Alt Title

Karut-marut Pilkada Ungkap Borok Demokrasi yang Buruk Rupa

Karut-marut Pilkada Ungkap Borok Demokrasi yang Buruk Rupa




Alih-alih memihak kepada masyarakat secara tulus, dengan asas kapitalistiknya sebagai landasan

demokrasi menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan ajang mendulang lebih banyak keuntungan


______________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belum genap setahun usai pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden berlangsung, kini rakyat Indonesia kembali akan menyongsong perhelatan yang sama untuk memilih kepala daerah.

Berdasarkan peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Pilkada 2024 ini dijadwalkan akan berlangsung tanggal 27 November 2024 secara serentak. (detik.com, 22/5/24)

Merespons rencana kontestasi akbar tersebut, ketua parpol tak pelak mulai gencar melakukan pertemuan untuk menjajakan BaLon (bakal calon) jagoannya masing-masing. Bukan hanya itu, parpol pun ramai unjuk kekuatan membangun koalisi untuk memperbesar kemungkinan calon yang diajukannya terpilih dan menempati kursi kekuasaan. Manuver-manuver politik dilakukan, tak jarang idealitas pun sering dikorbankan.

Beberapa parpol bahkan harus rela berbalik arah dan berlawanan dengan kandidat yang awalnya mereka usung demi mendapatkan cipratan keuntungan. Hal ini seakan semakin menegaskan bahwa dalam suasana perpolitikan saat ini, kawan hari ini bisa menjadi lawan esok hari. Ini jugalah yang terjadi pada PKS dan Anies Baswedan baru-baru ini.

Dilansir dari (ayobandung.com, 22/5/24), PKS yang awalnya mendukung Anies Baswedan sebagai calon gubernur dalam Pilkada Jakarta 2024, memutuskan pecah kongsi dengan menarik dukungannya terhadap Anies. Dalihnya, PKS ingin lebih memprioritaskan kader internalnya lebih dulu dalam kontestasi tersebut.

Peristiwa ini tak ayal mengundang pro kontra publik. Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, berkomentar di unggahan sosial medianya. “Kesimpulan politik kita itu sederhana. Jangan pernah baper. Jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan besok bisa kawan,” kata Adi.

Adi berkeyakinan bahwa prinsip utama perpolitikan saat ini adalah tentang bagaimana mendulang keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, tentu untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara apa pun. Maka, berbohong dan ingkar janji sudah perkara lumrah dilakukan. Persahabatan pun banyak dikorbankan. ”Semuanya demi keuntungan politik," tandasnya. (liputan6.com, 11/8/24)


Pria yang juga berprofesi sebagai Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah tersebut juga mengungkap bahwa Pilkada hari ini merupakan cerminan fenomena demokrasi elite. Sebab, kehendak elite partai-lah yang bisa menentukan seseorang bisa maju atau tidak dalam proses pemilihan.

Hal ini juga diamini oleh Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti. Ia mengatakan bahwa sesuai UU Pilkada, kandidat yang maju umumnya harus mendapatkan dukungan dari partai politik. Proses tersebut kerap menjadi ajang tawar menawar antara para elite partai. Mereka cenderung memilih kandidat yang bisa melindungi dan memperkuat posisi mereka dibandingkan kandidat yang dipilih dan disuarakan oleh rakyat.


“Elite politik yang berkuasa sering kali memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang saling terkait,” terang Felia. Felia juga menekankan bahwa politik memiliki konsekuensi pembiayaan yang tak murah. Maka, wajar jika parpol cenderung bersikap pragmatis dengan memilih kandidat yang dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan yang fantastis tersebut. (tirto.id, 10/8/24)

Fenomena seperti itu sejatinya bukan hal yang mengherankan terjadi di sistem demokrasi yang dielu-elukan sebagai sistem terbaik saat ini. Sistem demokrasi lahir dari paradigma sekuler kapitalis yang memisahkan peran agama dari kehidupan, di samping menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan. Maka, jargon demokrasi di mana kedaulatan berada di tangan rakyat pun kembali menjadi pertanyaan. “Rakyat yang mana?”

Alih-alih memihak kepada masyarakat secara tulus, dengan asas kapitalistiknya sebagai landasan, demokrasi menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan ajang mendulang lebih banyak keuntungan. Tak heran, segala macam cara seolah halal saja ditempuh demi meraih kursi yang diinginkan. Idealisme pun seringnya tergadaikan demi seonggok raihan kemenangan.

Koalisi-koalisi dalam sistem demokrasi saat ini juga dibentuk bukan dengan dasar maslahat umat, melainkan pertimbangan peluang kemenangan. Tak jarang, meski berbeda ideologi dan pandangan politik, koalisi tetap terbangun semata agar tak absen dari jatah kue kekuasaan. Alhasil, benar memang ideologi bahwasanya dalam sistem demokrasi tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Demikian pula terjadi dalam pemilihan figur dan kandidat, semata berdasarkan peluang menang bukan kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itulah, money politic menjadi satu hal yang wajar dalam setiap kontestasi pemilihan pemimpin baik di tingkat nasional maupun lokal.

Paradigma politik semacam ini sudah seharusnya diluruskan dan dikembalikan kepada fitrah yang semestinya, yaitu Islam. Sejatinya, politik di dalam Islam mengandung makna pengurusan urusan umat, bukan lobi-lobi dan manuver-manuver untuk meraih kekuasaan semata. Pemimpin di dalam Islam merupakan raa’in yang akan bertanggung jawab dan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya kelak di hadapan Allah. 



الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 


“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Para pemimpin diserahi kewajiban untuk mengurusi kemaslahatan, termasuk menjamin kehidupan umat di bawah kekuasaannya. Ia juga wajib memastikan bahwa kekuasaannya pun berjalan di atas aturan yang ditentukan oleh Allah Swt.. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:


....إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُتَوَكِّلُونَ
 

"Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri." (QS. Yusuf : 67)

Oleh karena itu, pejabat dan penguasa yang diserahi amanah pun bukan abal-abal yang bermodal kepentingan dan ambisi semata. Sosok penguasa yang terpilih haruslah seseorang yang mempunyai kapabilitas dan integritas karena ia akan menjadi pelayan umat yang bertanggung jawab terhadap terwujudnya kesejahteraan rakyat. Ia pun juga harus mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan di tengah-tengah umat, tentu dengan berlandaskan syariat Islam.

Inilah sosok-sosok pemimpin yang dirindukan, yang tak akan terwujud selama umat masih berkubang dalam sistem kufur demokrasi. Oleh karena itu, sudah saatnya sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah ditegakkan agar umat hidup sejahtera dalam satu kepemimpinan yang adil. Wallahualam bissawab. [SM-EA/MKC]