Islamophobia di Balik Larangan Hijab
Opini
Dalam sistem kapitalisme sekuler, pengamalan ajaran IsIam seringkali dipermasalahkan
Agama sengaja dijauhkan dari kehidupan
____________________
Penulis Iis Nur
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Therapis dan Pegiat Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Beberapa waktu yang lalu, jelang peringatan HUT RI ramai pemberitaan tentang pelarangan hijab pada anggota Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) untuk acara upacara kemerdekaan 17 Agustus 2024. Namun kemudian diralat setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Larangan di atas nampak jelas bahwa hal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan nilai Pancasila yakni UUD 1945 pasal 29: Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Juga mengabaikan Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Alasan bisa dicari, karena untuk keseragaman, sebab sudah setuju dengan segala ketentuan atau yang lainnya. Namun, sebagian pihak justru menilai ada Islamophobia di negeri mayoritas muslim ini. Berhijab sebagai bagian dari ajaran Islam malah dianggap mengganggu keseragaman. Bertolak belakang dengan seruan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam sistem kapitalisme sekular, pengamalan ajaran Islam seringkali dipermasalahkan, sengaja dijauhkan dari kehidupan. Yang menyerukan Islam kafah dituduh radikal atau ekstrimis. Islam dianggap hanya sebatas pengaturan ibadah ritual antara individu dengan penciptanya dan dianggap mengganggu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Juga dianggap tidak bisa dijadikan sebagai pijakan dalam hidup bernegara saat ini karena dinilai sudah ketinggalan jaman dan bukan bagian dari agama.
Ciri khas yang menonjol dalam sistem kapitalisme adalah kehidupan menuju liberal. Contohnya, kebijakan terbaru mengenai penyediaan alat kontrasepsi pada remaja dalam PP No. 28/2024 dan frasa “sexual consent” yang terkandung dalam Permendikbud No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang justru melindungi dan melegalisasi perzinaan.
Diterapkannya sekularisme (memisahkan agama dari pengaturan kehidupan) faktanya menumbuhsuburkan kerusakan dalam segala hal. Darurat utang, darurat pergaulan bebas, darurat narkoba, darurat korupsi, dan berbagai darurat lainnya.
Berbeda dengan Islam, sistem ini sangat menjaga kehormatan, harga diri dan martabat perempuan. Salah satunya dengan mewajibkan setiap muslimah untuk menutup aurat sempurna bila berada di luar rumah atau berhadapan dengan non mahram. Derajat wajibnya pun sama seperti salat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Ketentuannya diterangkan dalam al-Qur’an. Firman Allah Swt. dalam surat Al Ahzab ayat 59:
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.“
Seorang pemimpin dalam Islam, dia mengemban amanah besar yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt., termasuk dalam mengontrol pelaksanaaan ajaran Islam oleh setiap muslim maupun muslimah, agar mereka terbebas dari azab Allah kelak di akhirat. Negara pun akan menindak tegas terhadap siapapun yang menghalangi pengamalan ajaran Islam terlebih yang melakukan pemaksaan, kekerasan terhadap perempuan atau melecehkan perempuan.
Alkisah pada tahun 837 M, di masa pemerintahan Khalifah Al-Mu’tashim Billah, seorang muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar, diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak seraya memanggil sang khalifah. Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka negara pun mengutus puluhan ribu tentaranya untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana kekhilafahan di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki).
Kondisi di atas sangat bertolak belakang dengan kapitalisme, yang membiarkan umat Islam berlaku lancang pada agamanya sendiri. Padahal, siapapun yang memeluk agama Islam memiliki kewajiban untuk mentaati seluruh ajaran-Nya bukan menyelisihinya.
Maka hanya dalam sistem Islam lah, kehidupan umat akan terjaga, terjaga akidahnya, terjaga pelaksanaan syariatnya. Karena agama dijadikan pijakan dalam mengatur negara, masyarakat, maupun individu. Wallahualam bissawab. [SM-EA/MKC]