Karut-marut Pilkada, Rebutan Jabatan demi Kekuasaan
OpiniPrinsip utama politik adalah meraih keuntungan pribadi dan kelompoknya
Untuk meraihnya maka cara apa pun akan dilakukan
______________________________
Penulis Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Kebijakan Publik
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah pesta demokrasi seperti halnya Pemilu untuk memilih pejabat yang akan menduduki posisi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota sebentar lagi akan digelar. Menurut peraturan KPU No. 2 Tahun 2024 acara tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024.
Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh para elite politik. Namun yang paling menonjol dan menjadi pusat perhatian serta jadi pembahasan yang cukup memanas adalah masalah koalisi antar parpol dan siapa yang akan diusung menjadi calon Kepala Daerah atau Gubernur, terutama untuk wilayah DKI Jakarta.
Pilkada Ajang Meraih Jabatan
Pada faktanya, Pilkada tidak jauh dari Pemilu syarat dengan kepentingan pragmatis individu dan kelompok. Tak heran terjadi perubahan koalisi secara dinamis dari waktu ke waktu. Koalisi saat Pilpres berbeda dengan koalisi Pilkada saat ini. Calon yang diusung pun cenderung mengalami perubahan.
Sebut saja partai Nasdem, yang semula mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI, kini justru membatalkan dukungannya terhadap Anies dan memilih bergabung dengan KIM (Koalisi Indonesia Maju) plus. Hal itu diungkapkan oleh Surya Paloh sebagai petinggi partai tersebut. "Saya kira dia merupakan sebuah aset yang berarti juga untuk negeri ini. Ya memang bukan saat ini momentum dia, saya pikir itu biasa," ungkapnya. (detik.com, 16/08/2024)
Sementara itu PKS sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak untuk wilayah Jakarta, yakni 18 kursi dari 106 yang tersedia, menarik kembali dukungannya terhadap Anies yang semula akan dipasangkan dengan Sohibul Iman.
Juru bicara yang juga wakil sekjen PKS mengatakan bahwa, Anies tidak mampu menambahkan kekurangan 4 kursi dengan menarik koalisi dengan partai lain supaya bisa maju di Pilkada Jakarta 2024, sampai batas waktu yang ditentukan yaitu selama 40 hari. Selanjutnya malah diisukan kader PKS Suswono bakal diusung sebagai wakil gubernur mendampingi Ridwan Kamil yang diusung KIM plus (Antara, 16/8/2024)
Makna Politik dalam Demokrasi
Apa yang terjadi dengan PKS dan Anies serta parpol lain, menurut pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) adalah suatu hal yang wajar. Adi Prayitno meyakini bahwa prinsip utama politik adalah meraih keuntungan pribadi dan kelompoknya. Untuk meraihnya maka cara apa pun akan dilakukan.
“Kesimpulan politik kita itu sederhana. Jangan pernah baper. Jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan besok bisa kawan,” ungkapnya. (Liputan 6.com, 11/8/2024)
Memang begitulah tabiatnya dalam sistem demokrasi saat ini. Gonta-ganti partai sudah biasa terjadi. Dulu oposisi sekarang berkoalisi, sekarang teman besok bisa jadi lawan. Tidak ada teman yang sejati atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang mendominasi. Saling sikut, lobi sana-sini mencari dukungan, sibuk membahas strategi bagaimana meraih suara terbanyak. Maka tak heran kalau akhirnya mereka berkoalisi meski berbeda ideologi. Karena yang menjadi pertimbangan adalah peluang kemenangan, bukan persamaan visi dan misi.
Semua terjadi karena paradigma berpikir yang bersumber dari sistem demokrasi kapitalis, menganggap bahwa politik adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan anggapan bahwa meraih kekuasaan adalah tujuan akhir dari politik dengan parpol sebagai kendaraannya, maka berbagai cara akan dilakukan demi meraih tujuan.
Pejabat dipilih bukan lagi berdasarkan kemampuan dan keridaan rakyat. Namun berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Alhasil ketika sudah menjabat, alih-alih memikirkan dan mengurusi urusan rakyat, malah sibuk bagi-bagi jatah kursi jabatan. Kebijakan yang dikeluarkan lebih banyak menguntungkan pribadi dan kelompok partai yang telah mengusungnya, daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya saat pemilihan. Aparat pendukungnya pun dipilih dari orang-orang yang bisa memperkuat kedudukannya.
Politik dalam Islam
Gambaran fakta seperti di atas tentu tidak akan pernah kita dapatkan ketika sistem Islam yang diterapkan. Di dalam kitab Mafahim Siyasi, Syeikh Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan politik sebagai pengaturan urusan umat baik di dalam maupun luar negeri, yang dilaksanakan oleh negara dan diawasi oleh umat dengan menerapkan hukum Islam.
Maka sebagai konsekuensinya adalah:
1. Kedaulatan di tangan Syara (pembuat hukum, yakni Allah). Maka manusia, siapa pun dia tidak boleh membuat undang-undang.
2. Kekuasaan di tangan umat. Umat berhak memilih pemimpin mereka dengan bebas tanpa paksaan dan tekanan. Suara rakyat tidak bisa dibeli dengan uang apalagi ditukar dengan tambang.
3. Mengangkat satu pemimpin untuk seluruh kaum muslimin hukumnya wajib. Umat Islam tidak boleh bercerai-berai terhalang oleh sekat nasionalisme.
4. Hukum yang diterapkan oleh kepala negara harus bersumber dari Allah Yang Maha Benar.
Dengan seperangkat aturan tersebut, maka tidak ada lagi rebutan kursi jabatan. Bahkan sampai menghalalkan berbagai cara demi meraih suara rakyat untuk mendapatkan satu jabatan.
Dalam Islam, jabatan dipandang sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat. Maka pejabat yang dipilih adalah mereka yang memang memiliki kapabilitas, memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin dan diambil dari orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Bahkan Rasulullah saw. melarang memberikan jabatan kepada orang yang meminta untuk dipilih menjadi pejabat, seperti kisahnya Abu Dzar yang meminta jabatan kepada beliau.
Rasulullah saw. bersabda: "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar." (HR. Al-Bukhari)
Karena itu tidak akan ada pejabat yang ketika menjabat malah sibuk memperkaya diri dan kelompok atau sibuk menambah jaringan bisnis keluarga. Karena mereka paham bahwa jabatan itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt.. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]