Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Membawa Petaka bagi Masyarakat
OpiniDalam pandangan Islam, bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya adalah milik umum dan dikelola oleh negara
Tidak seorang pun berhak menguasainya atau bahkan memilikinya secara pribadi
_________________________
Penulis Mega Silvia S.H, M.H
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Praktisi Hukum dan Pendidikan
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Maraknya operasi tambang ilegal atau PETI (Pertambangan Tanpa Izin) di Indonesia menimbulkan masalah yang kompleks seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, kejahatan, ketimpangan nilai ekonomi atau mendorong terjadinya kemiskinan baru.
Fenomena PETI ini terjadi di beberapa wilayah bahkan sampai menggangu dan mengancam keamanan juga ketertiban masyarakat. Operasi tambang ilegal yang sudah pasti tidak mengikuti prinsip-prinsip good mining practice (GMP) yang seharusnya menjadi standar dalam industri pertambangan. Banyak sekali aspek-aspek yang tidak dipenuhi dalam operasi tambang ilegal tersebut, mulai dari kebolehan izin menyelenggarakan, faktor keselamatan kerja, faktor keamanan, faktor lingkungan dan faktor kesehatan.
Banyak sekali dampak negatif yang dihasilkan akibat operasi tambang ilegal yang menyebabkan bencana, diantaranya banjir dan longsor. Salah satunya terjadi pada hari Minggu 7 Juli 2024 pukul 09.00 WITA di kawasan tambang mineral atau emas yang diduga ilegal di kawasan Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Bencana ini menewaskan puluhan warga. Hingga hari keenam pencarian korban tanah longsor, Jumat (12/07/24) korban meninggal dunia sebanyak 26 orang. Sementara, 280 orang lainnya berhasil diselamatkan dan 19 orang masih dalam pencarian. (Kompas, 13/07/24)
Kekayaan alam Indonesia terkenal sangat melimpah. Area hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, pemandangan alamnya begitu indah. Tidak hanya itu, negara kita ini memiliki berbagai hasil pertambangan seperti emas, nikel, timah, tembaga, batu bara dan masih banyak lagi. Namun sayang, ternyata sumber daya alam yang demikian berlimpah itu tidak kunjung memberikan berkah bagi rakyat Indonesia, khususnya dalam hal industri pertambangan.
Fakta ini kontradiktif dengan misi yang tertuang di dalam UUD 1945, menyatakan dengan tegas bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia serta umat manusia secara keseluruhan saat ini dan di masa depan. Hal ini terjadi karena pihak swasta mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan kekuatan sumber daya alam seperti pertambangan (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas dan lain-lain.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan maka sistem Kontrak Karya (Contract of Work) dan PSC (Production Sharing Contract) sudah tidak berlaku lagi. UU Minerba mengatur usaha pertambangan di Indonesia melalui izin usaha pertambangan (IUP).
Namun, konsesi ini telah memberikan banyak peluang bagi dunia usaha dan perorangan untuk mengimpor dan mengekspor aset pertambangan di seluruh wilayah pertambangan di Indonesia. Inilah pola pengelolaan tambang berbasis sekuler kapitalisme, menafikan hukum agama (Islam) dan mengutamakan keuntungan materi bagi segelintir pengusaha.
Dalam pandangan Islam, bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum serta dikelola oleh negara. Oleh karena itu, tidak seorang pun berhak menguasainya atau memilikinya secara pribadi. Hasilnya harus diberikan kepada rakyat dan dirasakan oleh umum berupa penyediaan kebutuhan primer rakyat semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Islam sebagai agama yang paling sempurna telah memberikan tuntunan dalam mengelola dan memanfaatkan semua isi perut bumi untuk kemaslahatan manusia. Negara yang mengelola tambang sesuai syariat Isllam adalah Daulah Islam. Tugas seluruh kaum muslimin yang mewujudkannya. Wallahuallam bissawab. [DW-Dara/MKC]