Alt Title

Fenomena Hopeless of Job Menghantui Generasi

Fenomena Hopeless of Job Menghantui Generasi




Oleh karena itu, tidak heran jika begitu banyak regulasi pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat,

tetapi berpihak pada pengusaha

______________________________


Penulis Rianny Puspitasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pendidik

 

KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat ini lapangan pekerjaan terasa sempit. Bahkan Indonesia menjadi ‘juara’ angka pengangguran tertinggi, berdasarkan laporan World Economic Outlook April 2024, IMF (International Monetary Fund).

Hal ini tentu menjadi sebuah problem yang harus mendapat perhatian khusus. Terlebih di dalamnya terdapat generasi muda. Kondisi ini menyebabkan mereka merasa putus asa karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, bahkan berujung pada frustasi hingga depresi.

Badan Pusat Statistik mengelompokkannya sebagai golongan hopeless of job. Tercatat per Februari 2024, ada 369,5 ribu anak muda rentang usia 15-29 tahun yang masuk kelompok ini. Angka ini setara 7,5% dari total pengangguran dalam rentang usia yang sama. (katadata.co.id, 24/7/24)

Kelangkaan kesempatan kerja bagi rakyat juga menimpa generasi muda. Hal ini menunjukkan gagalnya pemerintahan dalam menyediakan tempat yang akan menjadi sumber penghasilan bagi mereka. Tentu hal ini tidak boleh diabaikan karena pekerjaan berkorelasi dengan kesejahteraan. Jika banyak rakyat yang menganggur, maka dipastikan mereka terancam tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Pengangguran bukan perkara sepele, sebab bisa menghantarkan banyaknya kalangan muda yang terindikasi depresi akibat sulitnya mendapat pekerjaan. Padahal mereka akan menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

Jika kita tarik benang merahnya, ternyata akar masalah ini adalah buah penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pengelolaan SDAE (sumber daya alam dan energi) diberikan kepada asing dan swasta. Juga lahirnya berbagai regulasi yang justru menyulitkan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan, misalnya UU Cipta Kerja, dan lain-lain.

Kapitalisme meniscayakan pemilik modal menguasai apa pun selama memiliki uang, misalnya saja barang tambang, hutan, biota laut yang memiliki potensi besar, dan lain-lain bisa dikuasai oleh mereka yang yang memiliki modal besar. Hal ini bermula dari kongkalikong antara pengusaha dan penguasa dalam kontestasi pemilihan umum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam demokrasi untuk ikut serta dalam ajang pemilihan memerlukan biaya yang besar, maka di sanalah pengusaha hadir sebagai pemodal, memberikan modal kepada para kontestasi yang tentu tidak gratis, suatu saat akan diminta kompensasinya. Ketika pihak yang sudah mendapat modal tadi menang dan duduk di kursi pemerintahan, sebagai imbalannya maka akan memuluskan jalan bagi para pengusaha di belakangnya untuk mendapat keuntungan, melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Oleh karena itu, tidak heran jika begitu banyak regulasi pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat, tetapi berpihak pada pengusaha.

Akhirnya pengelola SDAE dikelola oleh para donatur yang notabene orang asing. Mereka pun mempekerjakan karyawan dari negeri mereka. Akhirnya tenaga kerja dalam negeri tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan ruang pekerjaan. Selain karena kompetensi, regulasi pekerja asing untuk bekerja di Indonesia pun memudahkan dengan lahirnya kebijakan yang pro terhadap pengusaha.

Sekali lagi, rakyat kita hanya bisa gigit jari. Inilah watak asli kapitalisme dan pengusungnya, mereka hanya sibuk mendahulukan kepentingannya dan kelompoknya, sehingga rakyat sebagai korban.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki mekanisme dalam upaya membuka lapangan pekerjaan bagi para laki-laki sebagai suami dan wali. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara.

Dalam pandangan Islam, sumber daya alam dan energi merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing. Nabi saw. bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Maka pengelolaan SDA yang melimpah ini harus dikelola di tangan negara. Melalui mekanisme ini akan terbuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat. Perusahaan yang mengolah SDAE milik umat tadi akan menyerap tenaga kerja setiap angkatan generasi. Generasi muda pun dengan keahliannya tidak perlu berkompetisi dengan tenaga kerja asing dalam memperoleh penghasilan.

Negara akan memberikan fasilitas terbaik bagi para ayah atau wali untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Di samping itu, negara juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam, sehingga skill dan kemampuan tenaga kerja dalam negeri akan mampu bersaing dan tidak kalah dengan tenaga kerja asing. Mereka akan dibekali softskill dan hardskill yang mumpuni untuk mengelola SDAE yang hasilnya akan dinikmati oleh umat. Dengan demikian masalah pengangguran dan kelompok hopeless of job pun akan bisa diselesaikan.

Betapa luar biasanya sistem hidup Islam dalam memberi petunjuk pada manusia. Aturan yang berasal dari Sang Pencipta memang tidak akan salah memberi panduan menuju kesejahteraan dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali ke pangkuan hukum syariat dan meninggalkan aturan kapitalisme yang rusak dan merusak.

Adapun institusi yang mampu menerapkan Islam kafah hanyalah Daulah Islamiyah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin dan para khalifah berikutnya. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]