Ibu Jual Bayinya, Buah dari Kapitalisme
Analisis
Kondisi ekonomi yang sulit menjadi alasan utama para ibu ini untuk menjual bayi mereka
Mereka harus menghadapi masalah sendirian, tanpa dukungan dari suami, keluarga, atau kerabat
______________________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kasus yang memprihatinkan kembali mencuat, terutama bagi kaum perempuan. Di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatra Utara, seorang ibu terpaksa menjual bayi yang baru saja ia lahirkan karena tekanan ekonomi. Ibu tersebut SS (27 tahun), menjual bayinya melalui perantara MT (55 tahun) kepada YU (56 tahun) dan NJ (40 tahun) seharga Rp20 juta. (Kompas.com, 14/8/2024)
Kasus serupa juga terjadi pada Februari lalu di Tambora, Jakarta Barat, di mana seorang ibu, berinisial T (35 tahun), menjual bayinya seharga Rp4 juta kepada AN (33 tahun) dan istrinya, EM (30 tahun).
Sebelumnya, pada Agustus 2023, seorang ibu lainnya juga menjual bayi perempuannya yang baru berusia lima bulan melalui media sosial seharga Rp11 juta. Alasan yang mereka kemukakan adalah impitan ekonomi.
Sungguh memilukan melihat keadaan ini. Beberapa ibu karena tekanan ekonomi, kehilangan akal sehat dan naluri keibuannya. Mereka rela menjual bayi yang telah dikandungnya selama sembilan bulan hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Bayi yang seharusnya dirawat dengan penuh kasih sayang setelah lahir, justru dijual tanpa ada rasa kasihan atau kekhawatiran akan nasib bayi yang tak berdosa tersebut.
Kondisi ekonomi yang sulit menjadi alasan utama para ibu ini untuk menjual bayi mereka. Kebanyakan dari mereka berada dalam kesulitan ekonomi dan harus menghadapi masalah ini sendirian, tanpa dukungan dari suami, keluarga, atau kerabat. Tidak ada yang membantu mereka secara ekonomi atau mencegah mereka dari tindakan nekat.
Faktor lain yang berperan adalah keluarga yang juga miskin atau bersikap individualis, sibuk dengan urusan masing-masing. Ketika tidak ada dukungan dari siapa pun, para ibu ini menjadi putus asa dan nekat menjual bayinya.
Sungguh memprihatinkan bahwa kasus ibu menjual bayinya bukanlah fenomena baru, tetapi sudah beberapa kali terjadi. Dari banyaknya kasus ini, jelas bahwa penyebabnya bukan hanya faktor individu, melainkan juga kondisi lingkungan masyarakat yang memperburuk situasi hingga para ibu kehilangan naluri keibuannya.
Saat ini, negara seakan lepas tangan dalam mengurus rakyatnya, terutama karena kita hidup di bawah sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis membuat para penguasa sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kerabat mereka. Mereka juga terlalu ambisius dalam mengejar kekuasaan politik, sehingga lalai terhadap kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, harga barang-barang kebutuhan pokok kini melambung tinggi, sulit dijangkau oleh rakyat. Kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dan gas juga mahal dan sulit diakses.
Pemerintah terus membebani rakyat dengan berbagai pungutan dan pajak seperti PPh, PPN, PBB, PKB, pajak air, serta potongan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian (JKK & JKm), dan rencana iuran Tapera. Semua ini membuat pendapatan rakyat semakin kecil dan tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Kondisi ini mendorong terjadinya tindakan-tindakan nekat seperti menjual bayi hanya untuk mendapatkan uang, yang pada kenyataannya tidak seberapa. Ketika manusia kelaparan, pikirannya akan terfokus pada bagaimana cara menghilangkan rasa lapar tersebut, bahkan jika harus melakukan tindakan yang tidak masuk akal, seperti menjual bayi.
Tekanan ekonomi membuat pikiran mereka sempit, sehingga setiap hari mereka hanya memikirkan cara bertahan hidup untuk bisa makan esok hari.
Biaya melahirkan, merawat, dan membesarkan bayi juga tidak murah, yang menjadi beban tambahan bagi mereka. Beberapa ibu menjual bayinya untuk membayar biaya melahirkan, karena biaya tersebut tidak sedikit, terutama jika harus melalui operasi caesar.
Meskipun ada BPJS Kesehatan, iurannya tidak gratis dan harus dibayar setiap bulan untuk seluruh anggota keluarga. Ini memberatkan rakyat kalangan ekonomi rendah, apalagi penerima bantuan iuran (PBI) jumlahnya terbatas. Jika menunggak, peserta harus melunasi tunggakan terlebih dahulu untuk mendapatkan pelayanan BPJS, yang membutuhkan biaya tambahan lagi.
Biaya merawat bayi juga tidak sedikit, mulai dari popok, susu, pakaian, hingga biaya berobat. Semua ini menambah beban yang sudah ada. Apalagi ketika memikirkan biaya pendidikan saat bayi memasuki usia sekolah. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, ini bisa membuat para ibu stres dan mengambil keputusan pendek dengan menjual bayinya agar tidak menjadi beban.
Faktor pendidikan juga berperan besar dalam kasus ini. Maraknya kasus ibu yang menjual bayinya menunjukkan kegagalan sistem pendidikan di negeri ini dalam menghasilkan orang-orang yang bertakwa.
Hal ini tidak lepas dari asas pendidikan yang sekuler dan tujuan pendidikan yang materialistis. Saat ini, Islam dijauhkan dari sistem pendidikan, sehingga menghasilkan individu yang tidak takut dosa.
Output pendidikan saat ini adalah orang-orang yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama dalam setiap amal perbuatan, tanpa peduli pada halal-haram. Mereka juga lalai akan kesadaran atas hari perhitungan, di mana setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala, serta ancaman azab yang pedih jika melakukan maksiat.
