Peran Negara dalam Menjamin Kehalalan, dan Keamanan Pangan
Opini
Pengetahuan tentang pola hidup sehat dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, dan perguruan tinggi.
Namun, edukasi saja tidak cukup, negara juga harus bertanggung jawab memberikan akses kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan bergizi
_____________________________________________
Penulis Nurul Aini Najibah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belakangan ini, ramai isu tentang meningkatnya kasus gagal ginjal pada anak. Namun, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim Basarah Yanuarso, menekankan bahwa tidak ada laporan peningkatan kasus gagal ginjal pada anak-anak.
Piprim menyampaikan hal ini sebagai tanggapan terhadap maraknya isu mengenai banyaknya anak yang menjalani terapi cuci darah di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Ia juga menjelaskan, bahwa tidak ada laporan lonjakan signifikan kasus gagal ginjal seperti tahun lalu, ketika terjadi kasus keracunan EG, dan DEG pada obat.
Sejalan dengan Piprim, Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Eka Laksmi Hidayati, menyebutkan bahwa pola hidup tidak sehat merupakan penyebab utama gagal ginjal. Selain itu, ada berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena gagal ginjal. Salah satunya adalah kebiasaan mengonsumsi makanan, dan minuman kemasan yang tinggi gula. (cnnindonesia.com, 26/07/2024)
Meski, tak ada lonjakan anak penderita gagal ginjal yang berujung cuci darah, keberadaan kasus ini perlu menjadi perhatian. Karena, sebagian kasus erat kaitannya dengan pola konsumsi yang salah, atau tidak sehat, dan ini yang mendominasi faktor penyebab gagal ginjal. Namun, faktanya saat ini banyak produk industri makanan, dan minuman di Indonesia, mengandung gula yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam angka kecukupan gizi.
Sejatinya, ketika jumlah penderita gagal ginjal meningkat pesat. Terutama di kalangan anak-anak seperti yang terjadi saat ini. Seharusnya, kasus ini tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi merupakan masalah sistemik. Oleh karena itu, negara seharusnya bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat, tentang pola hidup sehat. Negara harus bertindak sebagai penanggung jawab untuk memastikan pemenuhan kebutuhan, dan kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam menjamin kesehatan mereka.
Selain itu, negara wajib menyediakan sistem informasi yang memadai. Terkait makanan sehat, dan gizi seimbang bagi masyarakat. Negara bisa memanfaatkan aparatur negara untuk memberikan pengetahuan yang memadai kepada rakyatnya.
Pengetahuan tentang pola hidup sehat dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, dan perguruan tinggi. Namun, edukasi saja tidak cukup, negara juga harus bertanggung jawab memberikan akses kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan bergizi. Karena, kemiskinan yang menjadi penyebab mengapa masyarakat tidak dapat mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang.
Di sisi lain, dengan diterapkannya sistem kapitalisme yang berfokus hanya pada keuntungan materi saja. Alhasil, menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kesehatan. Sistem ini menyebabkan industri makanan skala menengah, dan besar mengabaikan standar kesehatan demi meraih keuntungan besar.
Paradigma kapitalis hanya berfokus pada keuntungan yang maksimal, dengan modal minimal. Telah mengabaikan pertimbangan halal, haram, atau kebaikan produk. Target utamanya adalah memenuhi permintaan pasar. Jika banyak yang menginginkan, produksi akan dilakukan secara besar-besaran. Namun, ketika ada yang sakit, mereka tidak menjamin akses kesehatan karena sistem kesehatan dijadikan sebagai bisnis. Kapitalisasi layanan kesehatan membuat kesehatan seseorang bergantung pada kemampuan finansialnya.
Sungguh, hal ini wajar dalam kehidupan yang diatur oleh sistem kapitalisme. Di mana uang menjadi tujuan utama dari proses produksi. Akibatnya, mengabaikan aspek kesehatan, dan keamanan pangan untuk anak, sehingga tidak sesuai dengan konsep makanan halal, dan tayib. Negara telah lalai dalam menentukan standar keamanan pangan, dan memberikan jaminan keberadaan makanan yang aman bagi tubuh. Segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan akan diperdagangkan, termasuk jaminan halal.
Seharusnya, jaminan seperti ini adalah tanggung jawab negara, bukan transaksi dengan rakyat. Sama halnya dengan sektor lain, seperti jaminan kesehatan melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Pada akhirnya, baik jaminan halal, kesehatan, maupun pendidikan, tidak ada yang benar-benar gratis. Semua itu berakhir dengan negara yang berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Hubungan antara rakyat, dan negara hanya sebagai regulator, dan fasilitator.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, sistem ini sangat memperhatikan makanan, dan minuman yang dikonsumsi. Selain itu, Islam juga menghindari makanan, dan minuman yang diragukan kehalalannya, dengan lebih fokus pada orientasi hukum syarak. Itu berarti terjaga dalam aspek kebersihan, kesehatan, kandungan gizi, dan faktor lainnya.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 168 : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Oleh karena itu, baik minuman, dan makanan hasil produksi yang akan dipergunakan untuk kebutuhan umat harus berstatus halal sehingga aman dikonsumsi. Dan tugas negara yang memantau peredarannya di pasaran. Islam memiliki mekanisme untuk melindungi umat dari makanan haram, yaitu:
Pertama, dengan membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi, dan mengonsumsi produk halal. Negara akan menanamkan pemahaman kepada kaum muslim bahwa sifat, dan karakter seorang muslim hanya mengonsumsi barang, atau makanan yang halal, dan tayib, sebagai wujud keimanan kepada Allah Taala.
Kedua, dengan menetapkan regulasi, serta melakukan pengawasan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan. Partisipasi masyarakat juga sangat penting untuk membantu mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar.
Ketiga, negara harus mengambil peran sentral dalam mengawasi mutu, dan kehalalan makanan. Seorang muslim yang sengaja mengonsumsi makanan haram akan mendapat sanksi sesuai dengan ketentuan syariat. Negara akan mengontrol industri agar memenuhi ketentuan Islam tersebut.
Untuk itu mereka akan menyediakan tenaga ahli, melakukan pengawasan, dan sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar aturan. Negara akan melakukan edukasi atas makanan halal, dan tayib. Melalui berbagai mekanisme dengan berbagai sarana untuk mewujudkan kesadaran pangan yang halal, dan tayib.
Demikianlah, bentuk pelayanan negara dalam menjalankan sistem, dan tata kelola keamanan pangan. Dengan penerapan hukum Islam secara menyeluruh, negara akan menjamin bahwa semua makanan yang beredar sudah pasti halal. Sehingga umat tidak lagi memerlukan sertifikasi halal.
Namun, kebijakan semacam ini tidak akan berjalan dalam sistem kapitalisme. Semua itu hanya dapat terwujud jika sistem Islam diterapkan secara sempurna. Wallahuallam bissawab. [SH - Dara/MKC]