Pariwisata sebagai Sarana Dakwah dalam Islam
Opini
Dalam Islam pariwisata bukan sektor utama dan tidak boleh bersifat eksploitatif serta merusak lingkungan
Islam menjadikan pemasukan negara yang utama dan tetap berasal dari kepemilikan umum seperti sumber daya alam yang melimpah
_________________________
Penulis Iis Siti Nurasipah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com OPINI - Padatnya aktivitas yang dilakukan masyarakat seperti pekerja industri, karyawan pabrik, guru, bahkan ibu rumah tangga sekalipun akan dihadapkan pada kepenatan dan kelelahan secara fisik. Maka, berwisata memberi kesempatan bagi jiwa manusia untuk menenangkan diri, menghilangkan stres, dan bersiap menghadapi tugas-tugas hidup selanjutnya. Agar wisata ini makin menarik dan banyak pengunjung yang datang, sejumlah sarana penunjang dan beragam program ditawarkan pengelola wisata termasuk dari DPRD Provinsi Jawa Barat.
Dilansir dari Tribunjabar.id (23/07/2024), Anggota DPRD Tia Fitriani dan Jajang Rohana Provinsi Jawa Barat memberikan sorotan terkait potensi penunjang sektor pariwisata di Kabupaten Bandung yang beberapa tahun ini sudah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat.
Tia Fitriani dan Jajang Rohana, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat mengatakan untuk menunjang pengembangan dan memiliki daya tarik pariwisata Kabupaten Bandung, diperlukan adanya pusat perbelanjaan yang mempunyai ciri khas dan aspek muatan lokal serta sebagai wadah UMKM. Adanya koneksivitas menuju daerah wisata serta perlu ada sekolah kepariwisataan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas.
Selama lima tahun terakhir ini, perkembangan pariwisata di Kabupaten Bandung maju pesat. Merujuk pada data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bandung, terdapat peningkatan yang signifikan dari 2020 sampai dengan akhir 2022 sekitar 300%.
Tercatat pada 2020, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bandung sebesar 2.072.697, sedangkan pada 2021 mencapai 3.880.600. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan tampak terlihat sampai akhir 2022. Pada tahun tersebut Kabupaten Bandung menerima 6.550.563 wisatawan yang terdiri dari 6.548.815 wisatawan domestik serta 1.748 wisatawan mancanegara.
Melesatnya pariwisata di Kabupaten Bandung ini dianggap menjadi andalan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung. Sehingga pemerintah memandang perlu adanya penambahan fasilitas penunjang, dengan harapan dapat membantu meningkatkan pendapatan UMKM.
Namun, yang kadang luput dari perhatian pemerintah adalah dampak negatif yang ditimbulkan ketika keran wisata ini dibuka, seperti: Pertama, kerusakan lingkungan yang disebabkan alih fungsi lahan, yang akhirnya mengakibatkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Sehingga ketika hujan besar, terjadi banjir dan longsor.
Kedua, terjadi pengokohan liberalisasi, hedonisme, dan konsumerisme yang tidak kalah bahayanya bagi generasi. Interaksi wisatawan dengan penduduk lokal akan mempengaruhi budaya sosial masyarakat yang ada. Seperti gaya berpakaian, gaya rambut, gaya bergaul antara laki-laki dan perempuan, serta bebasnya miras di tengah masyarakat. Sehingga akan menambah masalah baru yaitu penyakit sosial.
Kebebasan akan merusak nilai-nilai mulia yang dimiliki Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Akhirnya, akan tumbuh subur budaya hedonisme yang merupakan faktor penting dalam keputusan wisatawan untuk mengunjungi destinasi wisata.
Hedonisme sebagai aspek kepuasan yang diperoleh dari pengalaman wisata yang memberikan kesenangan atau kebahagiaan. Sehingga niat berkunjung kembali menunjukkan seberapa besar kemungkinan wisatawan untuk kembali ke destinasi yang pernah mereka kunjungi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara unsur hedonisme dan niat berkunjung kembali dengan efek mediasi dari Memorable Tourism Experience (MTE).
