Selamatkan Generasi, Tolak Gaul Bebas!
Opini
Kebijakan pelayanan kesehatan dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip yang benar
Upaya promotif, preventif, dan kuratif dalam hal ini harus bebas dari unsur perbuatan keji dan industrialisasi
___________________________
Penulis Ummu Qianna
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Sahabat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Presiden Joko Widodo telah menandatangani kebijakan yang memperbolehkan pemberian alat kontrasepsi kepada siswa dan remaja sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesehatan reproduksi dan mencegah kehamilan tidak diinginkan di kalangan usia muda. (bisnis.tempo.co, 1/8/2024)
Kebijakan ini bertujuan mengurangi risiko kehamilan dini dan penyakit menular seksual dengan memberikan akses yang lebih mudah ke kontrasepsi serta edukasi kesehatan reproduksi, sehingga diharapkan dapat melindungi remaja dari masalah kesehatan terkait.
Namun, kebijakan ini menuai berbagai reaksi di masyarakat. Sementara beberapa pihak menyambutnya sebagai langkah progresif untuk kesehatan reproduksi, ada juga kekhawatiran tentang potensi dampak negatifnya terhadap perilaku sosial dan moralitas, terutama terkait penerimaan kebijakan ini dalam konteks norma agama dan budaya. Kritik utama mencakup kekhawatiran bahwa pemberian kontrasepsi kepada remaja bisa memperburuk perilaku seks bebas dan bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku.
Dilansir dari mediaindonesia.com (4/8/2024), Komisi X DPR RI mengkritik dan menolak aturan yang memungkinkan penyediaan alat kontrasepsi untuk siswa sekolah. Menilai bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan pendidikan yang seharusnya diterapkan dalam lingkungan pendidikan. Anggota Komisi X khawatir bahwa pemberian akses mudah ke kontrasepsi dapat merusak nilai-nilai moral dan etika, serta memicu perilaku seks bebas yang berisiko tinggi, yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama pendidikan yang seharusnya fokus pada pembentukan karakter dan akhlak siswa.
Sebagai alternatif, Komisi X mengusulkan agar kebijakan lebih fokus pada pendidikan seks yang berbasis pada nilai-nilai moral dan agama, serta pencegahan kehamilan melalui pendekatan yang mendidik dan membangun karakter. Mereka juga menekankan pentingnya melibatkan berbagai pihak, seperti institusi pendidikan, orang tua dan masyarakat, dalam proses pembuatan kebijakan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar mempertimbangkan berbagai aspek dan kepentingan. Kritik ini menyoroti ketidaksetujuan terhadap kebijakan penyediaan alat kontrasepsi, dengan alasan bahwa kebijakan tersebut dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan pendidikan yang berlaku.
Kewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi, bagi anak sekolah dan remaja sering kali di argumentasikan sebagai langkah untuk menjaga seks yang aman. Namun, pendekatan ini bisa memicu liberalisasi perilaku yang membawa dampak negatif bagi masyarakat. Meskipun klaim tersebut menyebutkan bahwa kontrasepsi aman dari segi kesehatan, implementasinya bisa memperbesar kemungkinan terjadinya perzinaan, yang menurut hukum agama merupakan perbuatan haram. Perizinan dan akses mudah terhadap kontrasepsi mungkin pada akhirnya tidak mengatasi masalah, melainkan memperburuk situasi moral dan sosial di masyarakat.
Dalam konteks ini, kebijakan tersebut juga mempertegas posisi Indonesia sebagai negara yang seringkali mengabaikan prinsip-prinsip agama. Kerusakan perilaku sosial dapat makin meluas dan mengancam keberlangsungan masyarakat serta peradaban manusia secara umum.
Terlebih lagi, sistem pendidikan yang diterapkan oleh negara menempatkan kepuasan jasmani sebagai salah satu tujuan utama, bukannya membangun moral dan etika yang lebih baik. Pendekatan ini tampak makin menegaskan bahwa prinsip-prinsip agama tidak memiliki tempat dalam kebijakan publik, yang berpotensi menambah kerusakan sosial.
Islam menegaskan bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga agama tidak boleh diabaikan oleh negara. Negara memiliki peran utama dalam mencapai tujuan masyarakat Islam yang ditetapkan oleh syariat, seperti menjaga agama, jiwa, akal, dan keturunan. Dengan demikian, negara harus mengambil langkah-langkah politik yang diperlukan untuk memastikan bahwa potensi generasi yang dianugerahkan oleh Allah Swt. dapat dipelihara dan dimaksimalkan demi kemuliaan Islam dan umat muslim.
Selain itu, negara juga harus berperan sebagai pelaksana syariat secara menyeluruh bagi individu yang memilih Islam sebagai jalan hidup. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, pergaulan, dan sanksi yang semuanya bersumber dari akidah Islam. Dengan hadirnya Islam sebagai peradaban, akan tercipta gaya hidup yang tidak hanya mulia tetapi juga sehat, karena kebutuhan fisik dan nonfisik terpenuhi secara seimbang, serta adanya keseimbangan antara nilai materi, spiritual, moral, dan kemanusiaan.
Sejalan dengan itu, kebijakan pelayanan kesehatan dalam Islam, khususnya dalam menjaga kesehatan sistem reproduksi dan potensi berketurunan, didasarkan pada prinsip-prinsip yang benar. Upaya promotif, preventif, dan kuratif dalam hal ini harus bebas dari unsur perbuatan keji dan industrialisasi, sehingga manfaat potensi berketurunan setiap individu dapat dimaksimalkan.
Islam juga menempatkan kesehatan sebagai kepentingan utama dan kenikmatan yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat, menjadikannya kebutuhan pokok publik yang berada di bawah tanggung jawab negara. Dengan penerapan prinsip-prinsip ini, kehadiran negara Islam sebagai satu-satunya model yang sesuai menjadi jawaban untuk mewujudkan kehidupan dan peradaban Islam yang dibutuhkan saat ini. Wallahualam bissawab. [DW-GSM/MKC]