Alt Title

Tawuran demi Cuan, Buaian Kapitalisme Hasilkan Generasi Kebablasan

Tawuran demi Cuan, Buaian Kapitalisme Hasilkan Generasi Kebablasan

 


Aksi pamer kekuatan dengan tawuran kini diselipi motif kapitalistik demi raih cuan melalui live medsos

Ini menampakkan betapa generasi kini demikian rusaknya

___________________________


Penulis Yuliyati Sambas 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tawuran yang dilakukan oleh remaja kini sudah semakin menjadi-jadi. Perilaku mereka kian kebablasan. Bahkan motif yang melatarinya kini kian bergeser berbau kapitalistik, tawuran demi live di medsos mencari cuan dan popularitas. Astagfirullah al-adhim


Aksi tawuran berulang telah terjadi di wilayah Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur, tepatnya di Jalan Basura (Basuki Rahmat).  Lebih dari setahun pasca-aksi perdana, sekelompok warga RW 01 dan RW 02 menjajal kegagahan, bertempur satu sama lain dengan menggunakan senjata tajam, batu, hingga petasan. Motifnya diawali dari saling ejek, dendam lama, adanya provokasi pihak luar, pengaruh miras dan obat terlarang, sampai keinginan mendulang cuan dengan live di medsos. (Detik.com, 30/6/2024)


Lain lagi yang terjadi di wilayah kerja Polsek Ciomas, Bogor. Di saat satuan kepolisian setempat tengah bertugas menjalankan operasi pekat pada Minggu (30/6/2024) dini hari, mereka berhasil menangkap 8 anggota geng motor di Gang Abadi, Desa Kotabatu. Dua pedang menjadi alat bukti dari ditangkapnya para remaja dengan rentang usia 13 sampai 20 tahun yang diduga telah terlibat tawuran. (Radar Bogor, 30/6/2024)


Sementara di sekitaran daerah Sidotopo Dipo Surabaya, Satuan Polrestabes Surabaya yang tengah bertugas live streaming berhasil menggagalkan rencana tawuran 6 remaja yang kedapatan membawa celurit, gergaji, dan parang. Mereka mengaku sebagai bagian dari gangster Pasukan Angin Malam pada Kamis (27/6/2024) pukul 03.00 WIB. (IDN Times, 27/6/2024)


Unfaedah dan Kriminal

Sungguh sangat disayangkan, masa muda dimana banyak potensi tersimpan dalam diri remaja kini banyak dihabiskan untuk perkara unfaedah bahkan bersifat kriminal. Perkelahian dalam tawuran sungguh tak ada sisi positifnya satu pun. Yang ada justru merugikan dan berpotensi mencelakai diri sendiri juga pihak lain; waktu habis bukan untuk sesuatu yang bersifat belajar dan berkarya; masa depan dipertaruhkan karena tawuran terkategori aksi kriminal di mana tentu berkonsekuensi hukum bagi pelakunya. Lebih jauh bahkan tak jarang bisa mengancam nyawa. 


Namun sangat tak masuk di akal, aksi pamer kekuatan dengan tawuran kini diselipi motif kapitalistik demi raih cuan melalui live medsos. Ini tentu menampakkan betapa generasi hari ini demikian rusaknya. Materi dan kesenangan yang menjadi standar bahagianya membutakan mereka hingga berani menghalalkan segala cara. Mereka terbuai bahagia semu, meraih cuan dan popularitas, tak peduli dengan dampak buruk dan merusak masa depan. 


Dari fakta tersebut pun bisa dikaitkan bahwa sistem pendidikan yang ada kini, nyata gagal membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur, saling sayang dengan sesama, dan menjadikan halal haram sebagai patokan dalam perbuatan. Sebaliknya mereka justru tercetak menjadi pribadi yang kasar, buta dari rasa kasih dengan sesama, bahkan tak peduli dengan keselamatan diri dan sekitar. 


Menghamba pada Materi

Jika mau jujur sungguh akar persoalan semuanya adalah penerapan sistem kufur kapitalisme sekuler yang ada dewasa ini. Kapitalisme telah menjadikan manusia-manusia yang hidup hari ini menghamba pada materi, standar kebahagiaannya pun materi dan kesenangan jasadi.


Begitupun ketika sistem pendidikan yang ada berjalan dengan rumus kapitalisme dan asas sekuler. Target output pendidikan berkisar seputar kepintaran, kecerdasan, dan bisa bekerja untuk mendapat uang. Karakter yang dibangun berdasarkan prinsip sekuler telah menjauhkan anak didik dari memiliki pemikiran, perasaan, dan perbuatan yang islami. Yang ada, pemikiran, perasaan, dan perbuatan bersandar pada prinsip kebebasan berekspresi dan penghalalan segala cara dalam meraih apa yang diinginkan.


Standarisasi Kebahagiaan Hakiki

Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan Islam. Dalam Islam, kebahagiaan distandarisasi dengan teraihnya rida dari Sang Maha Pencipta. Maka, peraihannya hanya akan mengarah pada setiap perbuatan yang dapat menghantarkan menuju ketaatan akan aturan-Nya. Halal haram tentu akan menjadi patokan. Tak akan didapati orang-orang yang demi teraihnya kebahagiaan lantas menjadikan aktivitas yang diharamkan oleh Allah Swt. semisal melalui tawuran.


Negara sebagai garda utama dalam membentuk generasi berkualitas akan menjalankan perannya sebagai pengurus dan bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyatnya, tak terkecuali urusan pendidikan. Penguasa dalam pandangan Islam demikian bertanggung jawab akan urusan rakyatnya. 


Sabda Nabi Muhammad saw., "Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat. Dan ia bertanggung jawab atas semua urusan rakyatnya." (HR Imam Bukhari)


Sistem pendidikan dalam Islam mewasiatkan bahwa output didikannya wajib memiliki kepribadian (syakhsiyah) Islam yang kokoh. Mereka hanya akan menjadikan hukum syarak sebagai standar perbuatan. Halal haram akan senantiasa digenggam menjadi pembeda mana yang akan diambil dan mana yang tidak. 


Sistem pendidikan Islam pun bertanggungjawab dalam menghasilkan sosok-sosok yang mencintai ilmu dan berkarya demi kemaslahatan diri dan umat. Maka penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan skill kehidupan menjadi poin berikutnya yang tak kalah penting dalam pelaksanaan sistem pendidikan Islam bagi generasi.


Namun sungguh pandangan Islam tersebut hanya akan terlaksana sempurna hingga teraih semua dampak positif dan agungnya jika diterapkan secara sempurna (kafah). Generasi rusak dan merusak yang kebablasan hasil buaian kapitalisme sekuler pun otomatis hanya dapat diselamatkan dengan diterapkannya sistem Islam kafah. Wallahualam bissawab. [By]