Alt Title

Demokrasi Anti Kritik

Demokrasi Anti Kritik

  


Tindakan represif aparat menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat.

_________________________


Penulis Mardiyah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Guru di Sekolah Anak Tangguh/SAT Pesantren Al-Mustanir Kuningan 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Andi Andriana, mahasiswa Universitas Bale Bandung masih menjalani perawatan di RS Cicendo Bandung, karena mata kiri mengalami luka berat terkena lemparan batu saat berunjuk rasa menolak rancangan Undang-Undang Pilkada di halaman kantor DPRD Jawa Barat. (kompas.id, 24-8-2024)


Mahasiswa unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Seharusnya negara menerima pengunjuk rasa ini dengan terbuka dan bersahabat. Sebab, unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah. 


Namun, ketika rakyat kecil yang melakukan pelanggan maka segera dilakukan tindakan pengamanan. Akan tetapi, ketika negara yang melakukan pelanggaran, beginilah yang terjadi.


Sayangnya aparat kepolisian justru menyemprotkan gas air mata, dan melakukan tindakan represif lainnya. Menurut ketua yayasan lembaga bantuan hukum, Muhammad Isnur tindakan represif seperti ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana dan melanggar aturan Kapolri. Isnur mencatat sudah ada 26 laporan yang masuk ke TAUD (Tim Advokasi Untuk Demokrasi) pada 23 Agustus 2024. (tempo.co, 25-8-2024)


Tindakan represif juga dilakukan terhadap jurnalis yang meliput kegiatan aksi unjuk rasa. Komite Keselamatan Jurnalis/(KKJ) mengecam tindakan kekerasan tersebut. Ada 11 jurnalis di Jakarta yang menjadi korban kekerasan aparat, tindakan kekerasan berbentuk intimidasi, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis, maupun fisik yang menimbulkan luka berat. 


Jurnalis mahasiswa juga mengalami hal yang sama saat meliput kegiatan demonstrasi di Semarang. Tiga orang anggota pers mahasiswa mengalami sesak napas, hingga pingsan karena tembakan water canon dari aparat saat membubarkan aksi. (muslimahnews.net)


Tindakan represif aparat menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat.  Seharusnya negara menyambut hangat perwakilan demonstran, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya. Padahal demokrasi mengklaim dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Sayangnya ketika rakyat menyampaikan koreksi malah mendapatkan tembakan gas air mata dari aparat kepolisian.


Dari masa ke masa tindakan represif aparat tidak hanya terjadi saat ini. Pemerintah sebelumnya merespons para demonstran dengan gaya yang tidak jauh berbeda. Bukan cuma di dunia nyata, di dunia maya pun rakyat yang menyampaikan kritik dihadang dengan UU ITE dan UU Ormas. 


Jika memang mengakui adanya kebebasan menyampaikan pendapat, seharusnya pemerintah menerima, dan membuka ruang dialog dengan para demonstran. Hal-hal yang menjadi tuntutan, didiskusikan dengan kepala dingin. Alhasil, kericuhan dapat diminimalisir dan keamanan tetap terjaga dengan baik.


Muhasabah atau mengoreksi penguasa penting dilakukan untuk memastikan penguasa ada di jalur yang benar. Jika dibiarkan tanpa muhasabah bisa jadi negara bisa salah arah, bahkan bisa jatuh ke jurang kediktatoran atau tirani yang kejam.


Kegiatan muhasabah adalah hak rakyat yang harus dilindungi dan dijamin negara. Seharusnya rakyat pemilik kekuasaan, mandat kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa terpilih. Oleh karena itu, ketika menjalankan kekuasaan, dan ada hak rakyat yang dilanggar, maka rakyat berhak melakukan protes atau kritik. Ketika penguasa gagal mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, maka rakyat juga berhak untuk protes.


Di masa orde baru kebebasan berpendapat yang digembar- gemborkan demokrasi juga tidak berlaku untuk rakyat. Para demonstran yang menyampaikan aspirasinya diperlakukan dengan sadis, seperti yang dialami 4 orang mahasiswa Trisakti pada tahun 1998. Ada Munir, aktivis yang sangat gigih membela HAM yang tertindas, saat perjalanan dari Jakarta menuju Belanda beliau pulang tinggal namanya.


Islam adalah agama yang sempurna, dan paripurna, memiliki aturan yang lengkap dan detail. Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam/mengoreksi, atau muhasabah terhadap pemerintah. Aktivitas ini diperintahkan oleh syariat Islam.


Rasulullah bersabda: "Agama itu nasihat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin dan orang-orang awam." (HR Bukhari, Muslim)


Setiap muslim diwajibkan untuk beramar makruf nahi mungkar. Kewajiban memberi nasihat ditujukan kepada individu maupun institusi, seperti penguasa. Ketika penguasa melakukan pelanggaran, maka wajib untuk menasihati. Apabila kemungkaran dibiarkan khawatir akan menyengsarakan rakyat. Kemungkaran seperti ini harus diungkap kepada publik/kasyful khuthoth walmu'amarah, atau membongkar rancangan dan konspirasi jahat.


Selain itu, di negara Islam ada lembaga peradilan yang menangani sengketa antara rakyat dan pejabat negara, baik dengan khalifah atau pejabat negara yang lain. Lembaga itu bernama mahkamah madzalim. Lembaga ini dibuat untuk memastikan penguasa, atau pejabat negara berada di jalan syariat Islam yang sahih.


Ada juga Lembaga Majelis Umat yang menampung aspirasi masyarakat yang diwakilkan oleh orang, atau tokoh, tempat rujukan ketika pemerintah membutuhkan masukan atau nasihat dalam berbagai urusan. Para anggota majelis umat melakukan muhasabah lilhukam/mengoreksi dan mengontrol para pejabat pemerintahan sesuai syariat Islam.


Kepala negara atau khalifah memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi. Khalifah diangkat dan dibaiat untuk menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariat Allah. Dengan demikian, akan terwujud negara Islam diridai Allah, yakni baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Wallahualam bissawab. [SH/MKC]