Alt Title

Dalam PP 28/2024 Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan

Dalam PP 28/2024 Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan



Meski begitu, tindakan aborsi tetap tidak bisa dibenarkan baik secara legal atau ilegal.

Menggugurkan janin dalam kandungan akan berisiko bagi perempuan, bahkan bisa menyebabkan kematian

______________________________


Penulis Ummu Rufaida ALB

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi

 

KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Bagai jatuh tertimpa tangga pula, kiranya peribahasa tersebut menggambarkan beban mental yang harus dipikul para perempuan korban rudapaksa. Sudah menanggung malu dan trauma karena menjadi korban pemerkosaan, kini mereka dilegalkan untuk “membunuh” janin yang ada dalam kandungannya. Bukankah ini menambah berat beban kesehatan mental mereka?  


Korban rudapaksa atau korban tindak pidana seksual kini mendapat legalitas untuk melakukan tindakan aborsi. Hal ini telah disahkan Presiden dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (UU 17/2023) pada Jumat (26/7/2024). Ketentuan aborsi sesuai dengan PP 28/2024 Pasal 116 yakni setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana. (mediaindonesia.com, 1/8/2024)

Ketua MUI Bidang Dakwah, M, Cholil Nafis menyatakan PP tersebut masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam sebab aborsi hanya bisa dilakukan ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan dan usia kehamilan belum mencapai 40 hari atau sebelum ditiupkan ruh. Ia menegaskan ketentuan aborsi ini harus dibatasi usia kehamilannya. (mediaindonesia.com, 1/8/2024)

Banyaknya perempuan korban rudapaksa atau korban tindak pidana seksual menunjukkan keamanan bagi perempuan masih menjadi PR bangsa ini. Menurut data Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan terbanyak adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. (detiknews.com, 3/5/2024)

Selain itu, dari SintasPuan dan Titian Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2023 mencapai 15.621 kasus. Berdasarkan analisis korban dengan tingkat SMA atau sederajat adalah kelompok tertinggi yang mengalami kekerasan. (detiknews.com, 13/8/2024)

Data tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan di Indonesia sangatlah banyak. Makin hari kasusnya makin bervariasi motif dan modusnya. Sungguh mengerikan, terlebih yang menjadi korban bukan hanya orang dewasa, melainkan anak di bawah umur sering menjadi sasaran perilaku bejat orang-orang tak bertanggung jawab.  

Penyebab utamanya karena negeri ini menerapkan sistem demokrasi kapitalis yang menjunjung tinggi kebebasan berperilaku. Media sosial yang sangat mudah diakses membuat para lelaki terbiasa menonton konten-konten porno, sehingga membangkitkan syahwatnya. Tipisnya keimanan membuat mereka menikmati aurat terbuka para perempuan, berduaan atau berpacaran menjadi hal yang wajar, pergaulan bebas menjadi gaya hidup. Hal tersebut diperparah dengan peran keluarga yang mandul, sehingga para lelaki mencari ”kebahagiaan” di luar rumah. Ini dilihat dari aspek pelaku pemerkosaan.  

Dilihat dari sisi perempuan sebagai korban, tentu menjadi sebuah hal yang wajar terjadi mengingat perempuan dalam sistem demokrasi hanya dipandang sebagai pemuas nafsu lelaki. Akibatnya mereka dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku tanpa batasan agama. Atas nama kebebasan, perempuan bebas membuka auratnya, bercengkerama dengan lawan jenis yang bukan mahram di dunia nyata maupun media sosial. Selain itu, mereka selalu ditakut-takuti untuk mengikuti kajian-kajian Islam dengan narasi radikal. Wajar jika para perempuan memiliki benteng pertahanan yang rapuh hingga mudah dibujuk rayu oleh lelaki tak bertanggung jawab.  

Meski begitu, tindakan aborsi tetap tidak bisa dibenarkan baik secara legal ataupun ilegal. Menggugurkan janin dalam kandungan akan berisiko bagi perempuan, bahkan bisa menyebabkan kematian jika terjadi pendarahan dan infeksi, belum lagi dampak secara psikis. Memang benar, aborsi bisa dengan legal dilakukan asalkan sesuai dengan syarat dan standar operasional prosedur secara medis. Namun, pemerintah tidak boleh menjadikan aborsi sebagai solusi untuk mengatasi kehamilan akibat pemerkosaan.  

