Alt Title

Islam Menjaga Hak Kepemilikan

Islam Menjaga Hak Kepemilikan

 


Sudah seharusnya pemerintah berkewajiban menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah 

Hal ini untuk mengatasi berbagai polemik pertanahan di tengah masyarakat

______________________________


Penulis Iis Siti Nurasipah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Warga Cileunyi Kabupaten Bandung, begitu antusias menyambut program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dikabarkan gratis untuk para pemilik tanah.


Program ini disampaikan ke tengah masyarakat dalam rangka jaminan kepastian hukum atas tanah, yang sering kali memicu terjadinya sengketa dan perseteruan atas lahan di berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali warga Kecamatan Cileunyi. 


Namun pada pelaksanaannya, saat warga banyak yang mendaftarkan rumah dan tanahnya dikenakan biaya Rp150 ribu, tentu membuat warga kaget. Hal ini pun dikonfirmasikan kepada Camat Cileunyi, Cucu Endang dan mengatakan bahwa biaya tersebut sudah disosialisasikan oleh masing-masing desa.


Bukan hanya berbayar, pengurusan sertifikat ini pun dibarengi prosedur cukup berbelit. Dilansir oleh KejakimpolNews.com (04/07/2024), dengan melengkapi semua persyaratan PTSL yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), surat permohonan pengajuan peserta PTSL, pemasangan tanda batas tanah yang telah disepakati dengan pemilik tanah yang berbatasan, bukti surat tanah (Letter C, akta jual beli, akta hibah, atau berita acara kesaksian), dan bukti setor BPHTB dan PPh (kecuali bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dibebaskan dari keduanya), serta membayar Rp150 ribu dapat mengajukan permohonan program PTSL.


Selain itu masih ada biaya yang ditanggung oleh pemohon, di antaranya keperluan lain seperti pembuatan letter C, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bila terkena, dan materai, hingga fotokopi berkas.


Antusiasme warga Cileunyi mendaftarkan tanah dan rumahnya secara gratis dapat dimaklumi. Mengingat sertifikat tanah sejatinya adalah alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan mempunyai hukum yang kuat dan sah.  


Kepemilikan tanah di Indonesia pada umumnya diperoleh secara turun temurun seperti tanah adat atau warisan dari orang tua tanpa dilengkapi akta tanah atau sertifikat (girik). Sehingga kemudian muncul persoalan tanah sengketa, penggusuran secara sepihak oleh pemerintah atau pengusaha.


Hal ini dimanfaatkan oleh pemerintah dan pemodal. Karena banyaknya masyarakat Indonesia yang menguasai lahan, tetapi tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah melalui kepemilikan sertifikat tanah yang dimilikinya tersebut.


Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal hak-hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.


Semua hak atas tanah itu memberikan kewenangan kepada orang yang memiliki. Hanya bedanya terletak pada luasnya kewenangan dalam menggunakannya, yakni untuk keperluan apa dan berapa lama tanah tersebut dapat digunakan. 


Sudah seharusnya pemerintah berkewajiban menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat untuk mengatasi berbagai polemik pertanahan di tengah masyarakat. Bukan malah mencari untung dengan kondisi rakyat yang buta hukum dan tidak memiliki kemampuan secara finansial sehingga mudah dibohongi.


Kondisi tersebut terjadi karena landasan kebijakan negara adalah kapitalisme, dan menjadikan negara lalai dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat serta melindungi hak milik rakyat. Bahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat saja belum terpenuhi.


Apalagi masalah lain seperti biaya pendidikan, kesehatan, pajak, tarif transportasi (tol), kebutuhan pokok, pencabutan BBM bersubsidi. Sementara pendapatan dan penghasilan tidak berubah, serta kurangnya lapangan pekerjaan. Sehingga menyebabkan pengangguran makin banyak.


Berbeda dengan sistem Islam yang bersandar hukum syarak yaitu aturan dari Allah Swt. dan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna telah mengatur segala aspek kehidupan. 


Dalam Islam ada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Hal ini sebagaimana hadis Nabi,


Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, api, dan padang rumput.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Kepemilikan individu. Setiap individu berhak memiliki dan memanfaatkan lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam, dan sebagainya. Baik lahan tersebut diperoleh melalui jual beli, warisan, atau hibah.


Kepemilikan umum, yakni lahan yang terdapat harta milik umum, berupa fasilitas umum (hutan, sumber mata air, dan lain-lain), barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, jalan, laut, dan sebagainya, tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh individu atau negara.


Semua lahan milik umum, negara mengelolanya untuk kemaslahatan umum. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesinya kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.


Kepemilikan negara, yakni lahan yang tidak berpemilik serta lahan yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun, akan dikuasai oleh negara, dikelola, dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara.


Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara boleh memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.


Dalam Islam, pemimpin menempatkan sebagai raa'in dan junnah bagi rakyatnya. Yakni melayani kepentingan rakyat, melindungi, dan menegakkan keadilan serta menjamin penghidupan mereka. Pemimpin wajib menjadikan rakyat sebagai tugas utama mereka dalam mengemban amanah kepemimpinan. 


Keadilan ini dicontohkan pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada saat Gubernur Mesir Amr bin Ash ingin memperluas masjid kota, sementara di tengah tanah proyek tersebut terdapat rumah gubuk seorang lelaki Yahudi.


Saat itu Gubernur Amr memerintahkan pegawainya untuk membeli rumah tersebut, namun lelaki Yahudi itu tidak mau menjualnya. Setelah beberapa kali didatangi dengan membujuk, memaksa dan mengintimidasinya, lelaki Yahudi itu mendatangi Khalifah Umar bin Khattab untuk mengadukan kejadian itu. Hingga akhirnya Amr bin Ash urung menggusur rumah Yahudi tersebut. 


Itulah perbedaan riayah negara dalam Islam dan negara saat ini. Kesejahteraan dan keadilan hanya dapat dirasakan dalam naungan Daulah Islamiyah. Maka dari itu, sudah saatnya menerapkan kembali syariat Islam dalam kehidupan secara kafah.


Hanya dalam sistem Islam, hak kepemilikan tanah individu dijamin dan dilindungi negara, baik ada bukti tertulis maupun tidak. Wallahualam bissawab. [DW-SJ/MKC]