Alt Title

Sengkarut Ibadah Haji, Mengapa Terus Berulang?

Sengkarut Ibadah Haji, Mengapa Terus Berulang?

 


Sistem kapitalisme melihat ibadah haji sebagai lahan untuk meraup keuntungan

Penyelenggaraan ibadah tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu

_____________________


Penulis Siti Aisyah, S. Pd. I

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengajar RA


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Jemaah haji adalah tamu Allah, berkumpul untuk menunaikan ibadah haji, membesarkan asma Allah Swt., dan mengharapkan ridha-Nya. Mereka dimuliakan sebagai duta-duta Allah Swt. dan berhak mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya.


Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh para jemaah haji dan para jemaah umrah adalah para duta Allah. Allah telah memanggil mereka. Lalu mereka memenuhi panggilan-Nya. Mereka memohon kepada Allah. Lalu Allah mengabulkan permohonan mereka.” (HR Ibnu Majah).


Para jemaah haji, sebagai tamu Allah, seharusnya menerima pelayanan yang istimewa. Namun, harapan ini terganggu karena penyelenggaraan ibadah haji 2024 mendapat kritik tajam akibat banyak keluhan dari jemaah Indonesia mengenai pelayanan yang mengecewakan.


Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR mengungkapkan kondisi akomodasi jemaah yang memprihatinkan. Tenda jemaah haji Indonesia kekurangan kapasitas, dan layanan toilet menyebabkan antrean panjang. Ketua Timwas Haji, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menyoroti tenda yang sempit hingga ruang gerak jemaah tak lebih dari satu meter. Akibatnya, banyak jemaah tidak mendapatkan tempat tidur di dalam tenda. Selain itu, kondisi toilet juga menjadi keluhan jemaah RI karena antrean yang bisa mencapai berjam-jam.


Masalah ini bukan hanya terjadi tahun ini, tetapi pada tahun 2023 dengan persoalan akomodasi dan transportasi jemaah haji selama Armuzna yang tidak terkelola dengan baik. Menyebabkan banyak jemaah haji asal Indonesia terlantar di Muzdalifah dan kesulitan mendapatkan makanan (cnnindonesia.com, 20/06/24).


Kritik keras terbaru disuarakan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo,  yang meminta Kementerian Agama (Kemenag) dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) untuk bertanggung jawab atas kondisi jemaah haji Indonesia di Mina, Arab Saudi.


Ibadah haji sudah usai, tetapi masih menyisakan banyak permasalahan dalam banyak aspek, mulai dari kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan jemaah. Semua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan aspek periayahan yang optimal, bukan hanya bisnis semata.


Mengapa karut-marut ini terjadi? Ini adalah buah dari komersialisasi pengurusan akibat sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem kapitalisme melihat ibadah haji sebagai lahan untuk meraup keuntungan, sehingga penyelenggaraan ibadah tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Bukan memastikan bagaimana terlayaninya para tamu Allah, tetapi lebih kepada bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dampaknya, jemaah tidak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci.


Ada usulan untuk membuat pansus, tetapi usulan ini tak akan mampu menyelesaikan persoalan karena akar masalahnya adalah paradigma pelayanan haji dalam sistem kapitalisme. Berbeda dengan sistem Islam yang menetapkan negara sebagai ra’in, pelayan rakyat, yang akan mengurus rakyat dengan baik sehingga nyaman, apalagi dalam menunaikan ibadah.


Dalam Islam, amanah merupakan karakter utama pemimpin, yang didasari oleh kesadaran akan adanya hari pertanggungjawaban di akhirat. Penyelenggara ibadah haji harus bertanggungjawab menyediakan fasilitas terbaik bagi jemaah, agar mereka dapat beribadah dengan khusyuk. Dengan demikian, baik penyelenggara maupun jemaah akan mendapatkan rida Allah dan saling memberikan yang terbaik. Selain itu, Islam memiliki mekanisme dan birokrasi yang sederhana, praktis, dan profesional, sehingga memberikan kenyamanan kepada rakyat. Wallahuallam bissawab. [Dara]