Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Anak Sekolah dan Remaja, Wajib Ditolak!
OpiniPenyediaan alat kontrasepsi tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur, dan menjunjung tinggi norma agama
Hal ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar
______________________________
Penulis Ummu Rufaida ALB
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Darah muda darahnya para remaja
Selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah
Masa muda masa yang berapi-api
Maunya menang sendiri, walau salah tak peduli, darah muda
Biasanya para remaja berpikirnya sekali saja, tanpa menghiraukan akibatnya
Wahai kawan para remaja waspadalah dalam melangkah agar tak menyesal akhirnya
Sepenggal lirik lagu Darah Muda, yang dinyanyikan Rhoma Irama tersebut, menggambarkan karakter remaja yang gagah, punya pendirian kokoh, penuh semangat, pantang menyerah, egois, reaktif, tetapi cenderung belum berpikir matang.
Masa remaja tentu akan dilalui dengan penuh sukacita. Sebab, ini merupakan sebuah momen kehidupan yang tidak akan pernah berulang. Di fase ini remaja harus mendapat banyak perhatian serta dukungan, baik dari orang tua, guru di sekolah, lingkungan masyarakat, dan penguasa agar mereka mampu mewujudkan cita-cita bangsa.
Kini, harapan tersebut hanya sebuah ilusi. Mengingat Presiden Joko Widodo, resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja.
Dalam Pasal 103 PP yang ditandatangani pada Jumat, 26 Juli 2024 lalu, disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Untuk pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Di antaranya menjaga kesehatan alat reproduksi, perilaku seksual berisiko, dan akibatnya, keluarga berencana (KB), melindungi diri, dan mampu menolak hubungan seksual, serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
Sementara, pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa, dan remaja paling sedikit terdiri dari, deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi. (Tempo.co, 1/8/2024)
Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin menjelaskan, pengesahan aturan pelaksana UU Kesehatan ini, menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia.
“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi, dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujarnya. (Kemenkes.go.id, 30/7/2024)
Aturan ini mendapat kecaman serta kontroversi di semua kalangan. Salah satunya Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Menurutnya, penyediaan alat kontrasepsi tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur, dan menjunjung tinggi norma agama. Hal ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar.
“Alih-alih menyosialisasi risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?" ujarnya. (Mediaindonesia, 4/8/2024)
Benar, alih-alih memberikan edukasi terkait kesehatan reproduksi. Kebijakan ini justru dinilai memfasilitasi anak remaja untuk melakukan seks bebas. Bukankah satu-satunya cara mengatasi persoalan seks bebas di kalangan remaja, adalah menghentikan aktivitas seks bebas (zina) yang mereka lakukan? Bukan dengan memberikan fasilitas berupa alat kontrasepsi, agar terhindar dari berbagai penyakit kelamin menular. Padahal alat kontrasepsi merupakan alat penunda terjadinya kehamilan, bukan untuk mencegah penularan penyakit.
Pemerintah berharap, kebijakan ini bisa membuat seks bebas menjadi “aman” secara kesehatan, tanpa mempertimbangkan risiko besar yang akan membudaya di kalangan remaja. Jika selama ini pembelian alat kontrasepsi seolah sembunyi-sembunyi. Tentu dengan lahirnya PP ini, mereka akan dengan mudah mendapatnya, bahkan dengan legalisasi dari negara. Sejatinya, akar masalahnya adalah perilaku seks bebas atau zina. Seharusnya pemerintah bisa membuat kebijakan yang dengan tegas melarang seks bebas, dan memberi sanksi pada siapa pun pelakunya.
Indonesia dengan mayoritas warganya beragama Islam, nyatanya tidak juga terbebas dari arus pergaulan bebas layaknya negara-negara Barat. Apakah pemerintah kita tidak tahu haramnya perbuatan zina, serta sanksi yang diberikan dalam syariat Islam? Semua ini tentu tergantung pada paradigma berpikir pemerintah yang kental dengan sekularisme liberal.
Harus disadari bahwa negara kita mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Sekularisme merupakan sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Ideologi ini melahirkan sebuah konsep kebebasan, salah satunya kebebasan berperilaku dengan prinsip “my body my authority.” Alhasil menjadi hal yang wajar, kini seks bebas dianggap sebagai sebuah kebebasan yang harus dilindungi negara. Akibatnya generasi muda banyak yang terjerumus pada lingkaran setan pergaulan, terjangkit penyakit kelamin, dan tentu bangsa ini akan kehilangan aset berharga.
Zina adalah perbuatan keji dan jalan terburuk. Jika kebijakan ini dibiarkan, tentu pergaulan remaja akan semakin liar dan akan mengundang azab Allah Taala. Padahal mendekati zina saja Allah sudah melarang dengan tegas, apalagi melakukannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:
"Jika zina, dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah." (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani)
Hadis ini menjelaskan jika zina dan riba sudah menyebar di tengah masyarakat akan mengundang turunnya azab Allah. Keberkahan akan dicabut, keburukan, dan kerusakan akan mendera masyarakat, jika tidak ada upaya pencegahan penyebaran, dan menghilangkan zina dari kehidupan masyarakat.
Terbukti juga apa yang Baginda Nabi Muhammad saw. pernah sampaikan: "Apabila perzinaan (pelacuran dan seks bebas) sudah meluas di masyarakat, dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa), maka infeksi, dan penyakit mematikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman nenek moyangnya akan menyebar di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam pandangan Islam, perzinaan merupakan perbuatan haram. Sanksi bagi pelaku zina yang sudah menikah adalah dirajam hingga mati, sedangkan bagi yang belum menikah dicambuk 100x, dan diasingkan ke tempat lain. Hukuman ini ditegakkan, agar membuat efek jera pelaku, dan tidak akan ada orang yang melakukannya lagi.
Selain itu, berdosa bagi siapa pun yang memfasilitasi seks bebas dengan memberi alat kontrasepsi, baik pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, guru, dokter, perawat, atau petugas kesehatan yang terlibat. Sanksi ini hanya akan terwujud dalam sebuah negara yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan sistem pemerintahannya, bukan dalam sistem demokrasi yang bertentangan dengan akidah Islam. Wallahualam bissawab. [SH-Dara/MKC]