Alt Title

Sistem Demokrasi Sumber Kekacauan

Sistem Demokrasi Sumber Kekacauan




Prinsip kebebasan berpendapat, berekspresi, kepemilikan, dan beragama

adalah sumber kekacauan hidup hari ini


______________________________


Penulis Siti Mukaromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Gelombang protes, hingga muncul tagar #KawalPutusanMK dan unggahan foto siaran "peringatan darurat" berlatar biru viral di media sosial. Disusul aksi unjuk rasa dari berbagai kalangan masyarakat di depan kompleks DPR, menuntut agar DPR tidak mengangkangi putusan MK, soal ambang syarat pencalonan kepala daerah, dan batas kandidat peserta Pilkada 2024.


Dikutip dari (tempo.co, 22/8/2024), Komika Rigen Rakelna ikut unjuk rasa sebagai bentuk perlawanan terhadap legislator yang mau mengubah putusan MK terhadap revisi UU Pilkada. “Pejabat mulai melawak, saatnya komedian yang melawan,” ucapnya. Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai kalangan, mulai dari organisasi masyarakat, sipil, buruh, artis, hingga komika. Dalam tuntutannya Koordinator Garda Mental Federasi Serikat Pekerja Mental Indonesia Kommarudin (52) meminta legislator Senayan tidak lagi main mata dengan putusan MK. Kommarudin mengatakan, jalankan saja sesuai dengan keputusan MK, karena ini sudah final dan mengikat.

Badan Legislasi atau Baleg DPR sebelumnya memutuskan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah tetap 20% kursi di parlemen. Dalam draf putusan itu tertuang revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada Rabu, 21 Agustus 2024 putusan Baleg DPR diketok, otomatis mengoreksi putusan MK yang telah menghapus ambang batas tersebut. Arjuna Putra Aldiano Ketua Umum DPP GMNI menilai, revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR cacat hukum atau inkonstitusional.

Unggahan warganet di media sosial perihal, "Demokrasi tersandera dinasti" juga ramai disuarakan. Hal itu dilakukan atas berbagai kebijakan pemerintah yang jelas berpihak kepada kaum elite, hanya dianggap mengancam demokrasi. Alih-alih menggantinya dengan sistem yang baru. Para politisi, bahkan menganggap dan memandang segala kekacauan ini sebagai dinamika politik dalam demokrasi. Terkesan tidak acuh, menganggap sebagai perkara biasa, kendati kecurangan terjadi di depan mata.

Instrumen demokrasi berupa lembaga legislatif (DPR) dan yudikatif pun bekerja untuk melegitimasi kecurangan. Untuk itu, sudah seharusnya masyarakat sadar. Benarkah demokrasi untuk rakyat? Dalam berdemokrasi jika demikian karut marutnya, bukankah tidak menjanjikan apa pun? Sebab, politik ala demokrasi secara sistem memang seelastis itu. Lantas, alasan apa yang membuat masyarakat masih mau bertahan dengan demokrasi ini?

Sesungguhnya jargon demokrasi yang membius para pejuangnya berakar pada sejarah kelam masyarakat Kristen Eropa. Ciri khas demokrasi dengan jargon vox populi vox dei yang artinya, "suara rakyat adalah suara Tuhan," istilah ini serupa "suara raja adalah suara Tuhan." Para raja yang mendapat legitimasi dari gereja melakukan penindasan dan memunculkan perlawanan rakyat pada masa itu. Muncul kesepakatan, bahwa agama tidak layak mencampuri perkara apa pun, agama hanya di altar-altar suci peribadahan. Bukan dalam sistem bermasyarakat dan bernegara, yang dikenal dengan istilah sekularisme.

Jargon "suara rakyat suara Tuhan" memunculkan persepsi, bahwa keyakinan rakyatlah sejatinya yang berdaulat.  Realitasnya, bahwa anggapan demokrasi menempatkan rakyat setara dengan Tuhan terlalu tinggi angan-angan dan tidak sesuai kenyataan. Sejatinya, demokrasi sebagai sebuah sistem politik mengadopsi ide kebebasan. Sebab itulah demokrasi juga disebut sistem liberal, kebebasan bahkan menjadi hal agung dalam demokrasi. Manusia berhak merumuskan berbagai kebijakan yang mewadahi kebebasan tanpa batas dalam sistem ini. Lantas, di mana suara Tuhan itu?

