Ilusi Keadilan Dalam Sistem Demokrasi
Opini
Menyerahkan urusan pembuatan aturan kepada manusia merupakan suatu tindakan tak masuk akal yang tak sepatutnya dilakukan
Jamak diketahui pula bahwa manusia memiliki tendensi memihak pada hawa nafsu, sehingga rawan terjebak pada konflik kepentingan
____________________________
Oleh Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Mewujudkan keadilan merupakan tugas utama negara untuk menjamin tegaknya hukum dan keamanan atas warga negaranya. Namun demikian, jika mengamati situasi politik dan hukum yang berlaku saat ini, faktanya keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi tersebut lagi-lagi harus tercampakkan.
Baru-baru ini, kasus yang mengoyak kepercayaan rakyat terhadap hukum negara kembali lagi terjadi. Kali ini, krisis hukum terlihat pada penanganan kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita yang dilakukan oleh Ronald Tannur, seorang anak mantan anggota DPR, Edward Tannur.
Dalam kasus tersebut, Pengadilan Negeri Surabaya justru membebaskan tersangka dari tuntutan pidana dalam kasus dugaan pembunuhan. Majelis hakim menilai, tersangka Ronald Tannur tidak terbukti melindas korban sehingga tidak bisa dinilai secara sah bersalah sebagaimana yang dituangkan dalam dakwaan pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 259 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP. (jpnn.com 28/7).
Tak ayal, hal ini menuai sorotan publik. Bukan hanya mengecam, merespon janggalnya putusan tersebut, masyarakat bersama beberapa aliansi bahkan melakukan aksi geruduk Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur pada Selasa (30/7/2024). Mereka sempat memblokade akses jalan hingga menyegel pintu masuk dengan spanduk. (kompas.com 30/7).
Para anggota DPR tak ketinggalan memberikan reaksinya terhadap keputusan yang dinilai mencoreng demokrasi ini. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni bahkan mengungkapkan rasa kesalnya kepada hakim yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Hal ini disampaikan saat melakukan audiensi dengan keluarga korban Dini Sera Afrianti di ruang Komisi III DPR, Jakarta pada Senin 29 Juli 2024 (liputan6.com).
Kasus vonis bebas yang dijatuhkan kepada Gregorius Ronald Tannur nyatanya bukan kasus satu satunya yang menyebabkan hancurnya wibawa hukum di mata masyarakat. Kasus yang dialami mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari tak kalah membuat rakyat geleng-geleng kepala.
Bagaimana tidak, pelaku yang terbukti melakukan tindak asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda, berinisial CAT tersebut nyatanya hanya diberikan hukuman berupa pemecatan. Hal tersebut dilakukan setelah DKPP melaporkan dan mengadili hingga beberapa kali.
Di sisi lain, fakta mencengangkan terungkap di mana berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), sang mantan Ketua KPU tersebut memiliki kekayaan sebesar Rp9,5 miliar selama periodik 2023. Tentu ini jumlah yang fantastis!
Fenomena tersebut sebenarnya baru segelintir dari ratusan kasus janggal negeri ini yang mencoreng martabat penegak hukum. Layaknya gunung es, masih banyak fenomena serupa yang memang tak sempat tersorot awak media.
Merajalelanya kasus kriminalitas yang seakan kebal dari jerat hukum itu membuktikan bahwa jaminan keadilan dalam hukum saat ini telah gagal diwujudkan. Hal ini tentu mengoyak nurani keadilan masyarakat, apalagi dalam kasus semisal kasus Ronald Tannur, Hasyim Asy’ari dan kasus serupa lainnya.
Realita semacam ini sejatinya akan terus berulang, selama sistem kehidupan ditentukan dan dibuat oleh manusia sendiri. Tak dapat ditampik lagi bahwa setiap manusia berpotensi melakukan kesalahan dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk yang lemah dan terbatas.
Oleh karena itu, menyerahkan urusan pembuatan aturan kepada manusia merupakan suatu tindakan tak masuk akal yang tak sepatutnya dilakukan. Apalagi sudah jamak diketahui pula bahwa manusia memiliki tendensi memihak pada hawa nafsu, sehingga rawan terjebak pada konflik kepentingan dalam proses pembuatan aturan.
Namun, dalam sistem sekuler demokrasi seperti saat ini, faktanya hal tersebut sah-sah saja. Wajar jika sistem hukum yang dihasilkan jauh dari asas keadilan dan tidak memberikan efek jera. Dalam beberapa kasus, muncul aturan dan pasal pasal karet yang bebas diputarbalikkan, tergantung kepentingan dan cuan.
Selama ada uang, pasti terjamin aman. Tak heran, muncul analogi di tengah masyarakat “Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”. Hal ini makin membuktikan betapa lemahnya hukum buatan akal manusia. Alih-alih menjamin keamanan, justru makin membuka lebar celah terjadinya kejahatan.
Hal ini akan sangat berbeda dengan sistem Islam. Syariat Islam sangat menjunjung tinggi asas keadilan. Karena, kedaulatan serta sumber hukum bukan berasal dari manusia, melainkan dari Allah Swt.. Oleh karena itu, setiap aturan yang diterapkan untuk mengatur aktivitas manusia harus didasarkan pada aturan Allah, Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil.
Dalam Islam, kriminal diartikan sebagai tindakan yang merupakan pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap aturan Allah Swt.. Warga negara yang melakukan tindakan pelanggaran terhadap syariat (kriminal), akan dikenai sanksi sesuai tingkat kejahatan yang dilakukannya tanpa memandang status, harta, kedudukan dan lain sebagainya. Dari hal tersebut, terlihat bahwa Islam betul-betul mempunyai definisi kejahatan dan sistem hukum yang jelas.
Tak hanya itu, Islam juga memiliki sistem sanksi yang memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah agar orang lain tak melakukan hal serupa. Bagi para pelaku tindak asusila misalnya, berlaku hukum hudud, berupa rajam bagi pelaku yang telah menikah.
Islam juga mensyariatkan hukum qishash berupa hukuman mati atau menebus dengan 100 ekor unta bagi para pelaku pembunuhan. Adapun sanksi jinayat yang diperuntukkan bagi para pelaku penganiayaan yang menghilangkan hilangnya fungsi tubuh korban.
Hal tersebut juga didukung dengan adanya penegak hukum yang amanah dan bertakwa kepada Allah. Dengan keimanan kokoh yang didapatkan dari akidah Islam yang mengakar kuat, para penegak hukum tersebut akan senantiasa menjalankan tugas yang diberikan secara adil karena mengingat bahwa amanah akan dipertanggungjawabkan di hari akhir.
Gambaran keadilan hukum seperti itu hanya dapat terwujud dalam penerapan Islam secara kafah. Maka, tak ada keraguan lagi, mari bersegera meninggalkan demokrasi dan beralih pada Islam! Wallahuallam bissawab. [AS-Dara/MKC]