Alt Title

Hari Anak Diperingati Namun Kesejahteraannya Masih Ilusi

Hari Anak Diperingati Namun Kesejahteraannya Masih Ilusi

 


Peringatan HAN hanya sekedar seremonial belaka

Meski diperingati setiap tahun, nyatanya tidak membawa perubahan yang bermakna. Justru problematika anak kian marak

____________________________


Oleh Rina Ummu Meta

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari Anak Nasional kerap diperingati setiap tahunnya, tepatnya tanggal 23 Juli. Tahun ini merupakan peringatan Hari Anak Nasional yang ke 40. Mengusung tema yang sama dengan tahun lalu yaitu "Anak Terlindungi Indonesia Maju".


Menurut pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, puncak perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 2024 digelar di Jayapura, Papua, Selasa (23/07/2024), sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Hal ini diungkapkan Bintang kepada wartawan di Ancol, Jakarta Utara,  Kamis (18/07/2024).


HAN dilatarbelakangi oleh pasal 28B ayat (2) UUD N RI tahun 1945, yang menjelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi. (Kompas.com 18/07/2024).

 

Peringatan HAN hanya sekedar seremonial belaka. Meski diperingati setiap tahun, nyatanya tidak membawa perubahan yang bermakna. Justru problematika anak kian marak. Di antaranya kasus anak yang menjadi korban dan pelaku kekerasan, anak jadi pelaku judi online, angka stunting yang masih tinggi, tingginya kasus diabetes pada anak dan masih banyak lagi. Hal ini merupakan PR besar bagi negara. 


Upaya pemerintah yang telah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak serta menindaklanjuti adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap anak, nyatanya tidak menjadikan kasus anak terpecahkan. Begitu pula apa yang tertuang dalam pasal 28B belum terealisasi, karena faktanya hak-hak anak belum terpenuhi. Negara telah gagal memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan pada anak. 


Solusi yang dilakukan pemerintah hanya sebatas tambal sulam tidak menyentuh akar masalah. Adapun akar masalah dari semua problematika anak adalah diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem yang melahirkan peradaban yang materialis, sekuleralis, dan individualis. Materi dijadikan tujuan atau tingkat kesuksesan manusia. Agama dipisahkan dari kehidupan, agama hanya dipakai dalam ibadah ritual saja. Aturan agama diabaikan dan tidak dipakai untuk mengatur kehidupan. 


Negara memberikan kebebasan kepada para pemodal untuk mengembangkan usahanya sehingga yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Negara seolah lepas tangan kepada rakyat miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di tengah impitan ekonomi, harga sembako naik, biaya pendidikan dan kesehatan yang serba mahal, menjadikan seorang ibu atau istri harus rela ikut banting tulang membantu suami demi memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mengabaikan fungsi utama seorang ibu. Alhasil, anak tidak mendapatkan kasih sayang, pengasuhan, dan perhatian yang seharusnya didapatkan dari seorang ibu.


Sistem kapitalisme juga melahirkan kesenjangan sosial di masyarakat sehingga muncul sikap individualisme, yang hanya mementingkan diri sendiri dan jauh dari empati. Negara juga tidak memberikan lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyatnya. Justru banyak terjadi PHK di mana-mana, sehingga angka kemiskinan kian tinggi dan ini berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Inilah buah dari diterapkannya kapitalisme. 


Lain halnya dalam sistem Islam. Islam memandang anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah Swt.. Anak juga merupakan aset bangsa sebagai generasi penerus peradaban. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari semua elemen. Islam memiliki sistem perlindungan pada anak yang terdiri dari tiga pilar. 


Pertama, adanya keimanan dan ketakwaan individu, dengan dorongan keimanan masing-masing anggota keluarga akan memahami dan menjalankan tugas sesuai syariat. Islam mewajibkan suami sebagai pencari nafkah,  misalnya dengan bekerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan tugas utama seorang istri adalah ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Krwajiban seorang ibu adalah memberikan kasih sayang, pengasuhan yang baik, dan pendidikan akidah kepada anaknya sejak dini.


Kedua, adanya kontrol masyarakat. Dalam Islam, masyarakat dianjurkan untuk saling ta'awun (tolong menolong) dan beramar ma'ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 104 : "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung."


Ketiga, adanya peran negara. Negara adalah raa'in (pelayan umat). Di mana, negara menerapkan dan menjalankan aturan sesuai syariat Islam. Serta memberikan jaminan kesejahteraan rakyatnya dengan berbagai mekanisme. Di antaranya, menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan menjamin setiap laki-laki untuk mendapatkan pekerjaaan dengan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga istri atau ibu dapat menjalankan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait dengan optimal tanpa terbebani masalah ekonomi. 


Negara juga menyediakan layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan keamanan dengan biaya murah bahkan gratis. Dana untuk pembiayaan ini semua diambil dari baitulmal, yang sumbernya bukan dari pajak melainkan dari zakat, wakaf, fa'i, kharaj, dan hasil dari pengolahan SDA.


Dalam sistem pendidikan, diterapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Sehingga lahir generasi yang bertakwa yang berkepribadian Islam.


Jika ketiga pilar ini saling bersinergi dengan maksimal maka akan terwujud jaminan keamanan dan kesejahteraan. Bukan hanya untuk anak, tetapi untuk seluruh umat. Semua ini akan menjadi nyata jika sistem Islam diterapkan secara kafah. Wallahualam bissawab. [AS-Dara/MKC]