Tentu, hal itu tidak mungkin kita temukan pada sistem yang justru menafikan Tuhan dalam kehidupan mereka. Demokrasi dalam pemerintahan, memberikan peluang  kepada siapa pun untuk berkompetisi secara bebas untuk meraih kekuasaan. Prinsip kebebasan inilah yang melegitimasi para elite di ranah politik. Para kapital elite dan kroninya berpeluang besar mengendalikan kekuasaan.

Demokrasi mengadopsi sistem voting sebagai jalan tengah untuk mewadahi pendapat masyarakat yang beragam. Meski meyakini solusi jalan tengah, tetap banyak pertentangan di masyarakat. Trias Politica ala Montesquieu, menunjukkan bahwa lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif kerap bertentangan, karena memihak kepentingan elite tertentu.

Kondisi hari ini membuktikan ketika MA dan MK sebagai lembaga yudikatif berselisih jalan dengan DPR, disebabkan jalannya praktik politik sejatinya di dalam kendali para elite. Sejatinya, siapa yang memiliki kuasa di negeri demokrasi? Tentunya tetap saja para elite.

Jadi, sesungguhnya demokrasi tidak lebih sebagai alat politik yang menopang kekuasaan pejabat yang bersekongkol dengan pemilik modal. Sedangkan dalam sistem demokrasi, suara rakyat nyatanya tidak sesakral suara Tuhan. Apalagi pada dasarnya suara manusia rawan dengan perbedaan dan kepentingan. Baik itu lembaga negara, rakyat, atau siapa pun, akan selalu ada pertentangan. Kecacatan demokrasi inilah yang memang sudah ada sejak lahir. Sebaliknya, secara fitrah manusia membutuhkan aturan yang tidak ada perbedaan dan pertentangan.

Demokrasi sesungguhnya lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, dan bertentangan dengan Islam. Oleh karena, selayaknya manusia hanya tunduk dan patuh pada aturan Sang Khalik. Justru sumber kekacauan tercipta saat manusia meninggalkan agama sebagai sistem kehidupan. Hanya aturan Sang Pencipta-lah, sumber secara fitrah ketenangan hidup manusia.

Kedaulatan di tangan rakyat dalam demokrasi hanya utopis, juga bertentangan dengan syariat. Dalam IsIam hanya Allah semata pembuat hukum, bukan manusia. Terlebih, banyaknya pertentangan karena pola pikir dan kepentingan manusia berbeda-beda. Oleh karena itu, aturan terbaik bagi manusia adalah jelas yang bersumber dari Sang Pencipta.

Prinsip kebebasan berpendapat, berekspresi, kepemilikan, dan beragama adalah sumber kekacauan hidup hari ini. Dalam kebebasan kepemilikan di dalam sistem demokrasi, mengakomodasi manusia untuk memiliki segala sesuatu tanpa batas. Di antaranya seperti tambang dan sumber daya alam (SDA) lainnya, meskipun segala sesuatu itu merupakan kepentingan umum. Atas penguasaan aset strategis negara yang seharusnya milik umum, hal ini memunculkan para pemodal kapitalis. Demikian pula manusia bebas berekspresi, seperti kaum L9bTQ yang bebas menetapkan ekspresi, meski melanggar fitrah.

Demikian jelas bagi umat IsIam untuk meninggalkan demokrasi. Bukan semata karena alasan kesengsaraan atas penerapannya hari ini. Tetapi sebagai konsekuensi keimanan, yakni tidak boleh menghamba pada hukum dan sistem selain Allah.

Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah: 50, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin."

Meski demikian, persepsi di dalam masyarakat sekuler demokrasi terlanjur diterima sebagai sistem terbaik. Untuk masyarakat Indonesia yang heterogen, sistem ini dianggap cocok. Umat IsIam sendiri, bahkan gamang untuk menyuarakan penerapan hukum IsIam dengan alasan heterogenitas.

Umat IsIam tidak boleh lupa bahwa Rasulullah saw. pun menerapkan syariat IsIam di tengah masyarakat yang heterogen. Sejarah peradaban IsIam di Spanyol yang penduduknya dari etnis dan agama yang beragam, salah satu buktinya. Penerapan hukum IsIam pada level negara dalam benak masyarakat sekuler, dianggap akan menghalangi kebebasan beragama bagi warga nonmuslim.

Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa di bawah Daulah Islam, nonmuslim tetap bisa menjalankan agama yang mereka anut. Hal ini terjadi ketika Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, para penganut Kristen Koptik merasa damai di bawah naungan Daulah Islam. Wallahualam bissawab. [SH/MKC]