Tapera Makin Membuat Rakyat Sengsara
Opini
Penguasa harus mampu menyediakan perumahan yang layak bagi rakyatnya
Penguasa adalah raa’in/pengurus yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya (Al hadis)
_________________________
Penulis Yani Ummu Qutuz
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pilu nian nasib rakyat negeri ini, di tengah himpitan hidup karena kesulitan ekonomi, pemerintah akan memberlakukan kebijakan Tapera. Tapera mengharuskan pekerja, baik dari sektor formal maupun informal, untuk menyisihkan 3% dari penghasilan mereka ke dalam dana tabungan perumahan. Meskipun akhirnya ditunda pelaksanaannya hingga 2027, karena adanya protes kuat di tengah masyarakat.
Tapera dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 terkait perubahan atas PP No. 25/2020 tentang penyelenggaraan Tapera, dan UU No.4/2016. (detikNews.com, 8-6-2014)
Kepesertaan yang wajib pada Tapera adalah pekerja instansi/perusahaan dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum dan telah berusia 20 tahun atau sudah kawin saat mendaftar. Mereka adalah PNS, TNI, Polri, pegawai BUMN/BUND, pegawai swasta, hingga pekerja mandiri.
Besaran kontribusi ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji untuk pekerja formal, yang dibagi menjadi 2,5 persen ditanggung pekerja, 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Sementara besaran simpanan untuk peserta pekerja mandiri ditanggung sendiri sebesar 3 persen.
Kebijakan ini seolah memberi peluang pada rakyat untuk memiliki rumah, tetapi faktanya tidak seperti itu. Menurut pemerhati kebijakan publik, Iin Eka Setiawati, ada empat alasan kenapa kebijakan ini pantas ditolak.
Pertama, semua pekerja yang memenuhi syarat dan ketentuan diwajibkan menjadi peserta Tapera. Baik yang belum punya rumah, yang sudah punya rumah atau yang sedang menyicil rumah. Jelas ini adalah pemaksaan.
Kedua, tidak ada jaminan bagi peserta untuk memiliki rumah, karena targetnya memberikan pinjaman kredit rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kriteria penghasilan maksimal Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan untuk wilayah Papua. Minimal kepesertaan 12 bulan, pengembalian pinjaman plus bunga, ini tentunya sangat memberatkan.
Ketiga, peserta akan sulit untuk menarik tabungan yang telah disetorkan karena ada syarat yaitu peserta meninggal dunia, telah pensiun, berusia 58 tahun, atau tidak memenuhi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut. Jadi peserta harus menganggur dahulu baru tabungan bisa diambil.
Keempat, ada sanksi administratif bagi peserta yang tidak melakukan pembayaran. Tindakan pemaksaan ini adalah bentuk kezaliman terhadap rakyat.
Beginilah nasib rakyat di tangan penguasa yang menerapkan sistem kapitalis sekuler. Mereka selalu menjadi korban kebijakan yang diterapkan penguasa. Dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah, negara menyerahkan kewenangan pemenuhan rumah bagi rakyat kepada operator, badan usaha atau korporasi. Negara hanya menjadi regulator yang membuat UU untuk kepentingan operator. Sementara operator didirikan bertujuan untuk mencari keuntungan materi sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 25/2020.
Tapera sama halnya seperti BPJS Kesehatan, di mana rakyat dipaksa untuk saling menanggung beban dengan negara atas nama gotong royong. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berhak mengajukan pinjaman kredit untuk membangun rumah pertama hanya melalui operator ini. Pinjaman tersebut harus dikembalikan tentu dengan bunganya, kebijakan yang membebani rakyat.
Sebenarnya negara tidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat. Karena pengelolaan SDA diserahkan kepada para pengusaha dan oligarki. Sementara pemasukan utama negara adalah pajak. Maka wajar kalau pemasukan negara minim dan kerap terjerat utang khususnya kepada negara kapitalis Barat. Alih-alih negara berempati pada kepentingan rakyat, diluncurkanlah Tapera yang sebenarnya adalah program dana talangan dari rakyat untuk mendapatkan sumber uang baru dan diinvestasikan pada program pro oligarki.
Permasalahan perumahan merupakan hal yang sangat urgen bagi rakyat. Rumah adalah tempat kehidupan khusus bagi seorang muslim di mana di dalamnya ada penerapan aturan Islam. Maka setiap keluarga muslim haruslah mendapat kemudahan untuk memiliki rumah yang layak (pantas dihuni), nyaman (terpenuhi aspek kesehatan), harga terjangkau, dan syar'i.
Penguasa harus mampu menyediakan perumahan yang layak bagi rakyatnya. Karena penguasa adalah raa’in/pengurus yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya (Al hadis). Ia wajib melayani berbagai urusan rakyat berlandaskan hukum syariat. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan ekonomi.
Sumber pembiayaan diambil dari baitulmal dan pembiayaan yang bersifat mutlak. Negara dibolehkan memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Negara melarang penguasaan tanah oleh korporasi, karena hal itu akan menghalangi negara dalam menyediakan lahan perumahan. Negara wajib merenovasi secara langsung rumah rakyat miskin yang tidak layak huni, tidak melalui operator (bank penyalur/pengembang) dan tanpa syarat yang rumit.
Negara pun mengolah bahan bangunan dari sumber daya tambang yang melimpah. Sehingga dihasilkan semen, besi, alumunium, tembaga, dan lain-lain, menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Rakyat akan mudah mendapatkannya dengan harga murah atau gratis.
Dengan mekanisme seperti ini, maka setiap orang dengan mudah memenuhi kebutuhan rumah. Tidak akan ditemukan para gelandangan yang tidur di emperan toko atau di kolong jembatan. Maka mengapa masih ragu? Mari kita terapkan Islam kafah! Wallahualam bissawab. [GSM]