Aborsi merupakan tindakan mengambil hak hidup janin (calon bayi) secara paksa. Dalam Islam tindakan ini jelas diharamkan, baik sudah ditiupkan ruh atau belum. Kecuali keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibu sekaligus janin dalam kandungannya. Aborsi semacam ini boleh dilakukan untuk memelihara kehidupan ibunya.  

Tertulis dalam kitab Nizham Al-Ijtima’i karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia berkata : "Rasulullah saw. telah menetapkan bagi janin seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diat ghurrah, baik budak laki-laki ataupun budak perempuan."

Bentuk minimal janin yang gugur dan wajib membayar diat ghurrah adalah sudah tampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, kepala, mata atau kuku.  

Adapun dalil diharamkannya aborsi sebelum janin ditiupkan ruh. Jika dilakukan setelah berlalu 40 hari sejak awal kehamilan yaitu ketika dimulai proses penciptaan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata:

”Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Jika nutfah (zigot) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian dia berkata, "Wahai Tuhanku, apakah (dia Engkau tetapkan menjadi) laki-laki atau perempuan?" maka Allah memberi keputusan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan empat puluh malam.  

Dari sini jelas bahwa ketika proses pembentukan janin dimulai dan mulai tampak bagian anggota tubuhnya, jelas ada kehidupan baru yang harus dijaga di sana. Oleh karena itu, setiap bentuk kezaliman terhadap janin sama dengan kezaliman terhadap manusia. Berdasarkan hal ini siapa pun yang terlibat melakukan tindakan aborsi, baik ayah, ibu, atau dokter, maka ia telah melakukan tindak kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diat atas janin yang digugurkannya itu, yaitu berupa budak laki-laki atau perempuan.  

Islam sebagai sebuah ideologi tentu memiliki seperangkat aturan dan sistem hidup yang sempurna. Sistem sanksi dalam Islam, sebagai bagian dari penerapan syariat secara kafah, bersifat zawajir (menimbulkan efek jera bagi pelaku) dan jawabir (sebagai penebus dosa bagi pelaku di akhirat kelak). Hal ini akan menutup celah pintu pemerkosaan dan kejahatan seksual terhadap perempuan. Sebab, sistem sanksi ini akan ditopang juga dengan penerapan syariat Islam secara kafah, sehingga keimanan yang kuat akan tertanam pada individu, masyarakat, dan negara. Tentu ini sangat berbeda dengan sistem kapitalis saat ini yang tidak membuat jera pelaku dan tidak membuat orang takut melakukan kejahatan serupa.  

Dalam sistem Islam, hukum pemerkosaan ada dua: Pertama, pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata. Hal ini dikategorikan sebagai tindakan zina. Sanksi bagi pelaku adalah mendapatkan had yang sudah ditetapkan terhadap pelaku zina, yaitu jika belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Jika sudah menikah hukumannya rajam sampai mati.

Korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman had. Dalilnya surah Al-An’am ayat 145: “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ berpendapat, orang yang memerkosa seorang perempuan selain dijatuhi hukuman had zina, juga mendapat sanksi tambahan berupa membayar mahar kepada perempuan. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat pemerkosa hanya mendapat had zina tanpa kewajiban membayar mahar.  

Kedua, pemerkosaan dengan menggunakan senjata. Pelaku pemerkosaan dengan menggunakan senjata untuk mengancam dijatuhi hukuman sebagaimana perampok. Hukuman perampok, yakni dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau diasingkan ke wilayah lain.

Semua ini menunjukkan bahwa aborsi bukanlah solusi atas maraknya kehamilan akibat kasus pemerkosaan. Namun, hal tersebut hanya bisa diwujudkan jika negara mau menerapkan sistem pemerintahan Islam, sehingga sistem sanksi dan hukum Islam akan tegak. Wallahualam bissawab. [DW-Dara/MKC]