehingga kebutuhan pendidikan pun tidak terpenuhi.

 

Sangat berbeda dengan negara Islam kafah, yakni negara yang menggunakan dan menjalankan sistem Islam sebagai sistem kepemimpinannya. Rakyat akan benar-benar terurus bukan malah dijadikan sebagai mangsa pasar kaum kapitalis. Rakyat akan diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya sebagaimana syariat Islam menetapkan.

 

Hal ini karena Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas rakyat dalam semua aspek kehidupan. Negara harus berjiwa ra'awiyah karena ini perintah syariat. Rasulullah saw. bersabda:


"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Al-Bukhari)

 

Islam memandang pendidikan sebagai sarana menghapuskan kebodohan, tentunya akan membangun masyarakat yang cerdas dan berkualitas. Sehingga mendorong kemajuan bagi umat manusia. Solusinya tentu bukan pinjol sebagai alternatif, melainkan sistem Islam di bawah naungan Daulah Islam. 


Oleh karenanya, dalam Daulah Islam layanan pendidikan diberikan secara gratis kepada semua masyarakat. Baik itu masyarakat miskin, kaya, muslim ataupun kafir dzimmi. Daulah Islam juga akan menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.

 

Negara Islam wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli dibidangnya. Sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi para guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Ketika layanan pendidikan diberikan dengan skema seperti ini, mahasiswa tidak perlu sampai menggunakan pinjol sebagai biaya perkuliahan. Karena semua layanan pendidikan diberikan negara secara gratis.

 

Sebagai salah satu contohnya Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan oleh negara seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.

 

Di sisi lain, negara juga wajib memastikan pendidikan yang ada sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Yaitu membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Dengan tujuan pendidikan seperti itu, otomatis kurikulum pendidikan yang dihasilkan berbasis akidah Islam.

 

Dengan itu peserta didik akan memahami, peka, dan bertanggung jawab atas kehidupannya di dalam lingkungan masyarakat. Sehingga ketika tidak ada kesesuaian penguasa dalam penerapan kebijakan mereka bukan menjadi mahasiswa pasif layaknya mahasiswa didikan kapitalisme.


Mereka justru akan menjadi bagian orang yang melakukan muhasabah bil hukkam. Mereka tidak akan diam dan menormalisasi jika ada seorang pejabat yang mengeluarkan pernyataan keji.

 

Di sisi lain, untuk mendukung layanan pendidikan yang demikian, Islam menetapkan pejabat negara adalah orang-orang yang ahlut-taqwa (amanah) dan ahlul kifayah (orang-orang yang memiliki kapabilitas).


Kriteria-kriteria pejabat ini insyaallah akan menjadi teladan umat, senantiasa taat syariat, dan mampu memanfaatkan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat. Bukan seperti pejabat negara kapitalisme yang memanfaatkan inovasi teknologi pinjol untuk membayar kuliah. Wallahualam bissawab. [EA-SJ/MKC]