Ini menunjukkan bahwa output pendidikan sekuler hanya menghasilkan orang-orang yang berpikiran dangkal tentang kehidupan di dunia, tanpa memikirkan konsekuensi di akhirat.
Islam Punya Solusi
Dalam sistem Islam, semua masalah pasti memiliki solusi, karena Islam bukan hanya sekadar agama, melainkan juga ideologi yang memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Seperti halnya kasus maraknya ibu yang menjual bayinya saat ini, hal tersebut tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam. Sebab, dalam Islam, negara berperan sebagai raa'in, yakni pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis:
"Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR Bukhari)
Penguasa dalam sistem Islam bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya, karena kedudukan negara sebagai raa'in. Negara dengan sistem Islam akan memberlakukan kebijakan ekonomi dengan asas Islam yang memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu, negara juga akan mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Negara Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan jaminan kesejahteraan ini, antara lain dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya melalui industrialisasi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, negara juga akan hadir untuk memberikan modal baik uang atau skill bagi rakyat yang ingin membuka peluang usaha.
Di sisi lain, negara akan memberikan tanah yang tidak produktif kepada rakyat untuk dikelola hingga tanah tersebut menjadi produktif dan menjadi sumber mata pencaharian.
Negara juga menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dengan menghilangkan pungutan bagi pemilik usaha. Dengan demikian, biaya produksi menjadi efisien dan harga barang lebih terjangkau oleh rakyat.
Negara juga menerapkan sistem ijarah atau pengupahan yang adil, sehingga pekerja mendapatkan upah yang layak, sesuai dengan manfaat dan kebutuhan yang mereka berikan. Upah ini diterima utuh oleh pekerja tanpa ada potongan pajak atau iuran lainnya, karena pendidikan dan kesehatan sudah dijamin oleh negara.
Negara juga memastikan bahwa setiap laki-laki dewasa yang sehat dan kuat harus bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya. Dengan nafkah yang cukup dan jaminan negara, perempuan tidak wajib bekerja dan tidak berada dalam kondisi terpaksa bekerja. Dengan demikian, perempuan dapat fokus menjadi istri dan ibu yang mengurus anak-anaknya tanpa harus khawatir memikirkan nafkah, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya.
Jika seorang perempuan tidak memiliki suami, maka nafkahnya dipenuhi oleh walinya. Jika wali dan kerabatnya tidak ada atau tidak mampu, kewajiban nafkah jatuh kepada negara. Negara akan memberikan santunan untuk para janda dan duafa. Selain itu, rakyat juga akan memberikan bantuan kepada kalangan duafa, karena sistem Islam mendorong masyarakat untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan suka tolong-menolong.
Negara bahkan mendorong para ibu untuk memiliki anak. Negara akan mensubsidi, bahkan menggratiskan layanan kesehatan, termasuk bagi ibu hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, orang tua tidak akan bingung memikirkan biaya pemeriksaan, persalinan, dan pengobatan anaknya.
Negara juga dapat memberikan santunan bagi ibu yang baru melahirkan, seperti yang dilakukan pada masa Umar bin Khaththab ra.. Beliau memberikan santunan kepada para ibu segera setelah mereka melahirkan, yang menambah kebahagiaan mereka.
Negara juga akan memperhatikan gizi ibu, bayi, dan balita, sehingga tidak ada kasus kurang gizi atau stunting. Dengan demikian, orang tua tidak perlu khawatir akan masa depan anak-anak mereka, karena negara menjamin kesehatan dan pendidikan anak hingga mereka dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Dengan dukungan sistem Islam yang melibatkan suami, wali, kerabat, masyarakat, dan negara, para ibu akan berada dalam lingkungan yang kondusif untuk menjaga, mengurus, dan mendidik anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Negara juga menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkepribadian Islam.
Setiap amal perbuatan anggota masyarakat dalam Islam ditimbang berdasarkan syariat Islam. Sebelum bertindak, setiap orang akan mempertimbangkan balasan dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Hanya halal-haram yang menjadi tolak ukur perbuatan, bukan asas kebebasan atau prinsip materialistis, sehingga masyarakat terbentuk dari individu-individu yang bertakwa.
Negara juga mewujudkan suasana ketakwaan di tengah masyarakat dengan mengatur media massa sesuai prinsip syariat. Dalam negara Islam, tidak ada kebebasan berpendapat, berperilaku, atau berekspresi.
Setiap ucapan, tulisan, dan tayangan harus sesuai dengan ajaran Islam. Konten-konten yang bertentangan dengan Islam akan dilarang tayang di media massa atau media sosial. Dengan demikian, opini umum di masyarakat akan terkondisikan menjadi islami.
Dengan diterapkannya sistem Islam secara kafah di tengah masyarakat, tidak menutup kemungkinan masih ada sebagian orang yang berniat melakukan kejahatan. Namun, negara akan melakukan pengawasan dan menjamin keamanan masyarakatnya, sehingga kejahatan tidak akan semarak seperti saat ini. Dengan pengawasan dan penjagaan keamanan tersebut, masyarakat akan merasa aman dan tenteram, tidak menjadi korban kejahatan.
Penerapan Islam secara kafah akan melindungi warga dari berbagai bentuk kejahatan. Fungsi keluarga pun menjadi optimal, dengan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga dan ibu mengatur rumah tangga.
Keduanya dapat mendidik anak-anak mereka dengan baik berdasarkan syariat Islam, sehingga anak-anak terjaga keamanannya, tidak terlantar apalagi dijualbelikan. Hanya dengan penerapan Islam kafah, semua akar persoalan dapat diselesaikan dengan tuntas. Wallahualam bissawab. [SJ/MKC]