Alt Title

Apa Kabar Anak Indonesia di Hari Anak Nasional?

Apa Kabar Anak Indonesia di Hari Anak Nasional?

 


Secara denotatif anak-anak telantar karena faktor buruknya kondisi ekonomi keluarga yang terjadi secara sistemik

Hal demikian menghasilkan anak yang minim pengasuhan, pengayoman, sampai pemenuhan hak-haknya

_________________________


Penulis Yuliyati Sambas

Tim Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Sudah 40 tahun Hari Anak Nasional (HAN) setiap 23 Juli tak absen diperingati di negeri ini. Tahun 2024 ini dilansir dari situs resminya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) HAN mengangkat tema yang sama dengan tahun sebelumnya, yaitu “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Yang membedakan bahwa tema tersebut di tahun ini didetili menjadi 6 subtema. (1) Anak Cerdas: Berinternet Sehat; (2) Suara Anak Membangun Bangsa; (3) Pancasila di Hati Anak Indonesia; (4) Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor; (5) Pengasuhan Layak untuk Anak: Digital Parenting; (5) Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja. Tanggal 18 Juli ditetapkan sebagai puncak rangkaian peringatan HAN 2024 di Jakarta. (Kompas.com, 18/7/2024)


Kemeriahan momen peringatan HAN yang dihadiri Bapak Presiden Joko Widodo beserta Ibu sendiri diselenggarakan di Istora Papua Bangkit, Kampung Harapan, Jayapura. Tepat pada 23 Juli 2024 semaraknya tarian kolosal 2.600 anak tercatat sebagai rekor MURI. Ada hal yang unik dalam perayaan HAN tahun ini, Presiden tidak memberikan pidatonya. Ia beralasan bahwa 23 Juli adalah harinya anak-anak. Mereka harus diberi kesempatan terus bermain, berinteraksi, dan belajar. (Website resmi Pemprov Papua, 23 Juli 2024)


Hal yang menggelitik muncul di dalam benak. Benarkah anak-anak Indonesia saat ini berkesempatan untuk sepenuhnya bermain dengan ceria? Apakah anak-anak telah berinteraksi secara sehat selama ini? Sudahkan kesempatan belajar mereka dapat secara berkualitas dan berkeadilan? 


Sederet Problem Serius

Fakta yang terjadi sungguh membuat dada terasa sesak. Di sela gempita perayaan Hari Anak Nasional, beragam persoalan berkenaan dengan anak-anak terpampang nyata. Ia bertumpuk menjadi PR tak berkesudahan. Sebanyak 197 ribu anak rentang usia 11-19 tahun tercatat bermain judi online. Tak tanggung-tanggung, transaksi yang berputar dalam bisnis haram itu sampai 293 miliar rupiah (YouTube kompas tv, 27 Juli 2024). Apa yang akan terjadi jika generasi penerus masa depan terjerat dengan aktivitas tercela, dosa, dan dipenuhi angan-angan? Sesak dada ini membayangkannya. 


Problem pemerataan pendidikan untuk generasi pun masih terus membelit negeri ini. Laman www.kompas.id, 26/6/2023 (rubrik opini, penulis Agus Suwignyo) mengutip Data Badan Pusat Statistik terkait angka anak putus sekolah. Betapa mencengangkan, per Juni 2023 sebanyak 0,13 persen pelajar SD, 1,06 persen pelajar SMP, dan 1,38 persen pelajar SMA tercatat putus sekolah. Jika angka tersebut dinominalkan, maka jumlahnya terbilang tinggi. SD sampai 31 ribuan, SMP 105 ribuan, dan SMA mencapai 73 ribuan anak. Bukankah putus sekolah adalah ancaman bagi terbentuknya kualitas generasi di masa mendatang? Lagi-lagi sesak merayapi dada. 


Kasus-kasus perundungan, stunting, seks bebas pada anak, menjadi pelaku dan korban kekerasan, bahkan pelaku kriminalitas anak-anak menambah daftar panjang problem serius negeri ini. Astagfirullah al-adhim, betapa pilu mengingati kondisi seperti ini. 


Lemahnya Peran Keluarga hingga Solusi yang Tak Menyentuh Akar Persoalan 

Jika ditelisik betapa dewasa ini problem yang terjadi pada anak-anak disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah lemahnya peran keluarga. Ayah dan ibu sebagai benteng pertama dan utama dalam mendidik, mengayomi, menyayangi, hingga melindungi anak kini kian pudar. Tak sedikit kasus anak telantar, baik secara denotatif maupun kononatif.


Secara denotatif anak-anak telantar karena faktor buruknya kondisi ekonomi keluarga yang terjadi secara sistemik. Hal demikian menghasilkan anak yang minim pengasuhan, pengayoman, sampai pemenuhan hak-haknya. 


Secara konotatif tak sedikit anak kesepian di tengah gelimang harta orang tua. Ayah ibu tak memiliki pemahaman benar terkait peran sebagai orang tua. Menyayangi hanya dipahami dengan terpenuhinya materi. Padahal sungguh anak-anak membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan pengayoman dari segala pengaruh buruk lingkungan. 


