Legalisasi Aborsi Mengakibatkan Beban Ganda Korban Perkosaan
PP ini dianggap sebagai salah satu solusi bagi korban pemerkosaan
Namun sejatinya, tindakan aborsi menambah beban bagi korban, sebab ada risiko baru yakni hilangnya nyawa
_________________________________
Penulis Anis Nuraini
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. (tirto.id, 30/7/2024)
Korban kekerasan seksual atau pemerkosaan banyak mengalami kerugian tidak hanya fisik, tetapi dampak secara psikis. Korban pemerkosaan belum siap menerima kenyataan harus mengalami kehamilan, sehingga jalan satu-satunya dengan melakukan aborsi.
Lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang kebolehan aborsi bagi korban pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan. Sebagaimana tercantum dalam PP 28/2024. PP ini dianggap sebagai salah satu solusi bagi korban pemerkosaan. Namun sejatinya, tindakan aborsi justru menambah beban bagi korban, sebab ada risiko baru yakni hilangnya nyawa.
Hal penting yang harus diingat, bahwa aborsi menurut Islam hukumnya haram. Memang ada kondisi-kondisi khusus yang diperbolehkan, seperti kondisi darurat yang mengancam nyawa ibu atau janin, serta hal lain yang dibolehkan menurut syarak. Kebolehan tersebut tidak serta merta menjadi bebas sesuai kehendak sebagaimana terhadap korban pemerkosaan. Tindakan aborsi yang dilindungi dengan hadirnya Peraturan Pemerintah jelas bisa terindikasi melegalkan perzinaan dan implikasi dari perzinaan tersebut.
Jika cermati maraknya kasus pemerkosaan saat ini tiada lain adalah bukti lemahnya negara dalam melindungi rakyat. Negara tidak mampu memberi jaminan keamanan terhadap rakyat terutama bagi perempuan. Hal ini terbukti rendahnya tingkat keamanan hidup bagi perempuan. Perempuan selalu dijadikan objek sasaran pelampiasan dan korban kejahatan. Walaupun sudah ada UU TPKS, namun belum mampu menjadi perisai dan pelindung bagi perempuan.
Ibaratnya saat ini kita sedang menuai hasil dari diterapkannya sistem sekularisme liberal. Kebebasan dalam berprilaku dan pergaulan membuat masyarakat menjadi liar. Tidak ada batasan interaksi antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan yang ada justru difasilitasi, seperti momen valentine day, taman-taman kota yang justru menjadi tempat berkencan pasangan muda-mudi saat ini.
Oleh karena itu, agar kasus ini tidak merajalela, negara harus serius mengupayakan pencegahan dan jaminan keamanan bagi perempuan. Tiada lain dengan kembali kepada Islam dalam pengaturan interaksi.
Islam memiliki seperangkat aturan dalam interaksi yang berfungsi sebagai pencegahan bagi manusia, agar tidak terjerumus ke dalam jurang kehinaan. Adanya larangan ber-khalwat atau berdua-duaan lawan jenis yang bukan mahram, ada larangan dandan berlebihan atau tabararuj, bisa mencegah dari munculnya rangsangan naluri seksual bagi laki-laki. Islam juga mencegah tumbuhnya tempat-tempat yang mengarah terjadinya kemaksiatan. Seperti kegiatan valentine day, diskotik, pentas seni yang berbau pornografi dan pornoaksi, komunitas LGBT, dan lain-lain.
Ketika aturan Islam telah diterapkan dalam sistem pergaulan namun, masih ada terjadi pelanggaran maka akan dikenakan sanksi hukum yang tegas supaya memberi efek jera bagi pelaku. Rasulullah saw. telah memperingatkan umatnya supaya menjauhi perkara yang bisa mendatangkan zina.
Sebagaimana sabdanya Rasulullah: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali berdua-duaan dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad)
Islam memuliakan perempuan dengan memberikan jaminan keamanan atas perempuan untuk dilindungi keberadaannya, dijaga martabat dan kehormatannya, dipenuhi atas hak-haknya. Sebagai jaminan keamanan yang hakiki, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Sanksi-sanksi ini bersifat jawazir (pencegahan) agar kejahatan tidak merajalela dan bersifat jawabir (hukuman yang diberlakukan sesuai syariah) sebagai penebus dosa bagi pelakunya. Dalam arti kelak di akhirat pelaku kejahatan tidak akan dihisab lagi karena sudah disanksi di dunia.
Adapun sanksi Islam bagi pelaku pemerkosaan yang terkategori (muhsan) atau pelakunya sudah menikah, akan dirajam sampai mati. Adapun jika pelakunya (ghairu muhsan) atau belum menikah, akan dicambuk seratus kali atau diasingkan selama satu tahun.
Namun hal ini bisa dicegah dengan diterapkannya sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan akan melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Di mana pola pikir dan sikap akan menyesuailkan dengan Islam atau landasan perbuatannya halal-haram. Walhasil akan lahir jiwa muslim yang bertakwa, sehingga bisa mencegah terjadinya pergaulan bebas dan pemerkosaan.
Dengan aturan Islam yang sempurna ini, dijamin akan mampu mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Karena, negara hadir sebagai ra'in dan perisai. Negara hadir sebagai pelindung bagi seluruh rakyatnya, tak terkecuali perempuan. Alhasil tidak akan ada lagi perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Wallahuallam bissawab. [EA-Dara/MKC]