Alt Title

Air Kebutuhan Primer Rakyat, kok Dipermasalahkan?

Air Kebutuhan Primer Rakyat, kok Dipermasalahkan?

Negara akan mengatur dengan seksama agar air yang tersedia adalah air yang layak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan manusia

_____________________________


Penulis Reni Rosmawati 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi Islam Kafah 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belakangan ini, kebutuhan air galon atau air kemasan menjadi sorotan. Konteks dan dampaknya terhadap laju ekonomi rumah tangga kelas menengah di Indonesia dipertanyakan. Menurut mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pendapatan rumah tangga di kalangan masyarakat secara tidak sadar tergerus akibat kebiasaan mengonsumsi air galon. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat kelas menengah yang turun kasta ke kelas ekonomi yang lebih rendah. 


Pernyataan eks Menkeu tersebut muncul seiring dengan data yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik), bahwa pada tahun 2024, jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan ke level miskin sebanyak 16,5% atau sekitar 9,48 juta jiwa, dari yang tadinya 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta di tahun ini. (CNBCIndonesia.com, 2/9/2024)


Air Sumber Kehidupan, Wajib Dijamin Negara 


Air adalah sumber kehidupan. Seluruh makhluk yang bernyawa membutuhkan air untuk bertahan hidup. Hampir semua kegiatan manusia pun tidak bisa lepas dari air; minum, memasak, mencuci, mandi, dan lain sebagainya. 


Namun, faktanya tidak semua rakyat dapat mengaksesnya, karena jumlah dan kualitas perairan di negeri ini berbeda-beda serta tidak selalu bagus. Bahkan, lantaran kekeringan jumlah air pun menjadi berkurang. Ditambah lagi kebanyakan sumber daya air telah dikapitalisasi oleh perusahaan-perusahaan swasta dan dijual kepada rakyat dalam bentuk kemasan. Yang akhirnya memaksa rakyat mengonsumsi air galon/kemasan. 


Mirisnya, konsumsi air galon dipermasalahkan, dianggap penyebab menurunnya strata ekonomi. Jika dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadi penurunan masyarakat kelas menengah menjadi miskin, antara lain: mahalnya harga kebutuhan pokok, maraknya PHK massal, susahnya mencari pekerjaan, terus digenjotnya pajak yang mencekik rakyat, serta banyaknya perjanjian-perjanjian yang diteken pemerintah yang akhirnya membuat kekayaan alam negeri ini dikuasai swasta (lokal dan asing) yang salah satunya pengelolaan sumber daya air.


Semestinya, untuk meningkatkan kelas ekonomi rakyat, maka pemerintah harus menyelesaikan berbagai masalah di atas, dengan cara: Pertama, menurunkan harga kebutuhan pokok dan memastikan bahwa kebutuhan setiap rakyat dapat terpenuhi secara individu per individu.


Kedua, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, sehingga setiap kepala keluarga dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Ketiga, menghentikan perjanjian-perjanjian (investasi) yang memungkinkan kekayaan alam negeri ini dikuasai swasta.


Sementara air, seyogiyanya pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara, untuk kemudian disalurkan kepada rakyat dalam bentuk yang layak konsumsi secara gratis dan mudah diakses. Air tidak boleh dikelola oleh swasta karena merupakan harta milik umum dan kebutuhan primer yang wajib menjadi tanggung jawab negara dalam pengelolaannya. Dengan begitu, maka konsumsi air galon tidak akan disalahkan sebagai penyebab rakyat miskin. 


Namun, dalam sistem kapitalisme hal tersebut mustahil terjadi sebab orientasi kepemimpinan dalam sistem ini bukan dalam rangka mengurus rakyat melainkan memberi celah atau jalan bagi korporasi untuk mendapatkan keuntungan dari rakyat. 


Islam Menjamin Pemenuhan Air dan Kesejahteraan Rakyat 

Sebagai agama sempurna, Islam memandang air sebagai kebutuhan primer dan merupakan harta kepemilikan umum. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Umat muslim berserikat dalam 3 hal yakni padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Karena itu, Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawabnya. Negara wajib mengelola air secara mandiri untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyat. Negara akan mengatur dengan seksama agar air yang tersedia adalah air yang layak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Negara pun akan mendorong adanya inovasi pengelolaan air agar layak dan aman dikonsumsi. Sehingga semua rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah dan gratis. Jikapun berbayar maka harga yang dipungut hanya untuk mengganti biaya produksi. 


Air tidak boleh dikomersialkan apalagi diprivatisasi oleh kelompok tertentu. Bila ada perusahaan swasta yang mengelola secara mandiri, maka negara akan mengatur perusahaan yang mengemas air tersebut agar keberadaannya tidak membuat rakyat susah untuk mendapatkan haknya.


Selain itu, negara juga akan menjamin kesejahteraan rakyat dan seluruh kebutuhan vital lainnya. Sandang, pangan dan papan akan dipenuhi oleh negara secara individu per individu. Dengan cara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya sehingga setiap kepala keluarga dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 


Di sisi lain, perjanjian-perjanjian luar negeri yang menyangkut harta kepemilikan umum (rakyat) akan dibatasi bahkan dihentikan. Negara tidak akan menarik pajak sebagaimana dalam sistem kapitalisme hari ini. Seandainya memang mengharuskan ada penarikan pajak (dharibah) dari rakyat, maka itu hanya akan dilakukan ketika kas negara atau baitulmal kosong saja. Itupun hanya akan dipungut dari kaum muslimin laki-laki dewasa dan memiliki kelebihan harta. 


Pungutan pajak tersebut diambil secara insidental. Jika kebutuhan pembiayaan yang mendesak tadi sudah selesai, maka pungutan pajak pun akan segera dihentikan. Semua ini dilakukan karena orientasi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengurus dan melayani rakyat. Bukan untuk mencari keuntungan bersifat materi sebab kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. 


Rasulullah saw. bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari)


Demikianlah berbagai upaya yang ditempuh sistem Islam dalam menjamin pemenuhan air dan menyejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan dalam naungan sistem Islam bukan hanya cerita dongeng, namun ia benar-benar nyata. Tinta sejarah telah menuliskan fakta yang cukup mengagumkan, karena hampir 14 abad lamanya ketika sistem Islam diterapkan, rakyat benar-benar merasakan kemakmuran, seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak ada satu pun rakyat yang mau menerima zakat saking sejahteranya mereka. 


Maka dari itu, sudah sepantasnya kita merindukan kembali diterapkannya sistem Islam kafah di muka bumi ini. Karena sesungguhnya hanya sistem Islam satu-satunya solusi bagi setiap problematika kehidupan. 

Wallahualam bissawwab. [MGN-DW/MKC]