Kedua adalah lemahnya negara dalam mengurus setiap urusan rakyatnya. Ketika didapati bermunculan problematik anak-anak, solusi yang ditetapkan pemerintah sungguh tak menyentuh aspek akar persoalan. Lebih hanya bersifat tambal sulam. 


Di bidang pendidikan, katanya menghendaki terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan menjadikan target Indonesia emas di tahun 2045, nyatanya dukungan biaya pendidikan demikian minimnya. Mekanisme BOS, KIP, PIP, beasiswa dan semisalnya, sekadar bersifat bantuan yang diberikan dengan nominal ala kadarnya. Maka pemerataan pendidikan berkualitas dan berkeadilan bagi setiap individu generasi sulit didapat. 


Dalam perkara informasi dan penyiaran, negara demikian lemahnya memblokade tayangan unfaedah bahkan yang menjajakan unsur tercela. Generasi pun dibanjiri dengan arus bah kebebasan informasi dan gaya hidup yang jauh dari tuntunan agama.


Sementara dari sisi ekonomi, kesejahteraan hakiki dan berkeadilan demikian sulit terwujud. Ketimpangan penguasaan harta kekayaan negeri, sulitnya masyarakat mendapat peluang pekerjaan, akses ke arah pelayanan hajat hidup asasi maupun kolektif sedemikian sulitnya. 


Maka hingga 40 tahun seremoni perayaan HAN diselenggarakan, selama itu pula pergulatan negeri ini dengan problem anak tak juga berkesudahan. Bukannya selesai secara tuntas, yang ada problem makin rumit dan menggurita. 


Sistem Rusak Kapitalisme Sekulerlah Akar Persoalannya

Dari semua faktor penyebab terbelitnya anak-anak dengan persoalan serius di atas, sungguh akar persoalannya adalah diterapkannya sistem hidup kapitalisme sekuler. Di alam kapitalisme, peraihan materi dan semua yang bersifat jasadiyah menjadi hal utama. Tak heran ketika banyak orang tua yang terjebak dengan kesibukan kerja yang tiada batas demi mengeruk pundi rupiah. Mereka akhirnya abai dengan perannya sebagai pendidik dan pengayom anak. Atau negara yang tak berkutik dengan derasnya beragam aplikasi judi online menenggelamkan anak-anak negeri ini.


Sistem kapitalisme pula penyebab kesenjangan kepemilikan harta terjadi. Sistem ini menjadikan kepemilikan harta hanya berputar di tangan pemilik kapital dan oligarki. Sementara rakyat sehari-hari kembang kempis memenuhi kebutuhan hidupnya. Kasus stunting, tak meratanya akses pendidikan, dan ketidaksejahteraan lain adalah buktinya. 


Hak Anak Terjaga dalam Islam

Problem anak yang tak berkesudahan di alam kapitalisme sekuler sungguh dapat diselesaikan jika hak anak diberikan sebagaimana mestinya. Islam memandang betapa anak adalah generasi penerus peradaban, maka posisi mereka demikian penting dan strategisnya. Dalam hal ini negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan anak, dalam berbagai aspek.


Aspek hak berkehidupan yang layak, hak mendapat pemenuhan sandang, pangan, papan akan diberikan kepada anak melalui pemenuhan oleh ayahnya. Negara dalam hal ini akan memberi iklim kondusif bagi para ayah untuk bisa melaksanakan tanggung jawab tersebut. 


Negara pula yang akan mewujudkan fungsi dan peran keluarga yang optimal dalam mendidik dan mengayomi anak. Edukasi dan suasana islami yang dibangun dengan penerapan Islam yang menyeluruh akan mendorong para orang tua untuk paham tanggung jawab mereka atas putra putrinya. Ayah dan ibu akan paham dan memosisikan diri dengan perannya masing-masing di dalam keluarga. 


Di sisi lain, negara juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam rangka membentuk generasi berkepribadian Islam. Dengan ini anak-anak akan terbekali menjadi pribadi yang islami dan menguasai ilmu serta skill kehidupan yang mumpuni. 


Semua pengaruh buruk berupa ide-ide, pemahaman, gaya hidup, dan semisalnya tak akan dibiarkan ada. Standarnya adalah akidah Islam dan panduannya adalah syariat kafah. Negara dalam hal ini akan bertindak sebagai pelindung semua rakyat tak terkecuali anak-anak dari itu semua. Tayangan unfaedah dan tak mendidik tak akan dibiarkan ada. 


Semua itu diberlakukan oleh negara didukung oleh penerapan sistem ekonomi Islam yang dikenal tangguh selama hampir 14 abad mengurus kehidupan umat. Dengannya maka negara akan memiliki kas keuangan yang melimpah dan cukup untuk pembiayaan support system semuanya. 


Maka langkah yang tepat dalam menyelesaikan seluruh problematik anak adalah dengan kembali pada sistem Islam. Sebuah sistem kehidupan yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw.. Lantas ia diteruskan oleh para Khalifah selama kurun 14 abad sesudahnya, yakni Daulan Khilafah Islamiyyah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Itu karena Islam yang diterapkan berasal dari Zat yang Maha Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dimana sudah barang tentu Dia-lah satu-satunya yang Maha Mengetahui hakikat seluruh persoalan sekaligus solusinya dengan tepat.


"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kamu akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf ayat 96)

Wallahualam bissawab. []