Demokrasi Membungkam Aspirasi Rakyat
Opini
Dalam Islam tidak ada penguasa yang antikritik
Penguasa dan pejabat menyadari bahwa koreksi/muhasabah dari rakyat bertujuan agar kekuasaan itu tetap sesuai tuntunan syariat Islam
______________________________
Penulis Siti Rahmawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ribuan massa berdemonstrasi di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) di kawasan Senayan, Jakarta. Menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pilkada.
Demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat, buruh, mahasiswa hingga sejumlah komika, menuntut pemerintah dan wakil rakyat untuk mematuhi putusan MK pada Selasa (20/8) lalu. (voa, 22/8/2024)
Putusan Baleg DPR yang diketok palu, otomatis mengoreksi putusan MK yang telah menghapus ambang batas. Jelas bahwa yang dilakukan oleh Baleg DPR cacat hukum atau inkonstitusional.
Dari kasus tersebut akhirnya massa melakukan aksi perlawanan tragedi pembegalan konstitusi, ada semacam pembegalan terhadap demokrasi dan pelanggaran konstitusi.
Sungguh demokrasi Indonesia telah bangkrut. Karena aksi demonstrasi ini untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan saran terhadap kebijakan pemerintah yang keliru. Tapi seakan-akan para demonstran tidak diperhatikan penguasa.
Seperti yang kita ketahui dalam demokrasi ada Hak Asasi Manusia, salah satunya kebebasan untuk berpendapat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran. Setiap rakyat berhak untuk mengoreksi penguasa dan itu harus dilindungi dan dijamin oleh negara.
Maka ketika pemerintah gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, rakyat berhak untuk protes pada pemerintah. Namun terkadang pendapat rakyat tidak didengar bahkan disepelekan. Pemerintah tidak mau bertemu ataupun berdialog dengan para demonstran.
Massa hanya dipertemukan dengan aparat yang menahan para demonstran untuk bisa menyampaikan pendapatnya menuju pemerintahan, yang akhirnya memancing kerusuhan. Kemudian muncullah masalah seperti menembakkan gas air mata, pemukulan bahkan tindakan represif pada demonstran.
Sungguh miris pemerintah yang menjunjung tinggi suara rakyat, bahkan tidak diapresiasi suara rakyatnya dengan baik.
Kondisi ini berbeda dengan pemerintahan Islam yang memang menerapkan aturan Islam secara sempurna dan menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Walaupun pelaksana pemerintahan itu tetaplah seorang manusia yang tidak maksum. Namun, ketika aturan pemerintahan Islam diterapkan dalam sebuah negara, maka kesejahteraan dan keadilan akan merata.
Dalam pemerintahan Islam, negara akan memberikan ruang seluas-luasnya untuk rakyat mengoreksi kebijakan penguasa. Mekanismenya bisa datang secara langsung menemui pemimpin negara Islam (khalifah).
Adapun mekanisme lainnya berupa datang ke lembaga seperti Majelis Umat yang ada di ibu kota atau wilayah di daerah masing-masing. Majelis Umat ini berupa perwakilan rakyat yang dipilih untuk menyampaikan pendapat dan koreksi terhadap penguasa.
Rakyat juga dapat langsung mengadukan kezaliman pada Mahkamah mazalim yang memutuskan perkara kezaliman penguasa, pejabat, dan aparat negara.
Islam juga tidak berbuat represif terhadap rakyat yang berdemonstrasi untuk melakukan muhasabah atau protes pada penguasa, karena semua paham bahwa pentingnya mengoreksi penguasa sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar.
Rasulullah memerintahkan umat Islam agar menggunakan lisannya untuk mengubah kemungkaran.
"Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaknya dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim)
Maka dalam Islam tidak ada penguasa yang antikritik, karena penguasa dan pejabat menyadari bahwa koreksi/muhasabah dari rakyat agar tetap kekuasaan itu sesuai tuntunan syariat Islam.
Ketika mengoreksi atau mengkritik penguasa itu dilakukan dengan cara baik, menggunakan kata-kata yang baik, tidak merusak fasilitas umum, pelemparan, tidak ada aksi pembakaran, bahkan tidak ada tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Maka jelaslah pendapat atau suara rakyat boleh disampaikan pada penguasa untuk perbaikan pemerintahan, tanpa ada tekanan atau larangan yang menyebabkan kezaliman penguasa pada rakyatnya.
"Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika dia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan dia berbuat adil, dengan itu dia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika dia menyuruh selain itu, dia menanggung dosanya." (HR Muslim)
Wallahualam bissawab. [SJ/MKC]