MTE adalah pengalaman pariwisata yang dihasilkan dari interaksi antara wisatawan dengan lingkungan, budaya, dan masyarakat lokal saat mengunjungi destinasi wisata. MTE terbentuk dari pengalaman yang dialami oleh wisatawan dan mempengaruhi persepsi mereka terhadap destinasi.
Dalam industri pariwisata, destinasi yang memperhatikan unsur hedonisme dapat meningkatkan kepuasan wisatawan serta mempengaruhi niat berkunjung kembali wisatawan. Oleh karena itu, untuk menciptakan kepuasan tersebut penyediaan minuman keras, wanita penghibur dan makanan yang tidak halal akan disediakan oleh pengelola wisata yang tentunya setelah diizinkan Pemda (Pemerintah Daerah) setempat.
Makin tinggi gaya hidup hedonis, maka semakin tinggi pula perilaku konsumtifnya. Budaya konsumtif dan hedonistik bukan terjadi dengan sendirinya. Melainkan lahir dari pemahaman sekuler-kapitalisme yang memisahkan agama dari landasan kehidupan demi capaian materi. Sehingga menjadikan kebebasan sebagai asas dalam bertingkah laku semisal perilaku konsumtif dan hedonis menjadi sesuatu yang niscaya.
Sistem ekonomi kapitalisme menetapkan sektor pariwisata sebagai bisnis dan sumber pendapatan. Segala cara akan dilakukan demi keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Meski harus menolerir berbagai praktik kemaksiatan dan dampak buruk timbulnya kerusakan iklim serta konflik di tengah masyarakat akibat pembukaan lahan bagi usaha lain penunjang pariwisata.
Berbeda dalam Islam. Pariwisata bukan sektor utama dan tidak boleh bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan. Islam menjadikan pemasukan negara yang utama dan tetap berasal dari kepemilikan umum seperti sumber daya alam yang melimpah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Islam mempunyai konsep yang jelas bagaimana pengaturan sektor pariwisata. Merujuk artikel yang ditulis K.H. Hafidz Abdurrahman berjudul "Kebijakan Negara di Bidang Pariwisata". Ada beberapa konsep dalam mengelola pariwisata, yaitu Pertama, negara adalah negara dakwah. Artinya, negara menerapkan seluruh syari'at Islam di dalam dan ke luar negeri. Negara menegakkan kemakrufan dan mencegah segala bentuk kemungkaran juga kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, bagi wisatawan muslim, objek wisata ini akan memperkokoh keyakinan mereka kepada Allah, Islam, dan peradabannya. Sementara, bagi wisatawan nonmuslim objek wisata tersebut bisa sebagai sarana menanamkan keyakinan mereka akan Maha Besarnya Allah serta menunjukkan kemuliaan dan keagungan Islam, juga peradabannya.
Ketiga, objek wisata yang merupakan peninggalan peradaban lain di luar Islam. Negara menetapkan dua hal: (a) Apabila berbentuk tempat ibadah nonmuslim, jika masih digunakan, maka akan dibiarkan, tanpa ada renovasi atas apabila mengalami kerusakan. Jika sudah tidak digunakan akan ditutup dan dihancurkan; (b) Jika bukan berwujud peribadatan, negara akan menutup, menghancurkan, dan mengubahnya agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Keempat, sektor pariwisata bukan sumber devisa. Karena, negara memiliki sumber pemasukan yang berasal dari harta ghanimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, hasil tambang, dan lainnya.
Kelima, negara mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Berarti negara lebih memprioritaskan segala kebutuhan pokok masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, muamalah dan keamanan, tidak terkecuali kenyamanan bagi warga negaranya.
Keenam, warga negara asing boleh memasuki wilayah ruang negara dengan izin masuk, seperti kafir mu’ahid dan kafir musta’min. Namun untuk kafir harbi fi’lan, negara melarang memasuki wilayahnya.
Ketujuh, negara menerapkan sistem sanksi Islam pada siapa pun tanpa pandang bulu, baik muslim maupun nonmuslim.
Begitulah Islam, pariwisata akan diadakan sewajarnya karena bukan termasuk pendapatan utama negara. Islam akan fokus pada pendapatan tetap yang riil sehingga masyarakat akan tetap sejahtera tanpa harus mengeksploitasi lingkungan serta menggadaikan pemahaman Islam. Wallahualam bissawab. [DW-Dara/MKC]