Alt Title

Keadilan Terkoyak, Kebenaran Nyaris Tak Terlacak

Keadilan Terkoyak, Kebenaran Nyaris Tak Terlacak

 


Hukum juga sering diwarnai oleh konflik kepentingan antar berbagai pihak yang terlibat

Seolah-olah hukum berubah menjadi barang komoditi yang tidak jelas lagi ke mana harus mengabdi

_____________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kerap kali keputusan hukum di negeri ini tanpa rasa malu melewati fakta kebenaran, dan mengacuhkan suara berisik, kritik. Hal ini tentu mengusik rasa keadilan, bagi masyarakat yang mulai melek hukum. Hakim dengan pongahnya memutus kebenaran yang tampak secara kasat mata dengan keputusan bertentangan.


Sebuah putusan hukum yang akhir-akhir ini menuai sorotan publik, terjadi pada kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald Tannur terhadap kekasihnya. Sehingga menyebabkan sang pacar Dini Sera Afrianti meregang nyawa. Mirisnya, majelis hakim yang menangani kasus ini, memvonis bebas Ronald Tannur. Padahal bukti berupa rekaman CCTV, dan hasil visum korban sangat jelas bahwa penganiayaan yang berakhir dengan kematian itu benar-benar nyata. (jpnn.com, 28/7/2024)


Penegakan Keadilan Menjadi Masalah Mendasar 

Kasus Ronald Tannur hanya sepenggal dari berbagai fakta, yang menjelaskan sulitnya mencari keadilan di negeri ini. Sebenarnya, terdapat banyak putusan pengadilan yang bergulir secara terang-terangan mencederai akal sehat. Misalnya, putusan hukum bagi para koruptor yang kerap tidak sebanding dengan uang yang dicurinya.


Sementara, jejak digital memperlihatkan fakta, pengadilan pernah memutuskan kasus pencurian pisang seharga Rp150.000 dengan hukuman selama 7 tahun penjara. Gambaran fakta tersebut sejatinya mengonfirmasi bahwa, penegakan keadilan menjadi masalah mendasar yang dihadapi negeri ini. 


Ironis memang, negeri yang mengaku sebagai negara hukum, yang katanya selalu mengagung-agungkan Pancasila, dan demokrasi, ternyata susah menemukan keadilan. Tiga konsep keadilan yakni regulasi, kelembagaan, dan budaya, saat ini menguap entah ke mana. Situasi ini dapat dijelaskan oleh sebuah adagium, "Jika kehilangan ayam, maka biaya untuk mencari keadilan bisa sama dengan kehilangan kambing."


Pada akhirnya, putusan hukum akan tajam kepada mereka yang tidak mempunyai akses ekonomi, politik, dan lainnya, atau yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa. Oleh sebab itu, berharap mendapat keadilan hanya akan menjadi sebuah mimpi dalam sistem ini.


Keberpihakan Hukum, Menjadikan Keadilan Terkoyak 

Salah satu masalah yang harus dihadapi hingga kini oleh falsafah hukum khususnya yang menyangkut perkara pidana adalah, pertanyaan kepada siapa sesungguhnya hukum harus berpihak. Apakah kepada masyarakat, negara (pemerintah), korban, atau terdakwa?


Ketidakjelasan kepada siapa sesungguhnya hukum harus berpihak, seringkali menimbulkan tarik ulur antara pelaku hukum. Para pengacara tentu menginginkan agar terdakwa yang dibelanya mendapat hukuman seringan-ringannya, bila tidak bebas murni, para jaksa, korban, dan keluarganya tentu menginginkan sebaliknya.


Pemerintah, dan masyarakat yang berkepentingan agar keamanan terjaga, juga sependapat mengenai perlunya penegakan hukum yang konsisten, dan konsekuen. Sebab, hanya dengan cara itu cita-cita masyarakat, di mana semua kalangan masyarakat baik kaya maupun miskin, pejabat, maupun rakyat, memiliki komitmen yang sama terhadap hukum yang berlaku akan tercapai.


