Alt Title

Anak Terlindungi, Ilusi dalam Kapitalisme

Anak Terlindungi, Ilusi dalam Kapitalisme

 


Jalur zonasi tidak serta merta membuat anak yang tinggal di lingkungan sekolah bisa dengan mudah masuk ke sekolah yang diinginkan

Alih-alih terlindungi, sebagian anak dan orang tua justru bernasib pilu akibat sistem pendidikan yang berlaku

_________________________


Penulis Tinah Asri

Kontributor Media Kuntum Cahaya  dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" sengaja diambil sebagai tema dalam acara peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang ke-24. 


Puncak peringatan digelar di Istora Papua Bangkit, Jayapura, Propinsi Papua. Hadir dalam acara tersebut Bapak Presiden Joko Widodo yang didampingi Ibu Iriana Joko Widodo. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, sengaja dipilih Papua agar kemeriahan peringatan dapat dirasakan oleh anak-anak di daerah terpencil. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kesejahteraan anak, dan bersama-sama menciptakan lingkungan yang baik guna mendukung perkembangan anak. Baik dari segi perlindungan, kesehatan dan pendidikan.


Namun sayang, di tengah kemeriahan peringatan hari anak nasional tersebut justru ada sejumlah anak yang mengalami kekecewaan, menjadi korban PPDB yang sarat dengan kecurangan. Sebanyak 36 anak dikeluarkan secara mendadak oleh pihak sekolah. Padahal, sebelumnya mereka telah diterima di SMKN I Tambun Utara, Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, telah mengikuti kegiatan MPLS selama sepekan. Akibatnya, orang tua dari anak tersebut marah, merasa ditipu karena telah membayar uang pendaftaran sebesar Rp1,7 juta. Mereka pun menggelar aksi protes dengan menggembok pagar masuk sekolah tersebut.


Sementara itu, menurut Kepala Sekolah SMKN I Tambun Utara Firdaus B Salemo yang memberikan klarifikasi melalui sambungan telepon, mengatakan jika anak-anak yang dimaksud awalnya diterima menjadi kelas tambahan, atas permintaan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat. Namun, penambahan tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat. Karena tidak terdaftar dalam PPDB online, bisa dipastikan mereka tidak mendapatkan jatah dana bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga terpaksa dikeluarkan. Selanjutnya, kepala sekolah berjanji akan mengembalikan uang yang telah dibayarkan orang tua siswa kepada pihak sekolah. "Kami akan mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh orang tua siswa." (Beritasatu.com, Senin 22-07-2023)


Kejadian tersebut tentunya membuka mata kita, betapa karut marutnya sistem pendidikan negeri ini. Menunjukkan, pemerintah tak sepenuh hati dalam mengurusi rakyat, khususnya bidang pendidikan. Regulasi yang berbelit, pendaftaran berbasis online nyatanya tidak semua orang tua memahami. Jalur zonasi pun tidak serta merta membuat anak yang tinggal di lingkungan sekolah bisa dengan mudah masuk ke sekolah yang diinginkan. Alih-alih terlindungi, sebagian anak dan orang tua justru bernasib pilu akibat sistem pendidikan yang berlaku.


Sejatinya, biang kerok dari rusaknya dunia pendidikan saat ini tak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan atas negeri ini. Ekonomi kapitalis menganggap, sektor pendidikan adalah ladang bisnis yang sangat menjanjikan bagi para pemilik modal. Sekolah-sekolah didirikan bukan untuk mencerdaskan generasi, melainkan sebagai tempat bisnis yang memperhitungkan untung rugi. Parahnya lagi kurikulum pun disusun berdasarkan pesanan industri, yang menghasilkan generasi kacung penunjang faktor produksi. Di sinilah letak pembodohan terhadap generasi, padahal kita semua tahu generasi merupakan agen perubahan menuju peradaban yang gemilang. Di atas pundak mereka keberlangsungan dan nasib suatu bangsa ditentukan. 


Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan Islam secara kafah. Negara dalam sistem Islam memandang pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia. Jika tidak terpenuhi akan menyebabkan pada kerusakan, baik dari segi moral, pemikiran, sains dan teknologi, sehingga pemenuhan kebutuhan sektor pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Pemimpin dalam negara Islam, wajib memenuhi semua sarana yang dibutuhkan demi berlangsungnya aktivitas belajar mengajar. Bukan hanya gratis dari segi pembiayaan, tetapi juga sarana-sarana lain seperti membangun gedung-gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, menyediakan guru dan karyawan yang berkompeten, buku, alat kantor dan lain-lain.


Pembangunan sekolah yang menyeluruh sampai ke pelosok-pelosok negeri tanpa membedakan pendidikan bagi si kaya dan si miskin. Sebab, tugas seorang pemimpin adalah sebagai (ra'iin) pelindung dan pengurus urusan rakyat termasuk di dalamnya sektor pendidikan.

"Imam (pemimpin) adalah pengurus urusan rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya," (HR Muslim). 


Pembiayaan sektor pendidikan diambil dari baitulmal yang bersumber dari harta dengan status kepemilikan menjadi milik umum (milkiyyah 'aammah). Negara wajib mengelola kekayaan sumber tambang, seperti emas, minyak dan batu-bara dan hasilnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Selain itu negara juga wajib mengelola infrastruktur yang menaungi hajat hidup orang banyak. Negara tidak boleh mengambil keuntungan sedikit pun, tetapi negara wajib mengembalikan kepada pemiliknya yaitu rakyat dalam bentuk lain salah satu pemenuhan kebutuhan pendidikan.


Pendidikan dalam negara Islam dibangun berdasarkan akidah Islam, memiliki standar dan tujuan yang jelas. Membentuk anak didik berkepribadian Islam, mempunyai pola pikir dan pola sikap bersandarkan pada syariat Islam.


Lahirnya generasi tangguh yang mampu menjadi pemimpin untuk menjaga dan melayani rakyatnya. Pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan penuh amanah, semata karena ketaatannya kepada Allah Swt..

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim). Wallahualam bissawab. [SM-GSM/MKC]