Alt Title

Bunuh Diri Merajalela, Potret Kelam Pendidikan Sekuler Masa Kini

Bunuh Diri Merajalela, Potret Kelam Pendidikan Sekuler Masa Kini



Realita ini menunjukkan bahwa sejatinya mental pemuda saat ini ada dalam kondisi ‘darurat’

Hal ini bisa terjadi akibat kompleksnya permasalahan hidup yang dihadapi


______________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”


Adagium masyhur itu rupanya sudah bukan hal yang asing terdengar di telinga kita. Kalimat yang pertama kali terucap dari mantan presiden pertama Indonesia ini menegaskan pentingnya peran pemuda bagi masa depan suatu bangsa.


Pemuda merupakan tolok ukur kemajuan suatu peradaban. Maka, jika pemudanya baik, peradaban yang terbentuk pun menjadi peradaban gemilang, pun demikian sebaliknya.

Pemuda ideal tak bisa terbentuk tanpa penanaman karakter yang didapatkan melalui proses pendidikan yang sahih. Tak hanya berfokus pada intelektualitas, pendidikan yang sahih akan membentuk kepribadian para pemuda menjadi mulia, tangguh secara mental, serta siap berkiprah untuk masyarakat.

Sayangnya, cerminan sistem pendidikan semacam itu agaknya masih jauh jika dibandingkan dengan realita yang terjadi saat ini. Bagaimana tidak, baru-baru ini saja, dunia pendidikan kembali digegerkan dengan rentetan kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan mahasiswa. Kasus-kasus tersebut tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Yogyakarta, Semarang, Bogor, dan lain sebagainya.

Di Yogyakarta, belum genap sebulan yang lalu, ramai tersiar kabar seorang mahasiswa UGM yang tewas setelah memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Mahasiswa tersebut ditemukan di kamar indekosnya yang berada di Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman pada Senin (12/8/2024) lalu. (kumparan.com, 13/8/2024)

Tak hanya itu, beberapa hari kemudian, viral di sosial media, seorang mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro Semarang yang juga ditemukan tewas di kamar indekosnya. Diduga ia memilih menghabisi nyawanya sendiri dengan cara menyuntikkan obat bius jenis Roculax lantaran sudah tak kuat menerima perundungan dari senior-seniornya. (radarsemarang.jawapos.com, 15/8/2024)

Kasus serupa juga menimpa salah seorang mahasiswa baru kampus IPB asal Bojonegoro. Ia ditemukan tewas usai gantung diri di kamar mandi sebuah penginapan di daerah Dramaga Bogor, Jawa Barat. (rejabar.republika.co.id, 9/8/2024)

Pihak kampus bersama kepolisian pun hingga saat ini masih berusaha mengungkap motif di balik aksi nekat korban yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Rentetan fenomena miris tersebut nyatanya baru segelintir saja dari ratusan bahkan ribuan kasus yang terekspos media. Seolah bagaikan gunung es, masih banyak kasus-kasus serupa yang tak terekam kamera pers, yang makin mengindikasikan tingginya kasus bunuh diri di kalangan generasi muda.

Realita ini menunjukkan bahwa sejatinya mental pemuda saat ini ada dalam kondisi ‘darurat’. Hal ini bisa terjadi akibat kompleksnya permasalahan hidup yang dihadapi. Bagaimana tidak, jika menilik kondisi saat ini, kerusakan sistemis faktanya telah terjadi di segala aspek kehidupan, mulai dari sosial, keluarga, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan masalah senantiasa melilit dan membuat hidup manusia jauh dari predikat sejahtera.

Hal tersebut diperparah dengan tidak diberikannya ruang bagi agama dalam kurikulum pendidikan. Jika ada, porsinya pun sangat minim dan terbatas sebagai ilmu pengetahuan dan teori semata. Padahal, agama mempunyai peran vital sebagai pembentuk mental dan kepribadian manusia.

Dibatasinya peran agama ini membuat jiwa para pemuda rapuh dan lemah karena kosong dari nilai keimanan. Alhasil, saat diterpa permasalahan kehidupan, mereka mudah menyerah dan memilih jalan pintas, termasuk mengakhiri hidupnya sendiri. Inilah gambaran kondisi memprihatinkan yang harus ditanggung bibit-bibit penerus bangsa saat ini.    
    
Berbagai program sebetulnya telah dicanangkan untuk mengatasi problematik tersebut. Mulai dari penguatan mental, konseling, hingga pendidikan karakter. Namun nyatanya program-program tersebut tak juga menelurkan dampak yang berarti. Buktinya, angka bunuh diri alih-alih menurun, justru persentasenya makin signifikan dari hari ke hari.

Realita pahit tersebut sejatinya erat kaitannya dengan sistem kehidupan yang berjalan saat ini. Tak bisa ditampik lagi bahwa sekularisme kapitalisme memang telah mendominasi sendi-sendi kehidupan manusia dan merusak segala aspeknya. Dengan ciri khasnya yaitu memarginalkan peran agama, sistem ini telah sukses membawa kehidupan manusia ke dalam jurang penderitaan.

Tak hanya itu, sistem ini pun nyatanya telah gagal melahirkan generasi mulia berkepribadian Islam. Dengan sistem pendidikan yang bercorak sekularistik, para pemuda dijauhkan dari syariat dan aturan agama. Padahal pemuda berperan penting menjadi penerus dan pembangun peradaban. Tanpa peran agama, bagaimana mungkin generasi bermental tangguh harapan umat bisa tercipta?

Hal ini amatlah berbeda dengan kondisi saat sistem Islam-lah yang menjadi pengatur kehidupan. Jika kita menengok sejarah, keberhasilan Islam menghasilkan generasi cemerlang sejatinya sudah tak perlu lagi diragukan.

Di masa Daulah Abbasiyah misalnya, lahirnya cendekiawan dan ilmuwan muslim seperti Ar Razi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain sebagainya. Seharusnya sudah cukup menjadi indikator kesuksesan Daulah Islam menjamin keberlangsungan peradabannya.

Kegemilangan tersebut tak bisa dilepaskan dari kontribusi penerapan sistem pendidikan Islam. Dengan akidah sebagai dasar dan fondasinya, sistem pendidikan Islam terbukti mampu menghasilkan sistem yang kuat dan meniscayakan terbentuknya generasi berkepribadian Islam yang tangguh, bermental kuat, cerdas dalam ilmu pengetahuan sekaligus taat kepada Allah Swt.. Ia akan memahami betul jati diri dan tujuan hidupnya sebagai manusia sehingga terhindar dari kesia-siaan.

Hal ini selanjutnya juga didukung dengan penerapan sistem pendukung lain dalam kerangka syariat Islam, mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya, yang dilakukan oleh negara. Dengan paradigma bahwa kekuasaan adalah amanah umat yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak, maka para pemimpin yang diserahi tampuk kekuasaan, akan berusaha semaksimal mungkin menjamin terselenggaranya seluruh sistem dan aturan negara dalam koridor syarak.

Inilah yang secara otomatis menciptakan lingkungan hidup yang mendukung dan menguatkan terwujudnya kepribadian Islam. Wallahualam bissawab. [DW/MKC]