Namun, faktanya menunjukkan lain. Sistem hukum yang berlaku sebagaimana diakui semua pihak, tidak mampu mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada secara serasi, serta memuaskan semua pihak. Walhasil, ketidakpastian hukum yang sering muncul. Hukum juga sering diwarnai oleh konflik kepentingan antar berbagai pihak yang terlibat, sehingga seolah-olah hukum berubah menjadi barang komoditi yang tidak jelas lagi ke mana harus mengabdi. 


Masyarakat akhirnya menjadi skeptis terhadap nilai-nilai luhur, dan keadilan. Fenomena seperti ini umumnya terjadi pada masyarakat yang diselimuti pemikiran sekuler kapitalisme, yang senantiasa mengagungkan ide kebebasan. Sistem peradilan hanya bersaing kepintaran dalam mempermainkan pasal-pasal. Kondisi hukum seperti ini jelas akan mengoyak rasa keadilan. 


Keadilan Berpihak pada Semua 

Kontroversi tentang kepada siapa sesungguhnya keadilan berpihak. Tidak ada, dan tidak akan pernah dialami oleh sebuah negara yang menerapkan sistem Islam. Sebab, hukum yang diterapkan berasal dari pencipta manusia. Hukum Islam sejak semula telah ditetapkan berpihak kepada semua anggota masyarakat yang hidup dengan, dan di bawah lindungan hukum tersebut. 


Menurut Syaikh Muhammad Muhammad Isma'il dalam kitab, "Al Fikri al Islami" hukum Islam dengan ukubat-nya berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya dengan dilaksanakannya sanksi, pada umumnya orang yang berakal yang melihat pelaksanaan sanksi tersebut akan berpikir panjang untuk melanggar hukum karena takut. 


Hukum Islam menetapkan orang yang membunuh akan dibunuh. Ketika orang yang melihat pembunuh akan dihukum mati, tentu tidak mudah melakukan pembunuhan. Dan dipastikan orang akan berpikir ribuan kali untuk berzina, karena tahu yang melakukannya akan dirajam, atau dicambuk. Pencuri senilai minimal seperempat Dinar akan dipotong tangannya.


Melihat bentuk hukuman yang tidak ringan itu, orang-orang berakal sehat akan memiliki fitrah tak akan mau disakiti, atau mati, dan dipastikan akan tertahan untuk melakukannya. Di sinilah peran hukum Islam sebagai pencegah. Kejahatan secara terang-terangan akan berkurang, atau bahkan hilang sama sekali. Masyarakat, dan individu anggotanya akan merasa terlindungi. Sehingga keadilan benar-benar dirasakan oleh setiap individu yang hidup di bawah naungan hukum Islam. 


Oleh karena itu, korban kejahatan terutama dalam jinayah tak akan kecewa. Korban dalam kasus jinayah dapat menuntut qisas, atau diat (denda). Terhadap pembunuh, ahli waris dapat menuntut qisas berupa hukuman mati atas pelaku. Bahkan, pencuri akan dipotong tangannya tanpa perlu ada tuntutan dari korban. Korban kejahatan mana yang merasa tidak dibela, dan tidak puas dengan sistem hukuman seperti itu?


Hal ini tentu berbeda dengan hukum yang berlaku hari ini, dalam sistem sekuler kapitalis. Putusan hukum yang ada, banyak merugikan korban. Hanya sistem hukum Islam saja yang benar-benar memperhatikan hak-hak korban.


Sementara para pelaku hukum merupakan orang-orang yang benar-benar amanah, bertakwa, ahli di bidang hukum Islam, dan bervisi akhirat. Sehingga putusan hukum yang dicetuskan bukan putusan yang didasarkan hawa nafsu, dan masalah duniawi semata. 


Untuk itu kepada siapa saja, apalagi mengaku muslim yang menginginkan keadilan hakiki, dan dirasakan oleh semua manusia. Sekarang, saatnya untuk berada dalam barisan perjuangan penegakan hukum Islam dengan sistem Islam. Allah Swt. berfirman : "...dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS Al Maidah: 50) Wallahuallam bissawab. [SH-Dara/MKC]