Alt Title

Air Langka, Rakyat Makin Merana

Air Langka, Rakyat Makin Merana

 


Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, realita pahit harus dihadapi karena ketidakmampuan mereka membeli air bersih berkualitas yang bebas patogen dan parasit

_________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kemiskinan hingga saat ini masih menjadi problem krusial yang melanda banyak negara di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Meskipun data BPS mencatat bahwa angka kemiskinan pada Juli 2024 menunjukkan tren penurunan dari yang sebelumya sebesar 9,36% menjadi 9,03%, namun demikian realita yang terjadi di depan mata justru menunjukkan hal yang bertentangan.


Sudah jamak diketahui bahwa semenjak pandemi melanda, gelombang pengangguran akibat PHK kian menanjak dan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan hingga detik ini. Pun demikian halnya dengan para pelaku UMKM yang makin banyak gulung tikar akibat tergerus persaingan bisnis yang kian masif.


Hal tersebut diperparah dengan makin melonjaknya harga barang kebutuhan masyarakat yang terjadi bukan hanya pada barang tersier, tetapi juga pada barang barang kebutuhan pokok, seperti beras, minyak, dan lain sebagaInya. Di samping itu, sulitnya akses terhadap barang-barang vital tertentu seperti air, juga menambah deret penderitaan masyarakat.


Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di negeri khatulistiwa ini, air bersih menjadi salah satu kebutuhan mendasar yang saat ini bisa dikatakan cukup langka. Kelangkaan ini juga makin menjadi ancaman setelah Indonesia diperkirakan akan mengalami krisis air bersih pada 2040 mendatang.


Akibat kelangkaan tersebut, beberapa daerah di Indonesia termasuk Pulau Jawa, mengalami kesulitan mengakses air. Padahal, mereka membutuhkan air bersih untuk menunjang kehidupan sehari-hari, seperti minum, memasak, mandi, dan aktivitas penting lainnya.


Pada akhirnya, kondisi yang mengimpit ini membuat masyarakat harus memutar otak lebih keras. Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, realita pahit harus dihadapi karena ketidakmampuan mereka membeli air bersih berkualitas yang bebas patogen dan parasit. Alhasil, tak ada pilihan lain, mau tak mau, air tak layak konsumsi lah yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari hari.


Sementara itu, masyarakat ekonomi menengah yang masih lebih beruntung, akhirnya harus merogoh kocek lebih dalam dan menambah pengeluaran bulanan untuk mendapatkan air bersih yang berkualitas. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan terpaksa membeli air galon dengan harga yang sudah tentu tidaklah murah agar lebih terjamin kebersihannya.


Fenomena memprihatinkan ini disoroti oleh mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Ekonom senior ini mengatakan bahwa penurunan masyarakat kelas menengah di Indonesia bukan hanya karena COVID-19 dan merebaknya pemutusan hubungan kerja namun juga karena terbiasanya masyarakat mengkonsumsi air kemasan termasuk galon. Menurutnya, konsumsi air galon secara tak sadar telah membengkakkan pengeluaran karena bergantungnya masyarakat terhadap air galon, air botol, dan sejenisnya.


Bambang menegaskan bahwa tidak semua negara masyarakatnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi air galon. Ia membandingkan dengan fakta negara maju di mana warganya terbiasa menenggak air bersih yang disediakan pemerintah di beberapa tempat umum. Fasilitas air minum masal tersebut menurutnya akan memangkas pengeluaran masyarakat untuk membeli minuman kemasan.(cnbcindonesia.com 31-8-24)


Pernyataan ekonom senior tersebut menuai kritik dari Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan. Ia mengatakan bahwa pernyataan yang dilontarkan Bambang tak lebih dari sekedar upaya pengkambing hitaman atas kegagalan pemerintah meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Ia juga menyayangkan pernyataan Bambang yang dinilai alih-alih menjadi koreksi untuk pemerintah, justru malah menyudutkan masyarakat karena kebiasaan konsumsi air kemasan (moneytalk.id, 1-9-2024).


Berdasarkan fenomena di atas, sejatinya kita bisa melihat bahwa peningkatan konsumsi air bukanlah problem utama dalam negara. Setiap manusia tentu butuh akan konsumsi air mineral sesuai kadar kebutuhan diri masing-masing. Konsekuensinya apabila hal ini tidak terpenuhi maka justru akan muncul lebih banyak masalah kesehatan masyarakat seperti pada kasus diare misalnya, yang terjadi akibat pola konsumsi air yang tidak cukup baik. Sehingga yang perlu dikaji ulang adalah kemampuan pemerintah dalam menyediakan air bersih.


Kebijakan minimalis, seperti kampanye penghematan air dan promosi gerakan sosial lainnya, seringkali menjadi pilihan pemerintah. Meskipun pendekatan ini tidak sepenuhnya salah, kondisi saat ini memerlukan langkah-langkah strategis yang lebih konkrit mengingat ancaman krisis air yang semakin mendekat.


Begitu pula penggunaan air kemasan memerlukan analisis mendalam terkait standar kesehatan dan kebersihan air. Meskipun masyarakat mengkonsumsi air dalam galon atau kemasan, hal ini tidak menjamin tercapainya masyarakat yang sehat.


Sementara itu, berkembangnya bisnis air kemasan menunjukkan bahwa ketika negara tidak terlibat secara aktif dalam pengelolaan sumber daya air dan justru membiarkan para pebisnis untuk bisa menyediakan dan mengelola air tersebut. Akibatnya, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan air berkualitas. Ini menjadi masalah, mengingat air adalah kebutuhan dasar manusia.


Air memiliki peran yang sangat krusial bagi manusia dan kehidupan. Dalam rangka mengatasi rasa haus, berperan untuk kesehatan, daya ingat hingga stamina tidak lepas dari sebuah peran air dalam tubuh manusia. Selain itu, air juga merupakan komponen utama dalam tubuh manusia, dengan sekitar 50-60% dari berat tubuh manusia dewasa terdiri dari air.


Dalam Islam, pengaturan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air harus diatur oleh negara melalui peraturan yang jelas. Negara wajib menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya dengan memberikan hak seluruh rakyat tanpa kecuali termasuk kesediaan air. Sebagaimana dalam Islam diatur juga mengenai hak kepemilikan yang berbunyi “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Perserikatan di atas berarti hak untuk memanfaatkan secara bersama. Ini berarti bahwa semua orang berhak untuk memanfaatkannya, tanpa boleh ada pihak yang menguasai secara eksklusif atau membatasi akses orang lain. Dengan kata lain, Allah Swt. memberikan izin kepada semua orang untuk secara kolektif memanfaatkan jenis harta tersebut. 


Dengan demikian, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan umum masyarakat, seperti ketersediaan air bersih yang merata di seluruh wilayah. Negara harus turun tangan langsung untuk mengatur dan memastikan bahwa akses dan ketersediaan air bersih tercukupi bagi seluruh elemen masyarakat. 


Kebijakan mengenai kebutuhan dasar seperti air bersih seharusnya tidak diserahkan kepada pihak asing atau swasta, baik individu maupun kelompok. Karena air merupakan harta milik umum yang hanya dapat dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan adanya kemudahan akses terhadap air bersih ini, sejatinya negara diharapkan bisa memberikan dengan murah bahkan secara gratis, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Wallahualam bissawab. [SM-GSM/MKC]