Alt Title

Terjebak Lilitan Utang Ribawi, Pelindo Jual Saham JTCC

Terjebak Lilitan Utang Ribawi, Pelindo Jual Saham JTCC


Pada kenyataannya, utang merupakan jebakan yang mengancam kedaulatan negara

Minimal adalah tergadainya aset negara

____________________________


Penulis Ummu Zhafira

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tak jera jebakan utang ribawi. Negeri ini sepertinya makin rela menenggelamkan diri pada jurang kehancuran. Karena pada akhirnya, aset negara harus rela tergadai demi terbayarnya utang. 


Bukan sekali atau dua kali pembangunan infrastruktur strategis harus berakhir tragis. Pembiayaan pembangunannya didapatkan dari utang. Tetapi setelah infrastruktur jadi, malah dijual pada swasta. Sebagai solusi untuk mencicil utang yang ada. 


Sebagaimana dilansir dari Tempo.co, (03/07/2024). Setidaknya 65 persen saham yang dimiliki PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), pada Jalan Tol Cibitung-Cilincing akan dilakukan divestasi. Pembebasan saham sebanyak lebih dari 50 persen tersebut, dilakukan untuk mengurangi utang perusahaan sebesar Rp8 triliun. 


Arif Suhartono selaku Direktur Utama Pelindo, memproyeksikan utang perseroan akan mengalami penurunan menjadi Rp41,93 triliun di tahun 2024. Dari Rp49,87 triliun pada 2023. Saat merger, setidaknya total ada sebesar Rp50,90 triliun tercatat sebagai utang Pelindo. 


Pada 2021 lalu, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) juga menyebutkan akan mendivestasikan seluruh aset jalan tolnya hingga 2025 mendatang. Hal ini dilakukan lantaran pembangunan tol ini telah menimbulkan beban utang yang luar biasa besar bagi perusahaan. Setidaknya, utang yang ditimbulkan oleh investasi jalan tol ini mencapai hingga Rp53 triliun-Rp54 triliun.


Direktur Utama Waskita Karya, Destiawan Soewardjono menyatakan, perusahaannya terbebani pinjaman investasi jalan tol yang cukup tinggi. Untuk itu, ruas jalan tol harus dilepas demi mengurangi atau menyelesaikan beban pinjaman yang ada. 


Hingga September 2021. Perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi tersebut, telah mendivestasikan setidaknya empat ruas tol dan menghasilkan Rp6,8 triliun. Dari proses divestasi ini, perusahaan berhasil dekonsolidasi utang senilai Rp6 triliun. (cnbcindonesia.com, 04/11/2021) 


Bagi negara berkembang penganut kapitalisme sekuler. Utang merupakan satu-satunya solusi dalam mengatasi persoalan negeri. Salah satunya dalam hal pembiayaan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol. 


Bagi mereka, pembangunan infrastruktur menjadi hal utama bagi kemajuan negara. Tak ayal apa pun dilakukan. Demi mewujudkan semua rencana yang telah disusun sebagai proyek strategis nasional. Mereka berdalih, semua pembangunan ini dilakukan untuk bisa menunjang kesejahteraan masyarakat. 


Namun, sangat disayangkan. Pada kenyataannya, utang merupakan jebakan yang mengancam kedaulatan negara. Minimal adalah tergadainya aset negara. Sebagaimana kasus jual saham JTCC dan kasus jual ruas jalan tol oleh Waskita. 


Jika infrastruktur yang dibangun kemudian beralih ke tangan swasta. Berarti, tujuan pembangunannya patut dipertanyakan. Benarkah untuk kepentingan rakyat? Sebab, kalau sudah dimiliki swasta bukankah rakyat harus siap membayar mahal untuk setiap fasilitas yang disediakan? Siapa yang diuntungkan atas pembangunan ini? 


Sungguh, sekularisme kapitalis benar-benar telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan bernegara. Para penguasa tak lagi peduli pada kepentingan rakyat. Melainkan mengabdi demi kepuasan para korporat. 


Pembangunan berbagai ruas jalan tol yang digadang-gadang akan memudahkan mobilitas logistik, demi kesejahteraan masyarakat, hanya sebatas isapan jempol. Pembangunan ini justru menjadikan masyarakat makin sulit. Mereka harus membayar mahal untuk bisa melewati ruas jalan tol yang sudah dimiliki oleh swasta. 


Kesenjangan pembangunan di kota dengan wilayah terpencil juga makin menumbuhkan sentimen di tengah masyarakat. Di satu sisi pembangunan infrastruktur digenjot di wilayah yang dianggap strategis. Akan tetapi di wilayah lainnya dibiarkan begitu saja. 


Hingga kita terbiasa melihat pemandangan anak sekolah bergelantungan pada jembatan tali yang mengancam keselamatan. Banyak juga jalanan yang dibiarkan berlubang. Bahkan berkubang lumpur, karena minimnya pembangunan.


Wahai penguasa, sadarlah! Kepemimpinan yang kau pikul akan dimintai pertanggungjawaban. Negara seharusnya segera membebaskan diri dari ketergantungan utang, dalam menjalankan roda pemerintahan. Apalagi utang ribawi yang jelas haram. Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (QS Ali Imron [3]: 130)


Negara juga harus mengkaji ulang rencana pembangunan infrastruktur. Dalam berbagai proyek strategis nasional. Mempertimbangkan dengan matang. Apakah proyek tersebut benar-benar urgen atau bisa ditunda bahkan dibatalkan?


Sebab, ketika kita melihat kondisi perekonomian hari ini. Jika memaksakan diri melakukan pembangunan yang tidak mendesak dilakukan, merupakan tindakan gegabah. Apalagi melakukannya dengan bermodalkan utang. Ini sama saja bunuh diri.


Jika ini terus dibiarkan, bisa jadi kita benar-benar tak lagi memiliki kedaulatan sebagai sebuah negara yang merdeka. Sebab, semua aset negara telah dimiliki oleh swasta. Selain itu, negara wajib memperhitungkan setiap kebijakan berdasarkan hukum syarak. Demi kemaslahatan masyarakat secara umum, bukan untuk kepentingan para pemilik modal. 


Maka pembangunan infrastruktur harus benar-benar demi kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga mereka bisa menikmatinya dengan gratis tanpa dibebani biaya. Sebagaimana yang terjadi hari ini. Apakah hal ini bisa dilakukan? Jawabnya, tentu saja bisa. 


Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Dia memiliki mekanisme yang jelas, dalam mengatur kepemilikan harta. Negara juga memiliki sumber pendapatan dari berbagai macam pos. Seperti, sumber daya alam yang melimpah yang negeri ini miliki.


Dalam sistem Islam, semua sumber daya itu merupakan kepemilikan umum. Yang harus dikelola negara untuk kepentingan seluruh masyarakat. Dari satu pos ini saja. Kita bisa membayangkan pendapatan besar yang bisa didapatkan. Serta digunakan untuk membiayai berbagai macam proyek strategis, yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. 


Negara tak perlu melakukan pungutan biaya kepada masyarakat yang ingin mengakses fasilitas jalan. Karena, negara memastikan dirinya sebagai pengurus urusan rakyat. Bukan sebagai penjual dan pembeli. 


Sistem perekonomian yang kuat akan mampu menopang pembangunan berkelanjutan, demi terwujudnya kemaslahatan di tengah umat. Negara akan kokoh berdiri dengan kedaulatan sejati. Tanpa harus terbebani utang, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini hanya bisa diwujudkan. Ketika negara mengadopsi secara totalitas sistem Islam dalam setiap lini kehidupan. Wallahualam bissawab. [SH-Dara/MKC]