Alt Title

Aturan Karbitan Digarap dengan Sistem Kebut Semalam

Aturan Karbitan Digarap dengan Sistem Kebut Semalam




Maka tiba-tiba terbit aturan secara karbitan,

yang isinya terkesan agar si anak jadi pejabat, dan hanya selang beberapa jam aturan itu bisa diubah

______________________________


Penulis Tari Ummu Hamzah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Ramainya jagat sosial media yang memposting lambang Garuda Indonesia dengan berlatar warna biru, bertuliskan kondisi darurat. Kehebohan ini bermula saat DPR RI menganulir keputusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024, mengenai ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah, sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf E (UU Pilkada) atau Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. (Hukum online.com, 21 Agustus 2024)


Putusan ini seolah menjegal langkah Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, yang akan maju Pilkada 2024. Di mana batas usia yang ditetapkan oleh MK saat mendaftar untuk mencalonkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sedangkan ketua PSI baru berusia 29 tahun.

Nyata jika gelagat politik saat ini menuju ke arah oligarki, maka pemegang kekuasaan tertinggi akan mempertahankan kekuasaan di lingkungannya sendiri, termasuk lingkungan keluarganya. Bapaknya mangkat, anak-anaknya naik jadi pejabat. Tersirat ada kekuatan politik dinasti yang kekuasaannya sudah menggurita.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan nasib rakyat kecil. Rakyat dibatasi usia dalam bekerja, dan ketika dizalimi lapor aparat juga tak digubris. Sedangkan dalam peristiwa ini, terkesan ada seorang bapak yang ingin anaknya naik jabatan. Maka tiba-tiba terbit aturan secara karbitan, yang isinya terkesan agar si anak jadi pejabat, dan hanya selang beberapa jam aturan itu bisa diubah.

Buktinya secara mengejutkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pengesahan RUU Pilkada batal dilaksanakan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pilkada akan berlaku. Dia memastikan pada saat pendaftaran calon kepala daerah untuk pilkada pada 27 Agustus 2024 akan menerapkan putusan dari MK.(Bbcnewsindonesia.com, 21 Agustus 2024)

Jujur saja ini bencana! Membuat rancangan undang-undang dengan sistem kebut semalam. Entah apa yang ada di benak para anggota dewan ini hingga senekat itu, membuat aturan bak anak sekolah yang panik saat menjelang ujian. Mudah sekali para pejabat ini menekan "tombol" panik yang menyebabkan histeria massa. Baik itu massa di dunia nyata atau dunia maya.

Mungkin anggota dewan ini ingin tes gelombang masyarakat dengan menganulir keputusan MK? Sungguh! Mereka sedang uji nyali mendorong demokrasi ke bibir jurang kematian. Pada akhirnya mereka-mereka yang ngakunya si paling demokrasi, tapi mencabik sendiri topeng demokrasi.

Masyarakat menganggap bahwa keputusan DPR menganulir putusan MK adalah merusak demokrasi. Padahal demokrasi itu memang rusak dan cacat sejak dia dilahirkan, seperti peristiwa saat ini. Melakukan perubahan aturan, tapi coba-coba menggoyang konstitusi demokrasi. Seolah-olah memperjuangkan rakyat, tapi sebenarnya berjuang demi kelompoknya yang hanya segelintir orang.

Itulah mereka pejabat bermental culas dan tak tahu malu. Kemarin menolak keputusan MK, hari ini setuju. Konstitusi seperti inikah yang harus kita patuhi? Mudah untuk dianulir sebagian orang demi kepentingan segelintir orang, hingga rakyat mudah dipecundangi? Sungguh! Sedari dahulu demokrasi memang tidak baik-baik saja.

Butuh Perubahan


Saat-saat seperti ini jelas banyak orang yang meneriakkan perubahan. Mulai dari kalangan pejabat, tokoh publik, hingga artis pun mereka turun ke jalan untuk menyuarakan perubahan. Karena siapa pun pasti menginginkan perubahan yang baik di negeri ini. Namun setelah semua rakyat itu setuju akan adanya perubahan, lalu perubahan seperti apa yang diinginkan? Apa yang harus diubah terlebih dahulu dan berubahnya ke arah mana? Kita tidak boleh marah-marah tapi tidak paham kemana arah tujuan selanjutnya.

Kita harus ingat bahwa seluruh warga negara Indonesia sangat cinta negeri ini, meski berulang kali dikhianati oleh penguasa.

Maka harus kita cermati pola yang terbentuk ketika pemilu tiba. Entah itu pemilihan daerah atau pemilihan presiden, sudah beberapa kali ganti pemimpin tapi hak-hak dasar rakyat tidak terpenuhi. Bahkan cenderung diabaikan dan tidak diurusi. Rakyat terpaksa harus menelan pil pahit, janji-janji yang tidak terbukti.

Sebab lunturnya janji-janji manis penguasa saat sudah menjabat adalah terlena dengan kekuasaan. Artinya mau ganti orang sebaik apa pun, kalau sistem yang rusaknya tetap dipertahankan, maka perubahan negeri ini menuju kondisi lebih baik hanya sekadar mimpi. Faktanya masyarakat malah bertambah kesengsaraannya.

Maka yang dibutuhkan oleh manusia saat ini adalah kembali kepada aturan Allah Taala. Zat yang berhak membuat hukum. Semua aturan Allah sudah tertulis jelas dalam kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Rasul sebagai utusan Allah yang telah memberi teladan bagi umat manusia. Aturan dari Allah Swt. ini bersifat baku dan tidak bisa diubah oleh siapa pun, termasuk oleh penguasa.

Kalau benar rakyat itu menginginkan perubahan, maka harus menempuh perubahan yang hakiki. Kalau benar kita cinta negeri ini, maka penuhi negeri ini dengan Rahmat Allah.

Bagaimana Rahmat Allah akan turun jika negeri ini berpihak pada sistem kufur?


Maka wajib bagi kita untuk istikamah berdakwah di jalan Allah, mengajak umat untuk kembali pada aturan Allah, serta memberikan edukasi kepada umat bahwa sudah saatnya kita meninggalkan sistem kufur dan hijrah kepada sistem Islam. Karena hanya dalam sistem Islam-lah, jabatan itu bukan posisi superior yang jadi rebutan, bahkan hal itu bisa menjadi musibah bagi pengembannya.

Dengan demikian, perubahan hakiki bagi negeri ini adalah dengan jalan ketaatan kepada Allah, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara sempurna. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]