Alt Title

Problematika Anak dan Hari Anak Nasional

Problematika Anak dan Hari Anak Nasional

 


Peran keluarga dalam mendidik anak makin lemah

Kurikulum sekolah hari ini justru membentuk generasi sekuler

______________________________


Penulis Umi Lia

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tanggal 23 Juli. Tahun ini tema yang diangkat adalah "Anak Terlindungi, Indonesia Maju".


Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Nahar, mengatakan bahwa saat ini pemerintah berkomitmen untuk lebih banyak mendengar suara/aspirasi mereka, karena jumlahnya ada sepertiga penduduk Indonesia.


Apa yang disampaikan akan dikumpulkan, disusun, dan didiskusikan kemudian dirumuskan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden RI pada acara puncak peringatan HAN di Jayapura. (rri.co.id, 24/7/2024)


Peningkatan taraf kehidupan anak harus terus dioptimalkan, salah satunya dengan mendorong kepedulian semua pihak. Upaya tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1979. Namun karena persoalan yang terjadi di negara ini sudah sangat kompleks, maka tidak bisa diselesaikan secara parsial dari satu sisi saja. Terlebih bisa tuntas hanya dengan wacana-wacana yang disampaikan pada saat peringatan HAN.


Berbagai permasalahan yang menimpa dunia anak terus terjadi dan belum kunjung tersolusikan. Sebagai contoh, angka prevalensi stunting sepanjang tahun 2023  yang mencapai 21,5%. Angka putus sekolah tahun ajaran 2022-2023 di berbagai tingkat pendidikan mencapai 76.834 orang. Jika dirinci, untuk SD ada 40.623, SMP 13.716, SMA 10.091, SMK 12.404 orang.


Lingkungan yang melingkupi anak-anak pun benar-benar jauh dari jaminan perlindungan dan keamanan. Hal ini nampak dari angka kekerasan yang terus meningkat. Data kementerian PPPA menunjukkan jumlah tindak kejahatan terhadap anak yang dilaporkan sepanjang 2023 mencapai 24.158.


Dari jumlah tersebut, jenis paling banyak adalah kasus kekerasan seksual yakni 10.932. Mirisnya, sering kali pelaku justru datang dari orang terdekat, seperti paman atau ayah. Rumah yang seharusnya jadi tempat berlindung, nyatanya tidak mampu memberi rasa aman.


Selain itu, situasi kehidupan sekularistik hari ini, justru mewarnai kepribadian anak-anak. Sehingga mereka memiliki pemikiran dan perilaku yang buruk. Ada yang menjadi pelaku  bullying dan kekerasan, terjerat narkoba, minuman keras, pergaulan bebas hingga judi online (judol). Bahkan pemerintah mencatat jumlah pemain judol usia di bawah 10 tahun di Indonesia sebanyak 80 ribu anak. 


Berbagai program telah dibuat untuk menyelesaikan persoalan anak. Di antaranya adalah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak-anak, penyediaan layanan bagi yang memerlukan perlindungan khusus, merintis desa ramah perempuan dan peduli anak hingga negara ramah anak.


Namun upaya-upaya tersebut belum kunjung membuahkan hasil. Karena apa yang dilakukan belum menyentuh akar persoalan. Tak heran, peringatan HAN tidak lebih sekadar seremonial yang digelar setiap tahun tanpa ada perubahan yang berarti.


Semua upaya yang tidak membuahkan hasil ini terjadi karena asas yang digunakan untuk menelaah persoalan adalah pandangan sekuler kapitalis yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Mengagungkan kebebasan sehingga membentuk tingkah laku yang buruk di tengah masyarakat yang didorong oleh hawa nafsu dan jauh dari ketakwaan. 


Hal inilah yang memicu munculnya manusia-manusia bejat yang tega melakukan kekerasan terhadap anak baik fisik, psikis maupun seksual. Ditambah sekularisme telah menjadi asas kurikulum pendidikan sehingga terbentuk generasi yang liberal. Selain itu, pandangan ini juga telah menjauhkan keluarga dari peran dan fungsi utamanya dalam membina dan memberi tempat aman bagi penghuninya.


Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok anak, baik berupa pendidikan maupun kesehatan adalah akibat abainya negara menjalankan perannya sebagai pengurus umat. Ekonomi kapitalis yang diterapkan negara ini menjadikannya gagal menyejahterakan rakyatnya. Peran keluarga dalam mendidik anak semakin lemah, sementara kurikulum sekolah hari ini justru membentuk generasi sekuler. Inilah buah dari penerapan kapitalisme sekuler di negeri ini.


Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam kehidupan. Agama ini memandang penting keberadaan anak sebagai generasi penerus peradaban. Sehingga mewajibkan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan anak dalam berbagai aspek.


Untuk itu, negara menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam memenuhi pangan, sandang, papan. Juga kebutuhan layanan kesehatan, pendidikan serta perlindungan keamanan. Di dalam Al-Qur'an, Allah Swt. mengajarkan hambaNya untuk berdoa: 

"Wahai Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami. Jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (TQS Al-Furqan ayat 74)


Anak adalah calon pemimpin, maka peran orang tua, keluarga, masyarakat terutama penguasa sangat besar dan harus bersinergi dalam mewujudkannya. Negara yang menerapkan sistem Islam akan mengoptimalkan fungsi dan peran keluarga dalam mendidik generasi. Negara tidak akan mendorong para perempuan untuk bekerja, karena punya tugas utama mendampingi anak-anaknya. 


Negara pun tidak akan membiarkan ide, pendapat, ataupun pemikiran rusak seperti pemikiran liberal masuk ke sekolah-sekolah melalui kurikulum ataupun kebijakan penguasa. Setiap tayangan yang beredar diawasi ketat oleh pejabat negara.


Pornoaksi, pornografi, maupun kekerasan tidak dibenarkan jadi tontonan. Jika ternyata ada yang melanggar, maka akan diberlakukan sanksi sesuai syariat. Negara benar-benar berfungsi menjaga generasi dari berbagai sisi. 


Demikian, negara yang menerapkan sistem Islam akan mampu menciptakan masyarakat Islami, hingga tercipta lingkungan yang aman bagi anak. Kita tidak bisa berharap pada sistem rusak dan merusak yang mengagungkan kebebasan.


Sudah saatnya umat menyadari dan menuntut pergantian sistem, agar generasi terselamatkan dengan segera. Wallahualam bissawab. [AS-SJ/MKC]