Kuota Haji Disalahgunakan, Benarkah?
Opini
Penyelenggaraan ibadah haji seharusnya diatur dengan baik dan membuat nyaman umat
Dalam sistem kapitalisme penyelenggaraan ibadah haji rawan dengan penyalahgunaan
_________________________
Penulis Yuli Yana Nur hasanah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Alasan utama DPR RI membentuk pansus haji, karena kisruh dari penambahan 21 ribu kuota haji ONH plus, dan masalah maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Ketua komisi DPR RI, Ashabul Kahfi mengungkapkan, "tujuan pembentukan pansus haji untuk mengevaluasi seluruh aspek penyelenggaraan haji, juga termasuk masalah kuota dan pelayanan." (rmol.id 5/7/2024)
Menag Yaqut menegaskan tidak ada penyalahgunaan kuota haji. Terkait ramainya tersiar kabar adanya penambahan kuota haji di Indonesia, yang ada hanya untuk haji khusus (non reguler). Kebijakan itu mencederai rasa keadilan masyarakat yang sudah lama mengantri untuk bisa berhaji, dan dianggap melanggar Undang-Undang ungkap Cak Imin. Dikutip dari (majalah.tempo.co,22/6/2024)
Rumitnya masalah ibadah haji juga dari pengumuman otoritas Arab Saudi yang melarang visa non haji digunakan saat melaksanakan ibadah haji. Ini masalah penting bagi kaum muslimin, karena pemberlakuan visa sesungguhnya berdasarkan prinsip spirit nation-state. Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji harus dikembalikan pada prinsip syariat Islam.
Ada berbagai indikasi yang menunjukan pelanggaran termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Yang dinilai banyak pihak bermasalah dalam berbagai hal, termasuk penyalahgunaan pembagian kuota haji. Penyelenggaraan ibadah haji seharusnya diatur dengan baik dan membuat nyaman umat. Namun, dalam sistem kapitalisme penyelenggaraan ibadah rawan dengan penyalahgunaan, jadi ladang untuk mengambil manfaat juga korupsi.
Pada masa kekhalifahan penyelenggaraan ibadah haji dikelola dengan penuh tanggung jawab. Siapapun tidak membutuhkan visa untuk memasuki tanah suci. Untuk kemudahan jemaah dalam semua tahapan, dalam segala sarana dan prasarana juga memanfaatkan kemajuan teknologi. Pada masa kekhalifahan sudah membangun rel kereta api, menyediakan rumah singgah untuk membantu jamaah yang kehabisan bekal dan banyak lagi kemudahan-kemudahan lainnya.
Dengan wajibnya haji, pemerintah seharusnya memperhatikan prinsip syariat secara mendasar. Juga penting mengedukasi kalau ibadah haji berlaku bagi mereka yang memiliki kemampuan dan memenuhi syarat. Dengan tata kelola yang benar, negara mampu memfasilitasi kerinduan setiap rakyatnya untuk melaksanakan ibadah haji, dan memastikan terpenuhinya rukun haji juga wajib dan sunahnya secara paripurna. Semua pejabat dan petugas yang bertanggungjawab adalah individu yang amanah, buah dari sistem pendidikan Islam yang berasas akidah Islam.
Dalam sistem Islam, pemimpin bukan sebagai pebisnis melainkan pemimpin yang mengayomi rakyatnya, salah satunya menjamin kaum muslimin bisa berhaji dengan aman, nyaman, tenang tidak terbebani. Pemimpin dalam sistem Islam tidak membedakan fasilitas satu dengan yang lainnya. Jamaah tidak perlu bayar mahal hanya demi mendapat fasilitas terbaik. Semua sama karena tujuan penyelenggaraan ibadah haji bukan untuk keuntungan tetapi untuk beribadah menyempurnakan rukun Islam.
Model pengurusan haji pada masa kekhalifahan, bisa kita jejaki pada masa Utsmaniyyah. Khalifah menetapkan di sekitar tanah suci wilayah-wilayah penting yang akan menjadi tempat untuk menyambut para jemaah haji. Seperti wilayah Syam yang letaknya geografis, menjadi pusat pertemuan para jemaah haji yang datang dari Persia, Kurdi, Turkmen, India, Georgia, Arab, Albania, Afganistan, dan sebagian jemaah Asia Tenggara yang datang melalui jalur darat.
Penyelenggaraan ibadah haji ini seyogiyanya butuh sudut pandang Islam dalam akidah dan sistem Islam yang telah diwariskan Rasulullah saw.. Tanpa sistem Islam ibadah haji dan umrah akan terus semrawut dengan spirit nation-state yang mengikis spirit ibadah haji juga mengikis makna dari ibadah yang mulia ini. Wallahuallam bissawab. [SM-Dara/MKC]