Alt Title

Minyak Kita, Sulit Menjadi Milik Kita

Minyak Kita, Sulit Menjadi Milik Kita

 


Dalam sistem ekonomi kapitalis, kestabilan minyak goreng dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat sulit diujudkan

Negara seolah tangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya

______________________________


Penulis Luth Balqist

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Akhir-akhir ini masyarakat resah dengan kenaikan harga minyak goreng merek MinyaKita. Harga Eceran Tertinggi yang awalnya Rp14.000 menjadi Rp15.700.


Dikutip dari tempo.com (20/7/2024), Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen lndonesia (YLKI), Tulus Abadi menganggap langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi tidak masuk akal. Tulus mengatakan bahwa lndonesia adalah eksportir minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng.


Saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 20 Juli 2024 dia mengatakan, "Tidak masuk akal, kita melimpah ruah CPO, tapi harga minyak goreng malah naik."


Dilihat dari laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit lndonesia (GAPKl), stok CPO pada bulan Januari 2024 sebesar 3,146 juta ton. Dikonsumsi dalam negeri sebanyak 1,942 ton, sementara ekspor 2,802 ton.


Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan memberikan alasan bahwa kenaikan harga minyak goreng rakyat harus menyesuaikan nilai rupiah yang sudah merosot hingga Rp16.344 karena dialah yang mengusulkan kenaikan HET.


Sementara Eliza Mardian dari Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) mengatakan, bahwa kenaikan HET MinyaKita disebabkan oleh masalah distribusi, karena minyak goreng rakyat diedarkan oleh swasta, alih-alih BUMN pangan.


Menurutnya harga CPO dunia dua bulan terakhir mengalami penurunan, begitu juga dengan CPO dalam negeri, berarti bahan dasar tidak mengalami kenaikan. Maka dia berasumsi bahwa kenaikan harga agar pedagang eceran mendapatkan untung yang memadai. Pasalnya, harga modal MinyaKita di pedagang besar sudah lebih dari Rp15.000.


Mahalnya MinyaKita sangat dirasakan oleh pedagang, konsumen, dan pelaku UMKM. Bagi konsumen rumah tangga, pengeluaran mereka akan bertambah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga kondisi ini sangat menyulitkan karena masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Bagi pedagang pelaku UMKM, mereka bisa kehilangan konsumen dan pendapatan menjadi menurun akibat makin tinggi modal dagang dan biaya produksi.


Kenaikan HET di tengah turunnya harga CPO membuktikan, bahwa ada kesalahan dalam tata kelola pangan di negeri ini. Negara menggunakan sistem ekonomi kapitalis dalam mengatur urusan negara dan rakyat.


Negara hanya berperan sebagai regulator, segala urusan pemenuhan kebutuhan pangan termasuk minyak goreng diserahkan kepada para kapital dari sektor produksi hingga distribusi. Negara seolah lepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya.


Tanpa adanya peran negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka swasta dengan orientasi bisnis, leluasa menguasai rantai produksi hingga distribusi.


Banyaknya lahan sawit yang dikuasai oleh swasta dengan izin yang semakin dipermudah oleh negara, membuktikan bahwa negara tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan rakyat akan minyak goreng. Banyak pabrik pengolahan minyak goreng menjadikan negara sangat bergantung pada swasta dalam hal pemenuhan stok minyak goreng dalam negeri.


Hal ini dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk mengendalikan harga pasar untuk mendapat keuntungan. Dalam hal ini, negara dianggap gagal memberantas pelaku kartel hingga penimbun di rantai distribusi. Sehingga menyebabkan harga minyak goreng semakin mahal.


Dalam sistem ekonomi kapitalis, kestabilan minyak goreng dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat sulit diwujudkan.


Berbeda dengan sistem lslam. Pemimpin dalam lslam adalah raa'in yang mengatur urusan rakyat dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Segala hajat hidup rakyat di bawah kendali pemerintah dengan prinsip pelayanan bukan keuntungan.


Minyak goreng adalah kebutuhan pangan yang harus disediakan oleh negara. Untuk itu, negara akan melakukan berbagai mekanisme untuk memenuhinya dan tidak diserahkan kepada swasta.


Pertama, menjaga pasokan dalam negeri dengan memberi support bagi para petani sawit dalam mengelola lahan. Melalui prinsip kepemilikan lahan dalam lslam, negara akan memudahkan petani sawit mendapatkan lahan, menyediakan sarana dan infrastruktur pertanian, serta modal.


Kedua, menciptakan pasar yang sehat untuk menjaga kestabilan harga serta mengawasi pendistribusian dan memberi sanksi tegas kepada para penimbun.


Ketiga, negara tidak menetapkan HET untuk produk pangan apa pun tetapi menyerahkan pada mekanisme pasar, namun tetap dalam pengawasan negara.


Keempat, negara membolehkan pihak swasta mendirikan perusahaan produksi minyak goreng, namun tidak boleh menguasai rantai produksi pangan.


Hanya dengan menerapkan sistem ekonomi lslam, harga minyak goreng akan stabil dengan harga yang murah. Negara yang menerapkan lslam secara kafah yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Wallahualam bissawab. [SM-SJ/MKC]