Alt Title

Islam: Solusi Tuntas untuk Pidana, Bukan Obral Remisi

Islam: Solusi Tuntas untuk Pidana, Bukan Obral Remisi


 

Obral remisi, yang merupakan solusi pragmatis dalam sistem sekuler

terbukti tidak mampu menyentuh akar masalah tingginya angka kejahatan

______________________________


Penulis Aning Juningsih

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Setiap tahun, menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, pemerintah mengagendakan pemberian remisi kepada narapidana. Seperti pada HUT ke-79 RI yang jatuh pada Sabtu, 17 Agustus 2024, sebanyak 176.984 narapidana dan anak binaan menerima Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPUAN) 2024.


Pemerintah mengeklaim bahwa remisi ini bukanlah hadiah, melainkan bentuk apresiasi kepada narapidana yang menunjukkan prestasi, dedikasi, dan disiplin tinggi dalam mengikuti program pembinaan. (metro.tempo.co, 18/07/24)

Namun, di balik kebijakan tersebut, terdapat sisi yang cukup mengkhawatirkan. Pemerintah juga menyatakan bahwa pemberian remisi dan pengurangan masa pidana ini dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp274,36 miliar, yang seharusnya digunakan untuk biaya makan narapidana dan anak binaan.

Menurut data Institute for Crime and Policy Justice Research, pada tahun 2021, Thailand, Indonesia, dan Filipina termasuk di antara 10 negara dengan populasi penjara terbesar di dunia. Selain itu, Filipina, Thailand, dan Kamboja masuk dalam 10 besar negara dengan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kelebihan kapasitas, sementara Indonesia berada di peringkat ke-22.

Pada Maret 2023, lapas di Indonesia telah mengalami overkapasitas hingga 89 persen. Kapasitas hunian lapas di Indonesia sebenarnya hanya untuk 140.424 orang, namun penghuninya mencapai 265.346 orang. Data Ditjen PAS Kemenkumham 2021 menunjukkan bahwa kepadatan ini tidak merata di setiap penjara.

Dari 526 penjara dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia, 399 di antaranya mengalami overkapasitas. Dari jumlah tersebut, 215 penjara dan rutan bahkan mengalami overkapasitas di atas 100 persen, atau dua kali lipat dari kapasitas aslinya.

Ada juga enam lapas yang mengalami overkapasitas di atas 500 persen, seperti di Lapas Kelas IIA Bagansiapiapi, Provinsi Riau, yang mencapai 813 persen. Sementara itu, terdapat 127 lapas atau rutan yang tidak mengalami overkapasitas.

Berdasarkan data dari Institute for Crime and Policy Justice Research, jumlah orang yang dipenjara di Indonesia pada tahun 2020 meningkat hampir lima kali lipat dibandingkan tahun 2000, atau terjadi peningkatan hampir 10.000 orang per tahunnya. Indonesia membutuhkan tambahan kapasitas penjara untuk 10.000 orang per tahun, yang setara dengan tambahan 34.000 meter persegi ruang tidur baru di penjara.

Anggaran yang dibutuhkan untuk bangunan penjara saja lebih dari Rp3,5-5 triliun, belum termasuk pengadaan lahan. Penambahan kapasitas penjara juga akan diikuti dengan penambahan anggaran untuk pengawasan, baik berupa sumber daya manusia (SDM) maupun peralatan yang diperlukan.

Selain itu, anggaran untuk konsumsi, program pembinaan, serta pemeliharaan aset juga akan meningkat. Hanya untuk kebutuhan makan narapidana saja, anggarannya mencapai Rp2 triliun per tahun.

Tidak mengherankan, semua ini dianggap memberatkan keuangan negara. Tingginya angka overkapasitas penjara dan anggaran pemeliharaannya menegaskan bahwa angka kejahatan di negeri ini sangat tinggi.

Melihat kenyataan ini, tidak sedikit orang yang berkali-kali masuk penjara, baik karena kasus yang sama maupun berbeda. Masuk penjara kini bukan lagi aib, melainkan sudah menjadi hal biasa. Banyak yang tidak berubah menjadi lebih baik setelah keluar dari penjara. Sebaliknya, mereka malah menjadi lebih jahat dan sadis karena efek penjara yang tidak menjerakan. Tujuan narapidana untuk bertobat seolah-olah jauh dari kenyataan.

