Alt Title

Tak Ada Kawan atau lawan Sejati dalam Politik Demokrasi

Tak Ada Kawan atau lawan Sejati dalam Politik Demokrasi

 


Kepentingan itu pula yang jadi bukti, bahwa ikatan yang mereka bangun hanya atas dasar maslahat untuk meraup keuntungan pribadi, keluarga, dan golongannya semata

Politik transaksional sangat kental dalam sistem politik demokrasi

_____________________________________


Penulis Siti Sopianti

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sukses dengan terselenggaranya pemilihan umum 2024. Kini saatnya, putra-putri daerah mulai unjuk gigi dalam kompetisi pemilihan daerah. Sepasang nama  tercium dari berbagai kalangan, tak terkecuali publik figur atau selebritas. Berkaca dari yang sudah terjadi beberapa tahun silam. Kita sebagai penonton pesta demokrasi dibuat gemas olehnya. Bagaimana tidak, saat pemilu sebelum 2024 masyarakat dibuat ricuh dengan terjadinya mengkotak-kotakkan kubu. Satu mendukung Pak Jokowi dan satu lagi mendukung Pak Prabowo. 


Masyarakat awam diperlihatkan fenomena tersebut dengan penuh persaingan. Tak jarang antar anggota keluarga saling serang. Prabowo yang berseberangan dengan koalisi pemerintah, dianggap mewakili suara hati partai Islam yang berlaga dalam kabinet dan suara sebagian umat Islam yang mengaku dirinya sebagai pejuang kebenaran. 


Namun semua itu sirna, saat Pak Jokowi memenangkan kompetisi. Bahkan, kondisi Pak Prabowo yang dianggap oposisi teguh pendirian. Beliau malah ikut kontribusi dan berlaga dalam penetapan jajaran menteri, bergabung dengan kabinet yang dipimpin Pak Jokowi. Tentu hal tersebut membuat heran dan kecewa sebagian masyarakat. Sia-sia perjuangan pendukungnya selama ini.


Kekecewaan masyarakat tak hanya sampai di situ. Di pemilu 2024 ini, Pak Prabowo menggandeng Gibran putra dari Bapak Jokowi untuk menjadi calon wakil presiden Republik Indonesia (RI). Hal itu membuat pro dan kontra terjadi. Selain Gibran ada di posisi berseberangan sebelumnya dengan Pak Prabowo. Gibran juga dinilai kurang mumpuni serta belum cukup umur di mata sebagian warga Indonesia. 


Lebih vulgar lagi para pendukung Prabowo Subianto dihadiahi jabatan sebagai petinggi BUMN. Nepotisme tampak dalam hal bagi-bagi jabatan ini seperti halnya era Joko Widodo. Para pengamat dan aktivis politik menilai hal demikian bisa merugikan negara. Karena, politik balas budi bisa merusak kinerja BUMN. Serta mempertontonkan penyalahgunaan kekuasaan di hadapan rakyat. (www.bbc.com, 14-06-2024)


Inilah bukti bahwa dalam sistem demokrasi tak ada kawan sejati. Sebelumnya kita mungkin berkawan saling dukung dalam satu partai atau koalisi, saling bahu-membahu dalam raih kemenangan, dan saling motivasi. Akan tetapi esok semua itu bisa berubah menjadi lawan yang saling serang dan jadi berseberangan. Sungguh mengerikan bukan.


Inilah warna yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler liberal. Di mana semua orang standar hidupnya pada kekuasaan hawa nafsu dan materi semata. Semua orang berlomba-lomba raih jabatan dan kekuasaan dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing, bukan karena Allah Swt.. Tak heran, sekalipun caranya melanggar aturan syariat, tetap saja mereka tempuh demi meraih apa yang mereka tuju. 


Kepentingan itu pula yang jadi bukti, bahwa ikatan yang mereka bangun hanya atas dasar maslahat untuk meraup keuntungan pribadi, keluarga, dan golongannya semata. Politik transaksional sangat kental dalam sistem politik demokrasi.


Karena, semua diukur dari manfaat serta materi yang diperoleh. Kerjasama yang terjalin didasarkan adanya kepentingan atau imbalan yang hendak diraih. Walhasil, yang diberi jabatan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. 


Beda halnya dalam sistem Islam yang berlandaskan pada mabda (Ideologi) Islam. Semua orang berpolitik atas dasar karena Allah Swt. untuk kepentingan umat Islam (kaum muslimin). Al-Qur'an dan Sunnah dijadikan standar kehidupan. Hukum Allah Swt dijadikan penentu kebijakan. Bukan hukum manusia yang terkadang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. 


Kekuasaan juga ada di tangan Allah Swt. dan syariat Islam. Bukan di tangan mayoritas manusia seperti halnya dalam sistem demokrasi. Semua kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia bukan lagi kawan, akan tetapi sebagai saudara yang harus senantiasa saling motivasi. Untuk meraih keridaan Allah Swt ikatan yang mereka bangun adalah  akidah Islam yang memancarkan peraturan serta wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin. 


Dalam aturan Islam, kaum muslimin menganggap bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai  pertanggungjawaban. Oleh karenanya, para pejabat termasuk negara harus memiliki kapabilitas yang mumpuni agar dapat menjalankan fungsi dan perannya secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan yang Allah Swt. ridai. 


Sungguh indah bukan jika Al-Qur'an bisa tegak di muka bumi ini. Dan sahabat sejati itu bisa kita dapatkan hanya dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab. [DW-Dara/MKC]