Meneroka Pilgub Jatim 2024 (6): Menantang Kotak Kosong, Bukan Lagi Kekuatan Meong
Analisis
Kalau tiada penantang akan dimunculkan calon lain yang tidak sepadan
Ini demi menutup rasa ‘ketidakkuasanya’ mengalahkan petahana. Politik akhirnya menjadi ajang gimmick
___________________
Penulis Hanif Kristianto
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Analis Politik dan Media
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Jika tiada pesaing bisa dipastikan pasangan Khofifah-Emil akan melenggang tanpa perlawanan. Publik menganggapnya menantang kotak kosong. Kondisi demikian bukan berarti partai lain diam. Justru sedang berkoalisi untuk menantang dan menghimpun kekuatan. PKB dan PDI-P masih menimbang untuk menjadi sang penantang. Ini bukan lagi kekuatan meong, tapi koalisi berbobot dengan kader yang tak asal comot.
Sayang, jika perhelatan Pilgub 2024 hanya melawan kotak kosong. Pasalnya, Jawa Timur menjadi barometer politik nasional. Setelah melihat Jakarta, pertempuran dan perebutan kekuasaan berasal dari sini. Tak ayal, cawapres terpilih, Gibran Rakabuming mencoba model pengelolaan makan siang di Jawa Timur. Belum lagi bicara soal ekonomi, iklim investasi, dan SDM-nya yang sering tampil di pentas pemerintahan pusat.
Persiapan menantang calon terkuat melalui pemanasan partai politik yang akan menjadi rival. Tak ingin melewatkan kesempatan mengantarkan kader dan calonnya. Partai rival menyusun koalisi dengan pemiihan kader terbaik. Bisa jadi akan menggaet calon yang latar belakang sama untuk mendongkrak suara.
Kesaktian Kotak Kosong
Istilah kotak kosong muncul karena opini umum yang memunculkan calon terkuat. Kekuatannya tentu dari dukungan partai politik, incumbent, serta sumber dana dan dukungan publik. Koalisi penantang sebenarnya sudah berhitung secara politik dan finansial. Namun kalau tidak menunjukkan penantangan, sama saja tidak punya kekuatan. Lagi-lagi, partai politik ada yang masih bimbang.
Kalau tiada penantang akan dimunculkan calon lain yang tidak sepadan. Ini demi menutup rasa ‘ketidakkuasanya’ mengalahkan petahana. Politik akhirnya menjadi ajang gimmick. Di balik itu semua, pembagian jabatan dan kekuasaan sudah dijajakan.
Berkaitan dengan penantangan kotak kosong bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, bicara kalkuasi politik tidak terlepas dari opini publik. Aspirasi rakyat yang terserap dan dukungan partai politik menjadi penentu pertama. Pasangan yang tak dikenal publik dan media bisa saja tak mendapat restu.
Kedua, harga diri partai politik tak ingin jatuh di mata rakyat. Pasalnya, kekuatan parpol yang menasional bahkan mampu mengantarkan kadernya, tak ingin dianggap remeh. Unjuk kekuatan ini menjadi bukti bahwa parpol masih berpengaruh untuk taktik politik di level daerah.
Ketiga, ambisius partai politik mengukuhkan dominasi di daerah. Bongkar pasang kolaisi kerap terjadi. Koalisi cair di daerah menjadikan partai lebih otonom. Garis kebijakan partai memang tegak lurus, tapi garis kepentingan bisa belok ke manapun dituju.
Keempat, tujuan partai politik dalam menantang kotak kosong sejatinya tidak mewakili suara rakyat. Khofifah-Emil ditengarai solid dan memiliki kepuasan tinggi bagi masyarakat Jawa Timur. Rakyat hanya menonton gemerlap elit politik rebutan kursi Jatim-1. Sebab, semua keputusan politik ada di tangan partai politik yang mengusung penantang nantinya.
Alhasil, partai politik yang akan menantang akan jor-joran membangun komunikasi politik dan marketingnya. Tujuannya untuk diterima rakyat dan berbalik untuk memenangkan penantang. Namanya politik semua bisa terjadi dan berubah. Dinamis kondisi di lapangan akan memunculkan kegaduhan baru dalam perebutan kursi kekuasaan.
Rakyat Melompong
Politik demokrasi yang liberal memosisikan rakyat sebagai pelengkap kehadiran pencoblosan. Memang berat untuk menantang incumbent, tapi disayangkan jika tanpa perlawanan. Jawa Timur yang dikenal dengan pintu gerbang IKN baru menjadikan posisi strategis bagi siapapun yang akan berkuasa ke depan.
Rakyat tidak memiliki kekuatan jika terdiam tanpa bergerak. Padahal rakyat pemilik kekuasaan sejati jika menyadari. Sayangnya, rakyat terus dibodohi dengan janji dan misi palsu demokrasi. ‘Perubahan’ seolah mantra untuk menarik suara. ‘Kesejahteraan’ jadi kata manis membuai cita-cita rakyat yang tinggi. Elit politik sendiri tidak serius mengurusi dan mengedukasi rakyat terkait politik.
Kalau rakyat sudah melompong pandangan hidup pun kosong. Kasihan nasib rakyat dalam politik demokrasi. Jargonnya tak seindah fakta kesusahan rakyat. Kebijakannya kadang tak memihak rakyat. Rakyat malah tersakiti hatinya dan tak terurus kehidupannya. Sudah saatnya rakyat untuk menyadai kondisi ini. Tidak boleh diam dan terus mencari solusi dalam kehidupan. Kembali kepada politik Islam adalah jalan keselamatan dan kemujuran. Wallahualam bissawab [Dara/MKC]