Alt Title

Privatisasi Tidak Bisa Ditoleransi

Privatisasi Tidak Bisa Ditoleransi


Pemerintah obral tanah dan kekayaan alam bagi investor

Namun absen dari pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah bagi warga setempat

______________________________


Penulis Tiktik Siti Mukarromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keran investasi terbuka lebar untuk merampungkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).


Sebagai bentuk jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah kepada pelaku usaha, Presiden Joko Widodo memberikan karpet merah kepada para investor berupa izin Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun.


Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berlaku mulai 11/7/2024. (detiknews, 12/7/2024)


Perpres ini jelas akan menimbulkan ancaman dan pelanggaran atas konstitusi. Ada dua dasar hukum mengenai agraria yang isinya dilanggar oleh pemerintah. Yakni UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pemberian hak tanah kepada investor.


UU Agraria yang tercantum dalam putusan MK tersebut mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun jika memenuhi syarat. HGU terbaru kali ini jelas sangat berlebihan dan bertentangan karena berlipat ganda jangka waktunya. 


Meskipun pemerintah berdalih bahwa lahan tetap milik negara, tetapi yang namanya Hak Guna Usaha (HGU) pastinya sudah ada perjanjian lain di dalamnya. Termasuk si pemilik lahan asli dalam kata lain rakyat Indonesia tidak boleh mencampuri penggunaan lahan tersebut selama HGU itu masih dalam waktu yang ditentukan.


Rakyat jelas akan kehilangan manfaat lahan yang biasanya menjadi sumber mata pencaharian. Seperti halnya pernah ada kasus seorang nelayan yang diusir dari kawasan yang dikuasai asing, walaupun sekadar berlayar atau mencari ikan. 


Inilah buah pahit dari kapitalisme. Di mana negara akan jelas berpihak kepada para kapital atau yang memiliki modal. Merekalah yang nanti akan mengambil alih hak kepemilikan lahan dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU). Sementara di daerah IKN masih banyak masyarakat yang belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).


Jokowi sendiri mengatakan bahwa dari 126 juta bidang tanah milik masyarakat, ada 80 juta masyarakat yang tidak memiliki sertifikat per 2015. Ini berbahaya karena pemerintah Indonesia masih menggunakan mekanisme hukum domein verklaring.


Warisan hukum kolonial ini menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat (sertifikat) otomatis akan menjadi tanah negara. Karena itu jutaan warga terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal karena mereka tidak memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik).


Hal ini jelas akan mengancam keberadaan tempat tinggal masyarakat, termasuk warga IKN di Pemaluan, Kalimantan Timur dan para nelayan di Kabupaten Kutai Kartanegara. HGU ini akan menjadi petaka untuk rakyat.


Pemerintah dan elite politiknya gelap mata terhadap investasi dan tega mengabaikan berbagai prinsip fundamental agraria bangsa Indonesia. Obral tanah dan kekayaan alam bagi investor, tapi absen dari pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah bagi warga setempat.


Berbeda dengan Islam yang mengatur berbagai aspek kehidupan dan juga memiliki aturan atau hukum terkait lahan. Islam memberikan hak atas setiap individu, baik muslim maupun kafir dzimmi untuk memiliki tanah secara pribadi (milkiyah fardiyah), atau sekadar diberikan izin oleh pemerintah untuk Hak Guna Usaha (HGU). Namun tentunya ini pun dibarengi dengan aturan yang mengikat.

 

Apabila lahan tersebut tidak dimanfaatkan atau terbengkalai oleh pemiliknya lebih dari tiga tahun, maka otomatis lahan tersebut akan diambil alih kepemilikannya oleh negara. Ini dicontohkan ketika dulu di zaman Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.. 


Islam juga mengatur bahwa lahan pertanian tidak boleh disewakan. Artinya, jika lahan tersebut mengandung dan bisa menghasilkan bahan pangan, maka haram hukumnya untuk disewakan. Hal ini sudah sangat jelas dalam sebuah hadis Nabi saw.:


نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُخَابَرَةِ، قُلْتُ: وَمَا الْمُخَابَرَةُ، قَالَ: أَنْ تَأْخُذَ الْأَرْضَ بِنِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبْعٍ


Rasulullah saw. telah melarang al-mukhâbarah. Aku (Tsabit bin al-Hajjaj) berkata, “Apakah al-mukhâbarah itu?” Dia (Zaid bin Tsabit) berkata, “Engkau mengambil tanah dengan (mengambil bagian/keuntungan) separuh, sepertiga atau seperempat.” (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabarani)


Islam juga melarang negara tunduk pada imperialisme asing. Negara kita adalah negara kaya akan hasil bumi seperti tambang, api, dan minyak bumi. Sangat menyalahi hukum Islam apabila lahan tersebut dikuasai oleh asing atau swasta. Apabila lahan yang kaya akan hasil bumi ini dikelola oleh negara dengan baik, maka rakyat pun akan menikmati hasilnya juga yang jelas-jelas adalah hak mereka.


Termasuk lahan yang di dalamnya terdapat sumber mata air, jalan umum atau kebutuhan publik lainnya seperti pantai, gunung, ini pun rakyat berhak untuk menikmatinya. 


Negaralah yang wajib mengelola dan menjaga, tanpa ada campur tangan asing atau swasta. Bukannya malah dikuasai penggunaan lahannya yang hampir dua abad. Ini jelas haram dan mengkhianati rakyat dengan potensi hancurnya kedaulatan. Berdasarkan sabda Nabi saw.:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِي


"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram. Abu Sa'id berkata, ”Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah)


Allah sudah menunjukan jalan yang benar, lalu masihkah kita mengingkari? Allah sudah memberikan ancaman, tidakkah kita takut menyalahi?


Menegakkan aturan Islam secara sempurnalah solusi bagi permasalahan yang terjadi di negara ini. 


مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ


Siapa saja yang pernah berbuat aniaya (dengan merampas) sejengkal tanah saja maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi." (HR Al-Bukhari)

Wallahualam bissawab. [DW-SJ/MKC]