Alt Title

Legalisasi Aborsi, Buah dari Liberalisasi?

Legalisasi Aborsi, Buah dari Liberalisasi?



Legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan hanya menambah beban korban.

Sudah menghadapi kehamilan dan menanggung malu

______________________________


Penulis Euis Royani

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dilansir dari media koran sinar (10/8/2024) fokus-fokus Presiden Jokowi mengesahkan PP 28/2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan (UU 17/2023) pada Jumat (26/7/2024). PP tersebut di antaranya mengatur tentang ketentuan dan syarat aborsi di Indonesia agar mencegah praktik aborsi ilegal.


Dalam pasal 116 disebutkan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan kecuali atas indikasi kedaruratan medis. Selain itu, aborsi hanya boleh dilakukan kepada korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.

Menurut data Komnas Perempuan jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 sudah mencapai 4.179 kasus. Yang terbanyak adalah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), lalu pelecehan seksual dan pemerkosaan. Untuk KSBE mencapai 2.776 kasus dari angka tersebut ada 523 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan yaitu 2.153 kasus.

Legalisasi aborsi untuk korban perkosaan hanya akan menambah beban korban. Sudah menghadapi kehamilan dan menanggung malu. Korban akan mengalami trauma apabila mengambil jalan untuk mengaborsi janinnya. Apalagi dia akan menanggung beban hukuman karena menghilangkan nyawa si janin. Menjadikan si korban akan menanggung beban ganda.

Dengan banyaknya kasus pemerkosaan di negara ini menunjukkan bahwa negara tidak mampu memberikan jaminan keamanan bagi perempuan dan anak-anak, walaupun sudah ada UU TPKS. Seharusnya negara bisa mengupayakan pencegahan dan jaminan keamanan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Sekali lagi ditegaskan bahwa maraknya kasus perkosaan di negeri ini menjadikan krisis keamanan bagi kaum perempuan.

Kaum perempuan diberi kebebasan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari syariat Islam. Berbagai peluang untuk mendorong kebangkitan syahwat juga dibuka lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan kehadirannya bisa dan mudah untuk diakses melalui ponsel pintar milik tiap individu.

Sedangkan ruang-ruang pengajian yang mengantarkan ketakwaan malah dibubarkan, pengisi kajian dikriminalisasi. Itu semua demi tampilnya narasi liberal dan sekuler. Ditambah lagi keluarga tidak lagi memiliki profil sahih untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam yang disertai koridor keterikatan pada hukum syarak di antara seluruh anggota keluarga.

Dalam Islam pengguguran janin atau aborsi yang telah diberi ruh (nyawa) hukumnya adalah haram. Biasanya menggugurkan kandungan dengan meminum obat, gerakan-gerakan yang keras, tindakan medis baik dilakukan oleh ibu, ayah, maupun dokter. Dalam Islam, aborsi termasuk kepada tindakan kriminal yang mewajibkan adanya diat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diat ghurrah yaitu budak lelaki atau perempuan yang nilainya sepersepuluh diat membunuh manusia dewasa.

Allah Taala berfirman: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar." (QS. Al-Isra (17):31)

Dengan begitu, tidak bisa kita menjadikan aborsi sebagai solusi untuk kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini dilengkapi dengan sistem Islam juga sanksi hukum sebagai bagian dari penerapan syariat Islam kafah. Selain bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, bisa sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelaku di akhirat kelak.


Dalam Islam korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman apa pun. Penjelasan di atas jelas menunjukkan bahwa aktivitas aborsi bukan solusi yang hakiki bagi korban pemerkosaan. Sebab, tak menyentuh pada akar permasalahan. Dan penyelesaian permasalahan ini harus sistematis mulai dari akar hingga ke daunnya.

Sistem sanksi dan hukum Islam itu hanya akan tegak jika sistem pemerintahannya menerapkan syariat Islam kafah atas dasar manhaj kenabian, bukan atas dasar sekularisme yang menafikan aturan Allah Swt. dalam kehidupan. Wallahualam bissawab. [DW-Dara/MKC]