Kondisi penjara yang overkapasitas dan maraknya angka kriminalitas menunjukkan bahwa hukuman yang diberlakukan oleh sistem hukum saat ini tidak dapat membuat pelaku kejahatan jera. Negara mengalami kerugian besar dan krisis generasi sebagai akibat tingginya angka kriminalitas juga terjadi.

Sistem hukum yang berlaku ternyata tidak dapat membina warga binaan secara efektif, meskipun mereka sudah bertahun-tahun dipenjara. Besarnya anggaran untuk pemeliharaan narapidana dan lapas menjadi beban bagi negara. Oleh karena itu, remisi bagi narapidana bukanlah solusi yang tuntas.

Negara seharusnya memiliki sistem hukum yang tegas, sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan mencegah orang lain melakukan kejahatan. Namun, maraknya praktik jual beli hukum membuat pelaku kejahatan tidak jera, yang menunjukkan betapa buruknya sistem hukum di negeri ini.

Melihat fakta saat ini, sulit berharap angka kriminalitas menurun sehingga dapat mengurangi beban anggaran negara maupun obral remisi. Lalu, apa jaminannya bahwa narapidana yang telah diberi remisi tidak akan berbuat kejahatan lagi setelah keluar dari penjara?

Solusi bagi polemik obral remisi ini tidak bisa dilakukan dari satu sisi saja, melainkan harus bersifat sistemis. Banyaknya penjahat mencerminkan lemahnya kepribadian individu, yang tidak terlepas dari lemahnya keimanan dan kegagalan sistem pendidikan. Ditambah lemahnya sistem sanksi dan hukum yang semakin memperburuk kondisi ini.

Sistem pendidikan di Indonesia saat ini lebih erat dengan kapitalisasi dan komersialisasi. Aturan hidup yang serba materialistis, hedonis, permisif, dan konsumtif menjadikan individu bebas berperilaku. Sekolah hanya menjadi tempat mengisi waktu luang tanpa adanya ruh keimanan dalam menuntut ilmu. Akhirnya, generasi yang dihasilkan bukanlah sosok-sosok yang unggul dan berkepribadian luhur, melainkan generasi yang lemah dan mudah terjerumus ke dalam kejahatan.

Selain itu, tekanan ekonomi meningkatkan angka anak putus sekolah yang lebih memilih bekerja demi bertahan hidup. Krisis sosial memperburuk keadaan, dengan anak-anak korban keluarga broken home sering kali harus berjuang lebih keras untuk menghidupi adik-adiknya.

Ketimpangan dalam sistem pendidikan ini diperparah oleh sistem sanksi dan hukum yang kacau balau. Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas menunjukkan bahwa hukum hanya memihak kepada yang kuat, baik itu secara ekonomi, jabatan, maupun jaringan orang dalam. Hukum begitu mudah dikomersialkan, sementara pihak yang lemah sering kali menjadi korban kecurangan hukum.

Tidak heran, residivis yang keluar masuk penjara malah menjadi lebih keji dalam melakukan kejahatan. Di dalam penjara, bukannya belajar menjadi lebih baik dan menyadari kesalahan, mereka justru seolah-olah belajar untuk berbuat semakin jahat lagi.

Yang lebih miris, pemerintah tampaknya tidak memikirkan pentingnya suasana hidup yang kondusif di tengah masyarakat untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan. Dengan sistem sekuler saat ini, pemerintah merasa nyaman dan tidak peduli dengan karut-marutnya generasi.

Banyaknya kasus kejahatan dengan berbagai macam jenis menunjukkan bahwa solusi masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dari satu sisi, melainkan harus secara sistemis. Apabila penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalis telah terbukti gagal mengurus urusan manusia, satu-satunya solusi adalah mengganti sistem dengan sistem Islam.

