Kekacauan Pilkada, Wajah Asli Demokrasi, Saatnya Kembali ke Islam
Surat Pembaca
Agar tidak terjadi kekacauan dalam pilkada,
tidak ada jalan lain selain menjadikan Islam sebagai dasar dalam berpolitik
______________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Saat ini, kita disuguhkan dengan kekacauan dalam pilkada, yang mencerminkan situasi politik yang sedang berlangsung. Seperti yang dilansir oleh Liputan6.com (11/8/24), pengamat politik Adi Prayitno mengomentari hubungan panas-dingin antara PKS dan Anies yang bahkan saat ini retak dalam Pilgub Jakarta 2024.
Adi Prayitno, yang juga dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah, menilai bahwa dalam politik, persahabatan dan kejujuran sering dikorbankan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Dalam praktiknya, politik sering kali brutal dan tidak beretika, dengan idealisme yang hanya ada di ruang kelas atau keranjang sampah.
Fenomena yang terjadi dalam Pilkada saat ini menggambarkan demokrasi yang dikuasai oleh elite. Di mana hanya segelintir elite partai yang dapat menentukan siapa yang bisa maju sebagai calon.
Dominasi elite partai politik dalam menentukan calon kepala daerah mempersempit ruang partisipasi publik. Konsensus para petinggi parpol di tingkat pusat sering kali mengabaikan suara kader di daerah.
Di masa menjelang pendaftaran calon Pilkada 2024, ketua parpol terus melakukan pertemuan untuk menjajakan kandidat mereka, dengan koalisi yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemenangan, meski berbeda ideologi atau pandangan politik.
Dalam Pilkada Jakarta 2024, misalnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menentukan calon kepala daerah berdasarkan keputusan ketua umum parpol.
Peneliti dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menyatakan bahwa besarnya peran elite partai dalam menentukan calon kepala daerah disebabkan oleh mekanisme pilkada langsung yang memaksa hal ini terjadi. Elite parpol cenderung memilih calon yang memiliki modal politik, finansial, atau koneksi yang kuat, bukan kandidat yang benar-benar diinginkan oleh masyarakat.
Politik memiliki konsekuensi biaya yang sangat besar, sehingga wajar jika parpol bersikap pragmatis dengan memilih kandidat yang memiliki jaringan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut. Bahkan, di beberapa daerah, kekuasaan politik lokal sering terkonsentrasi pada segelintir keluarga atau kelompok elite tertentu, menciptakan oligarki lokal.
Dalam demokrasi, kekuasaan menjadi tujuan utama, dan segala cara dihalalkan untuk mencapainya. Idealisme sering dikalahkan demi meraih kemenangan, dan koalisi dibentuk berdasarkan peluang kemenangan, bukan kapabilitas atau integritas calon kepala daerah. Akibatnya, politik uang menjadi hal yang tak terhindarkan.
Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Kekuasaan dalam Islam hanya digunakan untuk menerapkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Penguasa harus memiliki kapabilitas dan integritas karena ia bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai masalah kehidupan berdasarkan syariat Islam.
Rasulullah saw. bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Agar tidak terjadi kekacauan dalam pilkada, tidak ada jalan lain selain menjadikan Islam sebagai dasar dalam berpolitik, sehingga keberkahan dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [SJ/MKC]
Siti Aisyah, S.Pd.I