Alt Title

Pendapatan Pajak Meningkat, Membanggakan atau Menyedihkan?

Pendapatan Pajak Meningkat, Membanggakan atau Menyedihkan?

 


Peningkatan perolehan pos pajak bukanlah pencapaian yang membanggakan

Justru pencapaian ini amatlah menyedihkan

______________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - "Orang Bijak Taat Pajak", "Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya", "Pajak Menyatukan Hati, Membangun Negeri", "Bangga Bayar Pajak".


Begitulah slogan-slogan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk memotivasi masyarakat membayar pajak. Namun di sisi lain, juga terdapat faktor yang bersifat memaksa. Salah satunya dikenai denda jika terlambat membayar. Pemerintah juga selalu mencari celah sesuatu yang bisa dikenai pajak. Alhasil pendapatan pajak meningkat.


Untuk itu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memamerkan penerimaan pajak di setiap tahunnya yang selalu mengalami peningkatan. Bendahara negara ini merinci, bahwa di tahun 1983 penerimaan pajak masih berkisar Rp13 triliun. Pada tahun 1999, saat memasuki era reformasi, penerimaan pajak meningkat menjadi Rp400 triliun. Sementara pada tahun 2024 pendapatan pajak ditargetkan mencapai Rp1.988,9 triliun. (liputan6.com, 14/07/2024)


Pajak Urat Nadi Ekonomi Kapitalisme 

Bagi negara penganut sistem kapitalis sebagaimana negeri ini, tidak dimungkiri bahwa pajak dijadikan sumber untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Kemampuan suatu negara dalam mewujudkan cita-cita dalam rangka menyejahterakan rakyatnya ditentukan besaran pajak diperoleh. 


Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah berusaha untuk menggenjot pendapatan pajak agar terus mengalami peningkatan. Hal ini dilakukan dengan cara mencari setiap celah yang dapat dikenai pajak. Oleh karena itu, pendapatan pajak mengalami peningkatan cukup pesat. Meski menurut Sri Mulyani bahwa besaran pajak harus melewati berbagai kondisi ekonomi yang naik turun.


Memang ada sumber penerimaan lain selain pajak. Namun tak dapat dimungkiri bahwa jumlah pos penerimaan pajak selalu lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah yang diperoleh dari pendapatan non pajak.


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) anggaran 2023 secara nasional tahun mencapai Rp605,9 triliun (137,3% dari APBN 2023 atau 117,5% dari Perpres 75/2023), meningkat 1,7% dibandingkan realisasi tahun 2022. Sementara penerimaan pajak pada tahun 2024 targetnya telah mencapai Rp1.988,9 triliun.


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun anggaran 2023 secara nasional mencapai Rp605,9 triliun (137,3% dari APBN 2023 atau 117,5% dari Perpres 75/2023), meningkat 1,7% dibandingkan realisasi tahun 2022. Sementara penerimaan pajak pada tahun 2024 targetnya telah mencapai Rp1.988,9 triliun.


Hal ini merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pajak merupakan urat nadi dalam perekonomian kapitalisme. Padahal, selain pajak, sebenarnya banyak yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Seperti kekayaan alam yang sangat melimpah yang terkandung dalam perut bumi negeri ini. Jika dikelola dengan baik, hal tersebut bisa menghasilkan perolehan yang jauh lebih besar dari pajak.


Sayangnya negeri tidak menempuh kebijakan ini. Justru sumber-sumber yang dapat menghasilkan pendapatan melimpah tersebut, mayoritas diserahkan pada oligarki. Hal ini wajar terjadi, sebab sistem yang ada menyebabkan penguasanya berperan sebagai jibaya (pemalak) bukan peri'ayah (melayani). 


Mirisnya lagi, hasil pungutan yang memeras uang rakyat ini, tidak serta merta dapat digunakan untuk merealisasikan layanan untuk kesejahteraan rakyat. Sebab berbagai kasus korupsi adakalanya menjadi batu sandungan yang kerap terjadi. Juga berbagai regulasi yang digulirkan juga menjadikan rakyat terbebani oleh pembayaran pajak yang makin bervariasi.


Belanja APBN yang Tidak Pro Rakyat 

APBN yang sebagian besar menggunakan pajak sejatinya menjelaskan bahwa pembiayaan layanan masyarakat menggunakan uang rakyat. Namun kebijakan pembelanjaan tidak selalu pro rakyat. 


Kenyataan ini dapat dilihat dari pembelanjaan subsidi yang seharusnya menjadi fokus bagi kesejahteraan rakyat, justru secara perlahan namun pasti akan dicabut. Memang inilah tabiat yang dimilki sistem kapitalis.


Mari perhatikan pembelanjaan subsidi pada tahun 2022, 2023 dan 2024. Pada tahun 2022 pembelanjaan subsidi mencapai Rp252,8 triliun. Pada tahun 2023, mengalami kenaikan sebesar Rp269,6 triliun. Meski mengalami peningkatan jumlah subsidi sebesar 6,85% dibandingkan tahun lalu, namun jumlah subsidi BBM dan LPG 3 kg mencapai Rp95,6 triliun atau turun sebesar 17,3%. 