Akar masalah krisis generasi pelaku kriminal adalah tidak adanya landasan yang sahih dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan sekuler saat ini hanya mengejar target prestasi akademik dan orientasi bekerja, minim penanaman adab dan pembentukan kepribadian luhur. Bobot pelajaran agama Islam di sekolah dan kampus pun tidak maksimal.

Sistem Pendidikan Islam dan Solusi terhadap Kejahatan


Sistem pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas, yaitu membentuk generasi dengan karakter islami. Sistem ini dirancang untuk membentuk pola pikir dan perilaku peserta didik agar sesuai dengan hukum syariat. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam menjadi alat yang efektif dalam mencetak individu-individu dengan tingkat ketakwaan yang tinggi, yang nantinya akan dibina untuk aktif dalam dakwah dan penyebaran ajaran Islam.

Peserta didik diarahkan untuk menjadi pribadi yang cerdas dan mampu memberikan kontribusi bagi umat, bukan semata-mata disiapkan menjadi pekerja atau pengusaha dalam sektor industri atau ekonomi. Pendidikan Islam bukan sekadar teori, tetapi menjadi panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan sistem ini tecermin dalam terbentuknya pribadi yang mulia, di mana pendidikan tentang adab diberikan sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

Selain individu, masyarakat juga memerlukan lingkungan yang kondusif, di mana setiap anggota memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang didasarkan pada syariat Islam. Lingkungan seperti ini mendukung aktivitas amar makruf nahi mungkar dan mencegah sikap individualis, karena mereka percaya bahwa membiarkan kemaksiatan sama dengan menjadi "setan bisu." Masyarakat Islam yang demikian akan menghasilkan individu-individu yang hidup sesuai dengan syariat Islam.

Untuk mengatasi kejahatan dan masalah narapidana, diperlukan penerapan sistem sanksi dan hukum yang tegas oleh negara. Sistem sanksi dalam Islam tidak membeda-bedakan, adil, dan tidak mengenal kompromi atau praktik jual beli hukum. Dalam konteks ini, remisi bukanlah solusi yang hakiki dalam sistem Islam.

Sistem sanksi Islam tidak mengenal tebang pilih, berbeda dengan yang sering terjadi saat ini. Hukum Islam diterapkan secara merata, jauh dari fenomena "tajam ke bawah, tumpul ke atas." Sebagaimana diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubair ra., Nabi saw. bersabda:

"Sesungguhnya umat sebelum kalian telah binasa ketika orang-orang terpandang yang mencuri dibiarkan tanpa hukuman, namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka diwajibkan menjalani hukuman had. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari Muslim)

Al-Qur'an juga menegaskan bahwa hukuman (uqubat) diterapkan secara adil kepada semua manusia, baik muslim maupun non-muslim. Semua orang yang melanggar hukum harus dikenai sanksi yang sama, karena Islam memandang manusia memiliki potensi yang sama untuk melakukan kebaikan atau keburukan.

Uqubat dalam Islam juga berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Sanksi berfungsi sebagai pencegah agar orang yang ingin melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an QS. Al-Baqarah 2:179.

Selain itu, uqubat juga berfungsi sebagai sarana untuk memaksa pelaku kejahatan menyesali perbuatannya, sehingga mereka benar-benar bertobat. Penerapan sanksi di dunia ini juga dapat mencegah hukuman yang lebih berat di akhirat.

Dengan pendekatan ini, Islam mampu memberikan solusi sistematis bagi permasalahan kehidupan manusia. Obral remisi, yang merupakan solusi pragmatis dalam sistem sekuler, terbukti tidak mampu menyentuh akar masalah tingginya angka kejahatan.

Pemerintah yang memberikan remisi dengan alasan penghematan anggaran untuk pemeliharaan narapidana dan lapas menunjukkan kurangnya keseriusan dalam memutus rantai kejahatan.

Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan juga tidak diatasi secara menyeluruh, sehingga kasus-kasus kejahatan terus bermunculan tanpa ada solusi yang jelas. Inilah cerminan dari sistem sekuler yang mencengkeram kehidupan saat ini, di mana berbagai masalah menjadi semakin rumit tanpa penyelesaian yang memadai. Wallahualam bissawab. [SJ/MKC]