Alt Title

Sistem PPDB Zonasi, Cara Rumit Berebut Kursi Sekolah Negeri

Sistem PPDB Zonasi, Cara Rumit Berebut Kursi Sekolah Negeri

 


Kemampuan pengurusan dalam Islam untuk memenuhi hak pendidikan seluruh warganya itu tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan bidang lainnya terutama kebijakan ekonomi dan politik

Ini adalah kunci keberhasilan pendidikan dalam Islam

______________________________


Penulis Tuti Sugiyatun, S. Pd I

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tengah dibuka. Beragam praktik curang yang terungkap pada PPDB beberapa tahun sebelumnya rawan terulang kembali. Bukan hanya karena tak ada perubahan ketentuan, yaitu Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB ini. Namun pemerintah dan pemerintah daerah tak banyak menunjukkan gebrakan baru untuk mencegah dan melawan kecurangan PPDB.


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji melalui siaran persnya menyebutkan, sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ini sebagai sistem “rebutan kursi sekolahan” yang tidak adil. Sistem PPDB dinilai bakal membuat banyak anak-anak tidak tertampung sekolah karena kapasitas sekolah yang tidak muat.

 

Kemudian sistem zonasi sendiri ternyata menyimpang dari visi yang seharusnya, yakni pemerataan menjadi ketimpangan. Oleh karena itu, istilah zonasi adalah sebagai kompetisi rebutan kursi. Artinya, jumlah anak yang mau sekolah dengan jumlah kursi yang tersedia tidak merata.


Dengan kata lain jumlah kursi sekolah sedikit tapi yang mendaftar banyak. Ia juga menilai zonasi membuat ketimpangan mutu dan tak ada jaminan kepastian, dan ini akan banyak menimbulkan praktik kecurangan. (tempo.com, 11/6/24)


Sistem PPDB yang seperti ini tidak mampu memberikan keadilan bagi siswa yang masuk ke jenjang pendidikan. Bahkan siswa yang berprestasi tidak ada peluang mendapatkan kursi karena untuk kuota jalur prestasi sendiri juga terbatas. Jalur zonasi juga sungguh sangat memberatkan, karena jumlah sekolah pada zona tempat tinggal siswa sangat minim.


Pada akhirnya menjadi rumit juga bagi siswa yang berprestasi, tetapi berada di luar zona. Dengan kondisi seperti ini, akhirnya menjadi pemicu bagi orang tua untuk berbuat curang demi memuluskan niatnya menyekolahkan anak di sekolah yang diharapkan.


Kalau kita lihat kembali pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 yang isinya tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mempertegas dengan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Akan tetapi kenyataannya nihil, tidak ada capaian ke arah para siswa terjamin dari pendidikannya.


Pada kondisi ini, agar semua siswa mendapatkan haknya yaitu pendidikan yang murah dan berkualitas, juga merata di seluruh wilayah, maka sudah seharusnya pemerintah menghentikan sistem PPDB yang tidak adil dan rumit ini.


Pemerintah harus menyediakan sarana sekolah sesuai dengan kebutuhan peserta didik di seluruh wilayah Indonesia, bukan malah terkesan membiarkan peserta didik untuk mengundi nasib dengan cara berebut kursi agar mendapatkan sekolah yang diinginkan.


Kondisi seperti ini terjadi akibat tata kelola negara di Indonesia yang selalu bertumpu pada arah pandang kapitalisme, termasuk dalam sistem pendidikannya. Pendidikan dianggap sebagai barang ekonomi, bukan sebagai layanan yang wajib dipenuhi. Oleh sebab itu, dalam tata kelola pendidikannya juga diliberalisasikan dan tidak pandang bulu.


Untuk itu berlakulah prinsip siapa yang ingin mendapatkan sekolah bagus, maka harus mau merogoh kocek lebih. Sekolah swasta pun tidak ketinggalan memanfaatkan peluang untuk berdagang di dunia pendidikan.


Selain itu, dari pihak pemerintah sendiri sangat perhitungan terhadap anggaran yang harus dikeluarkan untuk memenuhi sarana pendidikan masyarakatnya. Jadi selama tetap berarah pada sistem kapitalisme, maka kondisi seperti itu akan terus berulang, dan tidak memedulikan pada kondisi ekonomi masyarakatnya.


Nah kalau di dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan hak mendapatkan pendidikan itu bukan hanya pendidikan selama sembilan tahun melainkan sampai perguruan tinggi (PT). Dengan terpenuhinya hak pendidikan dari dasar sampai PT, maka akan tercetak generasi berpotensi yang akan menjadi generasi yang cerdas dan siap menjadi calon pembangun peradaban, kompeten dalam bidangnya.


Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, dari hal yang terkecil sampai hal yang terbesar. Penguasalah yang mengatur dan bertanggung jawab atas hal-hal yang dibutuhkan warganya, maka setiap kebutuhan asasi warga akan dipenuhi dengan sepenuh hati dan dengan seluruh kemampuan.


Dengan pengaturan yang sesuai dengan syariat Islam dan selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, maka keamanan, kesejahteraan, dan kenyamanan terutama dalam pendidikan akan tercapai. Sehingga tidak akan ada sistem zonasi PPDB yang rumit dan penuh kecurangan.


Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR. Bukhari).


Kemampuan pengurusan dalam Islam untuk memenuhi hak pendidikan seluruh warganya itu tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan bidang lainnya terutama kebijakan ekonomi dan politik. Ini adalah kunci keberhasilan pendidikan dalam Islam.


Mencari sekolah bukanlah perkara sulit dan rumit, bahkan seluruh warga akan mendapatkan pendidikan terbaik karena ini semua ditopang oleh sistem pendidikan Islam, kurikulum terbaik dan tata kelola terbaik.


Itulah sistem yang pernah melahirkan peradaban yang gemilang dan jaya pada masanya. Tidak lain adalah sistem Islam secara kafah. Dengan demikian, maka sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang membuat rumit masyarakatnya yaitu kapitalisme dan kembali kepada sistem Islam kafah.


Dan sudah sepatutnya kita semua tersadar dan tergerak untuk membangun sistem yang adil ini, yang bersumber dari Zat yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. 


Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Maidah ayat 49, yang artinya:

"Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadailah mereka agar mereka tidak dapat memperdayakan engkau untuk meninggalkan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang fasik." 

Wallahualam bissawab. [SJ]