Alt Title

Rumah Layak Huni, Islam Solusinya

Rumah Layak Huni, Islam Solusinya

 


Meski, usaha pemerintah sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi tidak kunjung membuahkan hasil yang signifikan

Bisa dikatakan gagal, karena terbukti masih banyak warga yang memiliki rutilahu

____________________________


Oleh Nuni Toid

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Impian setiap insan pasti ingin memiliki hunian yang luas, nyaman, indah, dan sehat. Namun, tidak semua orang bisa mewujudkannya. Karena faktanya, masih banyak warga yang belum memiliki tempat tinggal layak. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung, sedikitnya 37 ribu rumah dinyatakan tidak layak huni (rutilahu). Perbaikan yang dilakukan belum kunjung selesai sampai masa jabatan Bupati Bandung, Dadang Supriatna berakhir di periode pertama.


Menurutnya, setiap tahun renovasinya melebihi dari yang ia targetkan sebelumnya, yakni 7.000 unit per tahun. Dadang mengakui hingga kini belum semua bisa ditangani. Sehingga ia berharap program itu bisa dilanjutkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, pembangunannya tidak akan tuntas dalam waktu dekat, kecuali jika kepemimpinannya dilanjutkan. (detikjabat.id, 19/6/24)


Melihat fakta di atas, banyaknya rutilahu memang masih menjadi permasalahan serius negeri ini. Salah satunya faktor ekonomi yang menjadi penyebabnya. Di mana, penghasilan warga tidak sebanding dengan harga rumah. Hal tersebut membuat rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Sehingga banyak dari mereka yang terpaksa menempatinya walau dengan kondisi seadanya. 


Itulah fenomena yang terjadi di negeri yang terkenal dengan sumber daya alam melimpah ruah, tetapi rakyatnya sebagian besar hidup dalam garis kemiskinan. Sehingga harus rela menempati hunian yang jauh dari layak. Harga rumah yang ditawarkan oleh para developer saat ini  kian melambung tinggi. Jika ada penawaran yang murah, mau tidak mau harus berurusan dengan bank yang pembayaran cicilan kredit serta bunganya cukup tinggi.


Wajar, bila akhirnya masyarakat lebih memilih tinggal di rutilahu yang dianggap terjangkau oleh keuangan mereka. Walaupun mereka mengetahui bahwa resikonya tinggi dan tidak memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi keluarga. Karena, kriteria rumah sehat adalah salah satunya memiliki ruang dan sanitasi udara yang cukup, lingkungan yang bersih, dan lain sebagainya.


Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap warga yang harus disediakan oleh negara. Sudah semestinya pemerintah mempermudah penyediaannya. Kalau tidak gratis, setidaknya bisa memberikan akses yang mudah kepada masyarakat untuk memperolehnya. Sayangnya, penguasa menutup mata akan hal ini. Meski, usaha pemerintah sudah berlangsung bertahun-tahun namun tidak kunjung membuahkan hasil yang signifikan. Bisa dikatakan gagal, karena terbukti masih banyak warga yang memiliki rutilahu. Terlebih dari itu masih banyak yang belum memiliki hunian sendiri. 


Sebenarnya biang dari masalah ini adalah akibat diterapkannya kapitalisme-sekuler dengan konsep good government. Di mana, Peran negara hanya sebagai regulator yang melayani kepentingan para oligarki, dan minus pelayanan serta pengayoman terhadap rakyat. Khususnya, dalam menyediakan kebutuhan rumah yang layak huni. Ibarat  penjual dan pembeli, itulah fakta hubungan antara penguasa dan warganya saat ini. Maka, fungsi penguasa menjadi mandul. Karena secara kapasitas, pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan fenomena rutilahu.


Berbeda dengan sistem Islam yang berabad-abad lamanya telah terbukti berhasil melalui penerapannya secara kafah (menyeluruh). Sehingga masalah rutilahu bukan menjadi hal sulit untuk diselesaikan. Karena, negara memiliki paradigma yang sahih untuk mengelola permasalahan hunian masyarakat.


Rasulullah saw. ketika menjabat sebagai kepala negara di Madinah mencontohkan solusi kepada kaum muslimin untuk urusan rumah yang dibutuhkan rakyat. Setelah beliau hijrah ke Madinah, Rasulullah saw. membangun tempat tinggal bagi orang-orang Muhajirin yang ketika itu meninggalkan harta bendanya di Mekah.


Nabi saw. tidak menyerahkan tanggung jawab urusan ini kepada orang lain, dan tidak menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh kaum muhajirin. Alhasil, tidak ada masalah yang berkaitan dengan tempat tinggal, dan memastikannya layak huni. Saat pembangunan berlangsung, Rasulullah saw. menentukan distrik tempat mereka akan membangun.


Inilah bukti bahwa beliau sangat peduli dan memperhatikan urusan umat. Karena itu, dianggap sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana diriwayatkan dalam HR Bukhari yang artinya: “Imam (khalifah) itu laksana penggembala  dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.”


Rasulullah saw. juga memanfaatkan SDA sebagai bahan dalam pembangunan tersebut. Begitu juga dalam pendanaan, Rasulullah saw. mencontohkan bahwa pembiayaan pembangunan perumahan bagi warga miskin berbasis dari kas baitulmal. Yang dilakukan oleh Rasulullah dilanjutkan oleh pemimpin Islam setelah beliau. Mereka bertanggung jawab terhadap hunian bagi rakyatnya. Di masa Khalifah Umar, ventilasi udara saja diperhatikan. Jangan sampai bangunan rumah saling menghalangi dengan tetangganya. Tinggi bangunan juga diatur agar tidak mengganggu rumah di sebelahnya. 


Hanya Islam yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan manusia, termasuk persoalan rutilahu. Sehingga tak ada warga yang rumahnya tidak layak huni. Untuk mewujudkan hal itu, hanya ada satu solusi yang sahih, yaitu dengan kembali kepada sistem Islam yang diterapkan dalam institusi negara. Wallahualam bissawab. [AS-Dara/MKC]