Alt Title

Industri Tekstil Lokal Menjerit Akibat Barang Impor Cina

Industri Tekstil Lokal Menjerit Akibat Barang Impor Cina




Atas nama perdagangan bebas, Indonesia membuka keran impor sebanyak-banyaknya

tanpa peraturan ketat dan standar untuk kualitas serta keamanan produk


______________________________

 

Penulis Zidni Sa'adah

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Pelaku industri dan produk tekstil di dalam negeri menjerit. Akibat serbuan barang impor asal Cina yang harganya lebih murah menghantam industri di Tanah Air. Nampak baju bayi dan anak terpampang dan dipajang rapi di kios-kios para pedagang yang berada di Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat. Baju anak impor ini memiliki motif dan model beragam serta menarik. Sekilas mata memandang, konsumen mungkin seakan terhipnotis untuk membelinya. (CNBC, 10 Agustus 2024)


Namun mirisnya, baju-baju bayi dan anak tidak dilabeli SNI (Standar Nasional Indonesia). Padahal, pakaian tersebut termasuk produk yang wajib memenuhi SNI yang telah direvisi dan diamandemen dengan SNI 7617:2013. Di dalamnya mengatur persyaratan zat warna azo, kadar formaldehida, dan kadar logam terekstraksi pada kain. Ketentuan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 7/2014 tentang Pemberlakuan SNI Persyaratan Zat Warna Azo, Kadar Formaldehida, dan Kadar Logam Terekstraksi pada kain untuk pakaian bayi secara wajib.

Selain tanpa penanda SNI, pakaian impor asal Cina ini jika dilihat dari segi bahan, cenderung menggunakan kain katun kualitas standar. Saat diraba, bahan terasa sedikit kasar dan tidak menyerap keringat. Tentu, panas dan gerah akan dirasakan si pemakai ketika dikenakan aktivitas di luar rumah.

Belum lagi ditemukan pakaian impor ilegal yang membanjiri negeri ini. Hal ini berdasarkan hasil penemuan Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan terhadap data impor dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data dari negara asal berbeda. Data ekspor ke Indonesia dari negara asal jauh lebih besar dibanding data impor di BPS. Artinya, terdapat barang ilegal yang masuk ke Indonesia. Data ini diperkuat juga oleh Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesian (HIPPINDO) yang mengungkapkan bahwa data impor dan ekspor dari International Trade Center (ITC) dan BPS terlihat jomplang. Hal ini terjadi sejak tahun 2004.

Untuk mengatasi impor ilegal ini, Mendag Zulkifli Hasan membentuk satuan petugas (satgas) yang rencananya akan berdiri dan beroperasi dalam waktu dekat. Satgas tersebut akan fokus pada tujuh komoditas, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki.

Namun, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah enggan mengambil risiko besar untuk menyelamatkan industri tekstil. Pasalnya, mereka lebih condong memprioritaskan hilirisasi di bidang pertambangan dibandingkan industri tekstil. Terlihat dari kinerja industri logam dasar yang pertumbuhannya double digit.

Padahal, jika menilik ke belakang industri pengolahan nonmigas pada tahun 2023 memberikan kontribusi sebesar 16,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Lima subsektor industri yang berkontribusi tersebut di antaranya industri tekstil dan pakaian jadi.

Lebih lanjut, INDEF menyebutkan berkaca dari kebijakan pembentukan satgas sebelumnya, pembentukan satgas dinilai tidak memberikan efek signifikan. Sejalan dengan pernyataan dari Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesian {API) Danang Girindrawandana yang mengkritik sikap pemerintah yang sedikit-sedikit melahirkan satgas untuk tindakan penanganan. Menurutnya, satgas dibentuk menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam koordinasi birokrasi. Tidak memiliki cukup kontrol terhadap tugas pokok dan fungsi dari masing-masing kementerian.  

Bahkan beliau mengatakan pembentukan satgas hanya dilakukan demi menyenangkan publik. Karena, belum pernah satgas yang dibentuk benar-benar menghasilkan penuntutan penindakan hukum. Parahnya, akibat dari lesunya industri tekstil di negeri ini telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 13.800 buruh sebagai buntut maraknya produk impor yang harganya lebih murah.

Persoalan barang impor ilegal dari Cina sebenarnya bukan persoalan baru. Negara seharusnya memberi sanksi bagi negara pengimpor yang tidak memenuhi syarat impor yang berlaku. Namun realitasnya tidaklah demikian. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap produk yang masuk ke dalam negeri ini. Padahal, negara memiliki berbagai perangkat yang mampu memperkuat pemeriksaan di perbatasan terkait barang impor yang diperjualbelikan lintas batas negara.