Alasan penurunan subsidi energi adalah transformasi subsidi agar lebih tepat sasaran. Dana subsidi dialihkan pada pemberian kompensasi atas kenaikan BBM, penyaluran bansos, dan lainnya. Apakah hal ini tidak terbalik? Justru non energi yang kerap kali salah sasaran? 


Selanjutnya, bandingkan pembelanjaan subsidi pada tahun 2024. Pemerintah telah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun, dengan rincian Rp113,3 triliun untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG, serta Rp73,6 triliun untuk subsidi listrik. 


Subsidi pada tahun 2024 yang digelontorkan pemerintah, ternyata mengalami penurunan. Hal ini mengonfirmasi bahwa tabiat kapitalisme yang sedikit demi sedikit melepaskan tanggung jawab kepada rakyatnya menjadi semakin nyata. 


Di sisi lain, setiap tahun rata-rata seperempat keuangan negara dialokasikan untuk membayar  pokok utang beserta bunga. Pada April 2024 posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tercatat senilai 398,3 miliar dolar AS. 


Walhasil, selain tidak pro rakyat, pengeluaran APBN juga dihabiskan untuk membayar utang. Artinya, pajak yang ditarik dari rakyat ternyata sebagian besarnya dipakai untuk membayar utang dan bunganya yang tentu saja sangat menguntungkan pihak asing. Mengharapkan kesejahteraan dalam sistem hari ini ibarat mimpi.


Sejahtera Tanpa Pajak

Paparan fakta sebelumnya menjelaskan bahwa peningkatan perolehan pos pajak bukanlah pencapaian yang membanggakan. Justru hal ini amatlah menyedihkan. Sebab hal ini menunjukkan bahwa pemerintah adalah raja tega yang sanggup memeras keringat rakyat meski keringatnya telah mengering. 


Padahal kekayaan yang tersimpan di kedalaman bumi pertiwi amat mencengangkan. Salah satu tambang emas yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia. Pendapatan yang tercatat, senilai US$8,43 miliar atau setara Rp130,15 triliun (asumsi kurs Jisdor BI per 29 Desember 2023 Rp15.439 per USD) di sepanjang 2023. Capaian ini naik tipis 0,11% dibandingkan 2022 yang senilai US$8,42. 


Sementara pada tahun 2024 Setidaknya, PTFI menyusun rencana dan mengincar target produksi 1,7 miliar pon tembaga dan 1,9 juta ons emas. Sungguh luar biasa. Ini hanya satu  tambang dari ribuan tambang yang ada. Maka dapat dibayangkan pemasukan dari pos non pajak melampaui pos pajak. Namun kenyataan itu tidak dapat ditemukan di negeri ini, yang notabene menerapkan kapitalisme.


Situasinya sangat berbanding terbalik dengan penerapan sistem Islam. Syaikh Taqiyuddin an-Nahbani dalam kitabnya berjudul "An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm" menjelaskan, sumber-sumber penerimaan negara Islam yang bersifat tetap bisa diperoleh dari harta fa'i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara; ‘usyr; khumus rikâz; barang tambang; dan zakat.


Dengan seluruh sumber kekayaan negara tersebut pada dasarnya negara mampu membiayai dirinya dalam rangka menyejahterakan rakyatnya. Dengan demikian sesungguhnya dalam kondisi normal, pajak (dharibah) tidak dibutuhkan. 


Dalam negara Islam, pajak hanya dipungut dalam kondisi tertentu. Yakni dalam kondisi keuangan negara sedang mengalami defisit. Pungutan pajak hanya untuk orang kaya saja. Pajak bukanlah pungutan rutin yang berlaku untuk umum. Apalagi menjadi sumber utama pendapatan negara.


Hal ini tentu mudah dipahami, sebab begitu melimpahnya penerimaan negara. Jika kekayaan yang melimpah ruah yang dimiliki negeri ini, dikelola dengan pengelolaan sesuai syariat bukan tidak mungkin, lebih dari cukup menjadikan rakyat sejahtera


Namun sayang negeri ini tak mau beranjak dari pengelolaan ala kapitalis. Salah satunya bukan sekadar menyerahkan pengelolaannya, tetapi juga menyerahkan kepemilikan kepada pihak lain dengan mekanisme privatisasi (penjualan kepada swasta/asing) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Ini jelas bertentangan dengan pandangan syariat Islam yang menyatakan bahwa SDA yang jumlahnya tak terbatas termasuk milik umum.


SDA negeri ini yang banyak dikuasai swasta/asing, mengakibatkan sebagian besar hasilnya dinikmati oleh mereka. Pemerintah hanya mendapat sedikit royalti plus deviden dan pajaknya yang jumlahnya sangat kecil.


Secuil gambaran di atas, makin penting mengatur negara ini dengan syariat Islam, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan keuangan negara. Hal penting yang harus dilakukan kaum muslim saat ini adalah segera mewujudkan institusi penegaknya, yakni Daulah Islam, yang merupakan institusi satu-satunya yang mampu menegakkan syariat Islam di tengah-tengah manusia. 


Penegakkan syariat merupakan wujud ketakwaan kita kepada Allah Swt.. Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud hanya dengan ketakwaan kepada-Nya. Kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya, dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallahualam bissawab. [DW-SJ/MKC]