Alt Title

MinyaKita, Milik Siapa?

MinyaKita, Milik Siapa?

 


Kenaikan harga minyak goreng di Indonesia menjadi ironi

Padahal Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia

______________________________


Penulis Ida

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Alumni Farmasi UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau MinyaKita menjadi Rp15.700 per liter. (bisnis.tempo.co 21/74/24)


Kenaikan ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat. (liputan6.com 20/7/24)


Kemendag beralasan bahwa HET minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kenaikan HET MinyaKita juga dikabarkan mengikuti lonjakan harga bahan pokok lain, seperti beras.


Ekonom dan pakar kebijakan, Achmad Nur Hidayat menuturkan, kedua alasan kenaikan HET MinyaKita tersebut aneh. Mengingat Indonesia adalah salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia.


Menurut catatan Achmad, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,07 juta ton. Angka tersebut mengalami lonjakan sebesar 7,15 persen dibanding produksi pada tahun 2022 yang hanya sebesar 46,73 juta ton. 


Dengan produksi CPO yang melimpah, alasan kenaikan biaya produksi yang dikaitkan dengan harga internasional dan nilai tukar rupiah menjadi kurang tepat. Karena mayoritas bahan baku utama berasal dari dalam negeri.


Meskipun ada justifikasi ekonomi di balik kenaikan HET minyak goreng, Achmad menilai kebijakan ini tidak tepat waktu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang justru membutuhkan dukungan dan stimulus dalam mengatasi kelesuan ekonomi saat ini.


Buah Kebijakan Kapitalis

Kenaikan harga minyak goreng di Indonesia menjadi ironi, sebab Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Sebagai negara nomor satu penghasil minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi bahan baku produksi minyak goreng di dunia. Ternyata pemerintah tidak berdaya menahan laju kenaikan HET minyak goreng. Hal ini sangat disayangkan, karena bahan baku pembuat minyak goreng semuanya ada di dalam negeri.


Faktanya, dengan kontribusi sebesar 33,72% terhadap devisa negara, sektor kelapa sawit menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan pada Bulan Januari 2024. Hal ini merupakan capaian yang luar biasa, mengingat sebagian besar sektor industri non-migas mengalami penurunan. Dengan potensi yang luar biasa tersebut, bukankah menjadi tak masuk akal jika HET minyak goreng dalam negeri justru setinggi langit?


Inilah watak pemerintahan kapitalis. Dengan mudah mengotak-atik dan mengganti aturan atau kebijakan untuk kepentingan para pengusaha, mereka menetapkan aturan suka-suka. Buktinya, aturan HET MinyaKita dengan harga Rp14.000 per liter yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat masih bisa direvisi demi aturan HET yang baru.


Ketika ada kepentingan baru, maka akan dibuat aturan yang baru. Begitulah karakter kapitalis, berpedoman pada kepentingan tertentu yang dianggap lebih menguntungkan kalangan tertentu. Bukan untuk kepentingan dan maslahat rakyat.


Inilah yang sedang kita rasakan, karakter pemerintahan kapitalis yang selalu membebankan kerugian kepada rakyat. Tampak jelas pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan pengaruh nilai tukar rupiah. Dengan demikian pemerintah membebankan semua kerugian dari kemungkinan kenaikan harga produksi dan pengaruh nilai tukar rupiah kepada rakyat, dengan cara menaikkan HET minyak goreng.


Ciri pemerintah kapitalis lainnya, mereka absen dalam tata kelola sawit. Baik dalam aspek produksi maupun distribusi. Negara malah membuka pintu selebar-lebarnya kepada swasta untuk melakukan kelola dan distribusi kelapa sawit. 


Sejatinya Indonesia memiliki lahan yang sangat luas dan produksi kelapa sawit terbesar. Namun ternyata, negara hanya menguasai sekitar 4 persen saja dari perkebunan kelapa sawit ini. Sisanya yakni 55 persen dikuasai oleh swasta dan 41 persen dikuasai oleh rakyat (Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan, Kementerian Pertanian 2018).


Perlu diketahui 41 persen perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh petani atau rakyat ini seyogyanya 41 persen lahan tersebut adalah dimiliki jutaan petani. Berbeda dengan 55 persen sisanya yang hanya dimiliki oleh puluhan perkebunan besar swasta.


Hal ini juga menunjukkan bahwa, petani sawit negeri ini masih belum sejahtera. Petani mandiri masih memperoleh harga jual produksi sawit yang tidak layak dan masih bermasalah dengan konflik, serta pelayanan dalam kemitraan yang tidak jelas. (kompasiana.com)


Pengaturan Islam

Islam adalah agama yang diturunkan Allah Swt.. Allah berfirman, "Dan Kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri." (TQS An-Nahl: 89)


Ayat di atas menjelaskan bahwa, agama Islam telah mengatur kehidupan manusia dari A sampai Z, termasuk mengatur masalah politik. 


Sistem politik Islam telah mengatur bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi regulator dan fasilitator. Dengan demikian, dalam hal pengelolaan lahan pertanian termasuk sawit, pemerintah wajib bertanggung jawab secara penuh dalam tata kelola produksi, distribusi, hingga konsumsi.


Ketika pemerintah sadar dirinya sebagai raa'in atau penanggungjawab urusan rakyat, maka produksi akan memprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri. Baik untuk konsumsi harian maupun cadangan. Ketika ada kelebihan baru dimungkinkan untuk ekspor. 


Negara yang berlandaskan politik Islam akan menjamin rantai distribusi yang steril dari berbagai praktik distorsi seperti penimbunan, kartel, penipuan, dan sebagainya.


Negara yang berlandaskan politik Islam juga akan menetapkan kebijakan bahwa, segala hal yang ditetapkan syariat sebagai kepemilikan umum seperti: air, api (segala jenis tambang), dan padang rumput (hutan) akan dikelola oleh negara.


Dengan demikian, tidak akan dibiarkan kepemilikan umum ini dimiliki oleh individu maupun perusahaan. Berbeda halnya dengan sistem kapitalis sekuler saat ini, yang telah menyulap lahan hutan menjadi perkebunan sawit secara ugal-ugalan.


Masihkah kita ingin diatur dengan sistem sekuler kapitalis ini, yang makin jelas kerusakannya? Atau mau memperjuangkan sistem Islam untuk tegak kedua kalinya? Wallahualam bissawab. [EA-SJ/MKC]