Negara seolah hanya sibuk mengimbau, namun minim tindakan. Padahal, kondisi ini bisa berefek pada tidak diminatinya produk-produk dalam negeri dan berujung pada matinya industri dalam negeri. Jika industri gulung tikar, akan banyak pekerja di PHK dan akan banyak keluarga yang jatuh ke jurang kemiskinan.

Selain itu, hal ini menunjukkan pula tidak ada perlindungan dari negara terhadap produk dalam negeri. Atas nama perdagangan bebas, Indonesia membuka keran impor sebanyak-banyaknya tanpa peraturan ketat dan standar untuk kualitas serta keamanan produk. Alhasil, Cina dengan leluasa memasarkan produk-produk dalam negerinya ke Indonesia yang sangat potensial. Pasalnya, jumlah penduduk Indonesia terus tumbuh dengan karakter masyarakat yang konsumtif.

Di sisi lain, hal ini merupakan konsekuensi berlakunya sistem ekonomi kapitalis di negeri ini, yakni peran penguasa sebagai pengayom dan pelindung bagi rakyatnya sangat minim bahkan telah hilang. Alhasil terkait perdagangan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya sekadar mempertemukan penjual dan pembeli hingga melakukan impor dalam jumlah besar.

Negara mengabaikan upaya memberi dukungan pada produsen dan pedagang yang mampu mengoptimalkan pengadaan produk dalam negeri tanpa harus bergantung pada produk luar negeri. Sebab, tanpa menghitung impor produk tekstil ilegal saja, negeri ini sudah dibanjiri produk tekstil dari impor legal. Dari sini, jelas perdagangan bebas serta hilangnya perlindungan dari negara telah nyata merupakan buah penerapan sistem kapitalis hari ini.

Berbeda dengan negara yang menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara berfungsi sebagai raa'in (pengurus urusan rakyat) akan berjalan secara optimal. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam termasuk pengaturan dalam industri perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam buku Politik Ekonomi Islam karya Abdurrahman al-Maliki dijelaskan bahwa aktivitas perdagangan adalah jual beli. Hukum-hukum terkait jual beli adalah hukum-hukum tentang pemilik harta, bukan hukum tentang harta.

Status hukum komoditas (perdagangan) bergantung pada pedagangnya, entah ia warga negara institusi Islam atau negara kufur. Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan negara Islam adalah warga negara, baik dia muslim atau kafir dzimmi. Pasalnya, negara Islam akan memberikan pelayanan dan pengurusan rakyat dengan syarat individu tersebut berstatus sebagai warga negara Islam menetapkan bahwa pedagang yang merupakan warga negara boleh melakukan perdagangan di dalam negeri.

Dalam berdagang, mereka harus tetap terikat dengan syariat Islam, seperti larangan menjual barang haram, melakukan penimbunan, kecurangan, pematokan harga dan sebagainya. Pedagang yang merupakan warga negara juga dibolehkan melakukan perdagangan luar negeri atau melakukan ekspor impor. Akan tetapi, jika ada komoditas ekspor impor yang berdampak buruk atau membawa mudarat bagi rakyat akan dilarang oleh negara.

Untuk memberikan perlindungan terhadap produk luar negeri, negara akan memberlakukan cukai sepadan pada negara kafir. Jika negara kafir tersebut menarik cukai atas barang dagang yang berasal dari negara Islam. Kemudian, negara melarang komoditas impor yang termasuk barang haram dan membawa mudarat bagi masyarakat.

Selain itu, negara akan melakukan pengawasan ketat di perbatasan. Pejabat dalam negara Islam adalah pejabat yang amanah, sehingga menutup celah masuk barang impor yang tidak sesuai kebutuhan negara. Jika hal tersebut terjadi, negara memberikan sanksi takzir bagi pedagang luar negeri dan pejabat yang meloloskan barang tersebut. Sanksi ini bersifat tegas dan memberi efek jera pelaku.

Untuk memenuhi kebutuhan sandang, negara akan memberikan dukungan industri tekstil berupa pembangunan infrastruktur, kemudahan memperoleh bahan baku, dan sebagainya. Alhasil, kebutuhan dalam negeri bisa tercukupi dan harganya terjangkau oleh masyarakat.

Demikianlah cara negara yang menerapkan sistem Islam. Memberikan pelayanan dan perlindungan pada masyarakatnya demi terwujudnya kesejahteraan yang komprehensif. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]