Alt Title

Remisi Pidana, Sistem Hukum Bermasalah

Remisi Pidana, Sistem Hukum Bermasalah




Remisi pidana pada momen tertentu menunjukkan bahwa

sistem sanksi yang ada di negeri ini tidak menjerakan pelaku kejahatan


______________________________


Penulis Siti Mukaromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Obral remisi warga binaan di sejumlah lapas dan rutan, mereka mendapatkan remisi khusus di hari kemerdekaan.


Dikutip dari kompas.com, (17/8/2024), sebanyak 1.107 narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nunukan, Kalimantan Utara mendapat remisi umum di HUT (Hari Ulang Tahun) Kemerdekaan ke-79 RI, 12 orang di antaranya langsung bebas. Kepala Lapas Nunukan Puang Dirham mengatakan, dari jumlah tersebut 4 orang merupakan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan), mereka mendapatkan remisi langsung bebas. Puang menegaskan, remisi merupakan bentuk penghargaan dari negara atas upaya warga binaan yang telah memperbaiki sikap dan berperilaku baik selama menjalani masa tahanan.

Berawal dari sejarahnya di masa Hindia Belanda, remisi yang diberikan kepada narapidana tertentu secara subjektif dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda 10 Agustus 1935.

Saat ini ada 3 jenis remisi berdasarkan Keppres No. 174/1999 yaitu: Remisi Umum, Remisi Khusus, dan Remisi Tambahan. Selain momen hari besar keagamaan dan HUT RI, remisi juga diberikan terhadap narapidana yang dianggap berjasa pada negara atau membantu kegiatan lapas.

Remisi pidana pada momen tertentu, menunjukkan bahwa sistem sanksi yang ada di negeri ini tidak menjerakan pelaku kejahatan. Sorotan tajam dalam hal ini, salah satunya adalah kasus narapidana koruptor.

Akibat sanksi yang tidak menjerakan pelaku kejahatan, maka ditemukan banyaknya bentuk kejahatan yang beragam. Maraknya pembunuhan dan kriminalitas makin menakutkan. Jika dahulu orang membunuh dengan cara biasa, kini orang membunuh dengan memutilasi korban.

Kejahatan seksual juga semakin parah, para pelakunya lebih muda dan lebih beragam kasusnya. Hal ini menunjukkan hilangnya rasa takut pada pelaku, sehingga melakukan kejahatan yang lebih besar. Semuanya karena sistem sanksi yang tidak menjerakan.

Contoh kasus korupsi, nominal kerugian negara pada tiap kasus makin besar. Bahkan di tahun 2023 sudah menyentuh Rp271 triliun. Bagaimana bisa orang leluasa korupsi sebanyak itu? Bahkan, banyak kejadian narapidana korupsi misalnya, Gayus Tambunan yang sempat viral di media sosial bisa menikmati kemewahan di lapas dan traveling. (Muslimahnews)

Sistem sanksi tidak menjerakan merupakan cabang dari sistem pidana yang bermasalah. Sistem pidana ini merupakan warisan Belanda dan buatan manusia. Wetboek van Nederlandsch Indie (WvS) melalui Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum.

Berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP, saat ini sudah mengalami perubahan. Namun, perubahan KUHP ini tidak mengubah hakikat buatan manusia. Tersebab, sistem pidana yang menjadi rujukan pemberian sanksi ini bersifat tidak baku, mudah berubah-ubah dan disalahgunakan.

Hal ini terbukti dengan dengan kekuatan uang bisa membeli kemewahan di dalam lapas. Bahkan bisa membeli kebebasan. Masa hukuman dalam setahun bisa berkali-kali berkurang lebih pendek dari yang diputuskan oleh pengadilan. Akibatnya, kejahatan semakin merajalela.

Bagaimana mungkin kita berharap terwujudnya keadilan dan keamanan dengan sistem pidana yang demikian?

Kondisi di atas, tersebab negeri ini menggunakan sistem pidana buatan manusia. Pelaku kejahatan mendapatkan hukuman ringan. Padahal Allah Swt. mengharuskan pelaku kejahatan dihukum hingga jera.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-An'am ayat 160 "Barang siapa berbuat kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi)."

Berbeda kondisinya dengan sistem Islam yang memiliki mekanisme untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan, sehingga tingkat kejahatan menjadi minim.

Kuncinya adalah yang melindungi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan adalah penerapan syariat Islam. Ketika tiga penegakan hukum Islam terwujud dengan sempurna. Yakni ketakwaan individu, bisa mencegah seseorang melakukan kejahatan. Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh masyarakat, mampu mencegah adanya kejahatan, karena cepat terdeteksi dan pelakunya bisa diingatkan untuk bertaubat. Serta negara yang memberlakukan sistem sanksi yang adil dan tegas.

Di dalam Daulah Islam, dari sisi pencegahan selain aspek ketakwaan individu, negara akan menjamin kesejahteraan rakyat orang per orang secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk jaminan langsung oleh negara yaitu, menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengaksesnya.


Sedangkan maksud dari jaminan tidak langsung yaitu, negara menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya sehingga lelaki dewasa memperoleh penghasilan untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan posisi wanita, anak-anak, dan lansia dinafkahi oleh walinya.

Selain itu, negara juga bertanggung jawab mengurusi fakir miskin dengan memberikan santunan dalam kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Negara akan memberikan modal dan pekerjaan, baik berupa tanah, uang, alat, keterampilan, dan memberikan lowongan pekerjaan bagi rakyatnya.

Dengan demikian kemiskinan bisa diselesaikan sehingga tidak akan terjadi istilah 'kefakiran dekat dengan kekufuran'. Secara ekonomi jaminan negara akan mengurangi faktor risiko terjadinya kejahatan.

Islam juga memiliki aspek penanganan kejahatan yaitu dengan sistem sanksi yang khas, tegas, dan membuat jera. Sanksi yang tegas kepada pelaku kejahatan baik berupa hudud, jinayah, takzir, maupun mukhalafat. Penjara di dalam sistem Islam tidak menjadi satu-satunya hukuman. Kalaupun hukumannya penjara, tidak mengurangi hukuman dari masa yang sudah di putuskan hakim.
Sanksi tegas tersebut berfungsi sebagai menebus dosa di dunia, sehingga tidak ada azab di akhirat (jawabir) dan pencegahan agar tidak ada kejahatan serupa (zawajir).

Demikianlah, ketika syariat Islam diterapkan secara kafah (menyeluruh), manusia akan hidup dengan aman karena kejahatan akan sangat minim. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]