Alt Title

Aborsi Bukan Solusi, Kok Bisa Dilegalisasi?

Aborsi Bukan Solusi, Kok Bisa Dilegalisasi?

 


Sejatinya tindakan aborsi meski dilegalkan tetap berisiko tinggi bagi perempuan

Salah satu risikonya adalah kematian akibat pendarahan, dan infeksi

____________________________


Penulis Sri Haryati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini pemerintah membolehkan tenaga kesehatan, dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan, atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mengatur pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023, tentang Kesehatan. 


Dalam PP tersebut dijelaskan ketentuan aborsi yang dibolehkan, hal itu untuk mencegah praktik ilegal. Pelaksanaan aborsi boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat medis, atau pada korban pemerkosaan yang menyebabkan kehamilan. (tirto.id, 30/7/24) 


Menanggapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tersebut, Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis mengatakan, pasal terkait aborsi tersebut belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia menjelaskan, aborsi boleh dilakukan korban pemerkosaan, tetapi hanya bisa dilakukan jika terjadi kedaruratan medis, dan usia kehamilan sebelum 40 hari, atau sebelum ruh ditiupkan ke dalam janin. 


Dalam fatwa Nomor 1/MUNAS VI/MUI/2000, menyebut tindakan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh, atau sebelum nafkh al-ruh hukumnya adalah haram. Kecuali jika ada alasan medis, seperti kedaruratan medis yang mengancam jiwa si ibu/korban pemerkosaan, atau alasan lain yang dibenarkan oleh syariat Islam. (mediaindonesia.com, 01/8/2024)


Kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil, yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2024 dianggap sebagai salah satu solusi. Padahal, sejatinya tindakan aborsi meski dilegalkan tetap berisiko tinggi bagi perempuan. Salah satu risikonya adalah kematian akibat pendarahan, dan infeksi. Selain itu, aborsi secara moral merupakan tindakan menghilangkan nyawa. Sehingga menambah beban bagi korban, karena harus menghadapi sanksi hukum setelah menghilangkan nyawa janin.


Adanya kasus pemerkosaan di negeri ini, sejatinya menunjukkan bahwa negara tidak mampu memberikan jaminan keamanan bagi perempuan. Meski, sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ UU TPKS, nyatanya kasus pemerkosaan bukannya hilang, atau berkurang, tetapi terus bertambah. 


Sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS), secara keseluruhan tercatat 1.443 kasus pemerkosaan di Indonesia selama tahun 2023. Mayoritas korban adalah anak-anak, dan perempuan. Lonjakan kasus mencapai 23,97 persen, adanya peningkatan signifikan dalam jumlah kasus pemerkosaan dibanding tahun sebelumnya. (sindonews.com, 13/7/2024)


Sedangkan menurut data Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 4.179 kasus, pada Mei 2022-Desember 2023. Laporan terbanyak adalah kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Untuk kasus KSBE mencapai 2.776 kasus. Dari angka tersebut, ada 623 kasus pelecehan seksual, dan sisanya sebanyak 2.153 kasus pemerkosaan. 


Data tersebut menunjukkan betapa maraknya kasus pemerkosaan di Indonesia. Kasusnya variatif dan sangat kompleks, bahkan modusnya semakin canggih. Namun, sejatinya data tersebut hanya sebagian kasus yang terlapor, karena masih banyak korban pemerkosaan yang tidak melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Karena malu, trauma, keterbatasan informasi, atau merasa percuma jika melapor kepada pihak berwajib. 


Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana rumitnya menuntut keadilan di negeri ini. Penerapan hukum yang tebang pilih, serta hukum yang dapat diperjualbelikan. Membuat sebagian masyarakat, khususnya menengah ke bawah selalu dirugikan, bahkan harus membayar mahal untuk menuntut sebuah keadilan.


Dengan adanya lonjakan kasus pemerkosaan, seharusnya menjadi alarm bagi negara. Untuk mengupayakan pencegahan, dan jaminan keamanan yang kuat bagi perempuan. Seharusnya negara memahami akar masalah meningkatnya kasus pemerkosaan, sehingga menemukan solusi mendasar untuk mengatasinya. Sistem kapitalisme sekuler yang berasaskan kebebasan, dan memisahkan agama dari kehidupan adalah sumber masalah terbesar dalam kehidupan saat ini.


Faktanya, negara menjadikan kapitalisme sekuler sebagai asas dalam mengurus rakyatnya, termasuk dalam membuat regulasi. Sehingga solusi komprehensif untuk mengatasi problematika yang terjadi, sangat sulit tercapai. Bahkan, solusi yang diberikan hanya menambah masalah baru. Selain itu, dalam sistem kapitalisme sekuler, hukum sering berubah sesuai kepentingan penguasa, tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah, dan tidak menimbulkan efek jera. 


Tindak kriminal, pelecehan seksual, dan pemerkosaan tidak akan terjadi, jika negara menerapkan aturan Islam. Islam bukan sekadar agama, tetapi sebuah ideologi yang sahih dengan seperangkat aturan yang lengkap, jelas, dan tegas. Sanksi hukum yang tegas dalam Islam, selain menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir), juga sebagai pencegah bagi orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Dan bisa sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelaku di akhirat kelak. 


Islam memuliakan perempuan, memberikan jaminan keamanan atas perempuan. Hukum Islam untuk pemerkosaan melibatkan hukuman had, atau ta'zir, tergantung pada bukti, dan situasi kejahatan. Sanksi yang tepat juga tegas diberikan untuk menimbulkan efek jera, dan menegakkan keadilan. 


Sistem Islam juga meniscayakan terbentuknya kepribadian Islam, yaitu pola pikir, dan sikap sesuai Islam. Yang menjadikan individu berperilaku sesuai tuntunan Islam, menjadi muslim yang bertakwa, dan berakhlak mulia. Sehingga dapat mencegah dari pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, yang memicu tindakan pemerkosaan. 


Dalam Islam, aborsi merupakan tindakan kriminal, yang mewajibkan adanya diat (tebusan), yang ukurannya sama dengan diat ghurrah. Sebagaimana dijelaskan, dalam kitab Nizham al-Ijtima’i karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Imam Al-Bukhari, dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: "Rasulullah menetapkan bagi janin seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan, dan kemudian meninggal dengan diat ghurrah, baik budak lelaki, ataupun budak perempuan.” 


Dalam Islam, menggugurkan janin setelah 40 hari sejak awal kehamilan adalah haram, dan dipandang sebagai pembunuhan. Kecuali secara medis dokter menyatakan kondisi ibu, dan janin yang dikandungnya dalam bahaya. Sehingga bisa mengakibatkan kematian bagi si ibu juga janin yang dikandungnya. 


Allah Swt. berfirman dalam QS Al-An’am ayat: 151, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”


Bagaimanapun, aborsi bukanlah solusi bagi korban pemerkosaan. Penyelesaian masalah ini harus sistematis, mulai dari akar hingga ke daunnya. Sistem sanksi, dan hukum Islam hanya akan tegak melalui penerapan syariat Islam secara kafah oleh negara. Bukan sistem kapitalisme sekuler yang berasaskan kebebasan.  Wallahuallam bissawab. [SH-Dara/MKC]